Duniaindustri.com (Oktober 2013) – Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 98/2013 tentang izin usaha perkebunan. Aturan baru yang terbit akhir September 2013 itu cenderung membatasi perluasan lahan/kebun 11 komoditas di Indonesia.
Dalam aturan baru itu, ditetapkan empat kebijakan penting. Pertama, kewajiban integrasi sisi hulu dan hilir industri perkebunan kelapa sawit (CPO), tebu, dan teh. Kedua, kewajiban divestasi (menjual) saham pabrik pengolahan CPO kepada masyarakat. Aturan ini menetapkan, pabrik pengolahan CPO wajib melepas minimal 30% saham pabrik CPO itu secara bertahap selama 10 tahun. Tahap pertama divestasi sebesar 5% pada tahun kelima, dan tahun ke 15 sudah terjual minimal 30% saham pabrik.
Ketiga, pembatasan luas maksimal lahan perkebunan yang dimiliki oleh satu grup usaha. Sebagai contoh, satu kelompok usaha hanya boleh memiliki kebun sawit maksimal 100.000 hektar. Jika lebih, pengusaha wajib melepas sebagian sampai memenuhi batas maksimal.
Keempat adalah kewajiban pengusaha membangun kebun plasma bagi petani. Luas kebun plasma itu minimal 20% dari luas lahan kebun milik pengusaha.
Asmar Arsjad, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), menilai, aturan ini berat dilaksanakan petani. Salah satu contorhnya adalah kewajiban divestasi saham pabrik CPO. “Dari mana petani mendapatkan modal untuk membeli saham?” kata Asmar.
Joefly Bahroeny, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengungkapkan, kehadiran Permentan No 98 Tahun 2013 tersebut akan membatasi ekspansi perkebunan kelapa sawit seperti yang sudah dikhawatirkan pengusaha selama ini. Padahal, industri sawit sudah menetapkan target produksi 40 juta ton per tahun pada 2020 dan 60 juta ton pada 2040. Pencapaian produksi tersebut tidak bisa mengandalkan peningkatan produktivitas semata, penambahan lahan baru tetap diperlukan guna menggenjot produksi yang lebih besar lagi.
Pemerintah resmi membatasi kepemilikan luas perkebunan bagi perusahaan atau kelompok/grup perusahaan yang manajemen dan pemiliknya sama. Kebijakan pembatasan luas kebun tersebut berlaku untuk 11 komoditas perkebunan, yakni kelapa sawit, tebu, teh, kelapa, karet, kapas, kopi, kakao, jambu mete, lada, dan cengkeh.
Ketentuan itu termuat dalam Permentan No 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Beleid baru tersebut menganulir kebijakan sebelumnya Permentan No 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang hal sama. Permentan no 98 Tahun 2013 diteken Menteri Pertanian Suswono pada 30 September 2013 dan diundangkan 2 Oktober 2013 setelah disetujui Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin.
Pada lampiran V dan VI dari Permentan No 98 Tahun 2013 itu, satu perusahaan atau kelompok perusahaan perkebunan dengan manajemen atau pemilik sama maksimal hanya boleh membuka lahan tanaman sawit 100.000 hektar (ha), tebu 150 ribu ha, dan teh 20 ribu ha. Sedangkan luas maksimal untuk tanaman kelapa 40 ribu ha, karet 20 ribu ha, kapas 20 ribu ha, kopi 10 ribu ha, kakao 10 ribu ha, jambu mete 10 ribu ha, lada 1.000 ha, dan cengkih 1.000 ha.
Joefly menuturkan, pengusaha heran dengan kebijakan pemerintah tersebut. Kebijakan pembatasan luas kebun tersebut mengesankan perkebunan kelapa sawit hanya dikelola oleh perusahaan besar semata. Padahal, dari total luas kebun sawit di Indonesia yang mencapai 9 juta hektar (ha) seluas 42% di antaranya adalah dikuasai petani sawit dan sisanya baru dimiliki pengusaha swasta dan badan usaha milik negara (BUMN). Perkebunan sawit diidentikan dengan perusahaan besar, padahal nyatanya tidak demikian.
Menurut Joefly, pengusaha sawit belum bisa berkomentar banyak tentang aturan baru tersebut. Termasuk tentang kewajiban perusahaan pengolah sawit mendivestasi 30% sahamnya kepada koperasi perkebunan sawit pada saat pabrik kelapa sawit (PKS) berusia 15 tahun. Sebaliknya, untuk kewajiban pembangunan kebun plasma seluas 20% dari total luas perkebunan, pengusaha perkebunan sawit selama ini sudah menjalankannya.(*tim redaksi)