Duniaindustri.com (Januari 2014) – Kalangan pengusaha mengkhawatirkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang sedang digodok DPR dan pemerintah berpotensi menghambat investasi di sektor perkebunan dan pertanian atau tambak. Soalnya, RUU Pertanahan akan membatasi kepemilikan lahan di satu provinsi menjadi 10 ribu hektare untuk komoditas perkebunan dan 50 ribu hektare untuk pertanian atau tambak.
Sany Iskandar, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) menilai pembuatan RUU tersebut tidak jelas, lantaran kekhawatiran dari pemerintah yang cukup besar. Meskipun RUU tersebut belum disahkan, akan tetapi RUU tersebut sudah menimbulkan keraguan pada kalangan pelaku usaha.
Kebingungan ini disebabkan karena di satu pihak, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perhutanan sedang gencar mendorong investasi. Di sisi lain, DPR membuat RUU tersebut yang justru membatasi lahan.
“Aturan baru ini jelas telah menghambat investasi di sektor perkebunan, pertanian dan tambak karena di sisi lain pemerintah mendorong adanya investasi dengan alasan untuk meningkatkan devisa negara, yakni dalam bentuk pajak. Akan tetapi di satu sisi pemerintah malah membatasi lahan. Bagaimana bisa membangun kalau lahannya saja dibatasi,” ungkap Sany.
Ahmad Manggabarani, Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), mengatakan untuk apa DPR membuat RUU Pertanahan yang di dalamnya mengatur tentang pembatasan lahan kepemilikan bagi para pelaku usaha. “Untuk apa DPR membuat RUU tersebut, yang hanya akan membuat bingung bagi para pelaku usaha,” ujar Mangga.
Menurut Mangga, jika memang ingin membatasi kepemilikan lahan pertanian, perkebunan dan tambak, maka Komisi II DPR harus membaca dulu UU NO 18/2004 dan telah ditetapkan dalam Permenta NO 98/2013 yang juga mengatur soal pembatasan lahan perkebunan. “Kalaupun memang mau membatasi lahan, seharusnya Komisi II dan Komisi IV bekerja sama untuk merevisi Permentan No 98/2013,” katanya.
Pemerintah dan DPR berencana membatasi lagi kepemilikan lahan komoditas perkebunan, pertanian atau tambak bagi badan hukum di satu provinsi tertentu. Untuk perkebunan, kepemilikan lahan dibatasi maksimal 10 ribu hektare di satu provinsi, sementara untuk lahan pertanian atau tambah dibatasi maksimal 50 ribu hektare di satu provinsi.
Ketentuan baru itu akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan Pasal 27 ayat 2 yang saat ini sedang digodok oleh Komisi II DPR bersama pemerintah. RUU Pertanahan ini merupakan inisiatif Komisi II DPR bersama mitra pemerintah seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan kementerian terkait.
Taufik Hidayat, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, menjelaskan tujuan dari pengaturan lahan itu untuk memeratakan kesempatan pemanfaatan lahan bagi kepentingan masyarakat dan bangsa. “Jadi kami ingin menghindari adanya kepemilikan lahan yang berlebihan oleh satu badan hukum tertentu di provinsi tertentu,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Menurut dia, DPR akan intensif membahas RUU ini agar dapat selesai 2014. Meski demikian, dia menjelaskan RUU tersebut masih dalam proses dialogis dan belum final. “Proses dialog sedang berlangsung dan ini bukan harga mati, masih bisa dikritisi,” tuturnya.
Taufik juga menambahkan DPR dan mitra di pemerintahan akan mengundang stakeholders terkait di sector perkebunan dan pertanian untuk merumuskan dan mencari solusi bersama terkait pengaturan luas lahan yang ideal.
Dalam Pasar 27 ayat 2 RUU Pertanahan disebutkan, semua komoditas perkebunan hanya diberikan luas paling banyak 10.000 hektare untuk hak guna usaha kepada 1 badan hukum dalam satu provinsi. Sementara lahan pertanian atau tambak hanya diberikan luas paling banyak 50.000 hektare untuk hak guna usaha bagi 1 badan hukum dalam satu provinsi.
Sementara aturan sebelumnya menyebutkan, luas yang dapat diberikan selama ini kepada pemilik hak guna usaha adalah 20 ribu hektare dalam satu provinsi. Apalagi, Kementerian Pertanian sudah membatasi kepemilikan lahan 11 komoditas maksimal 100 ribu hektare per perusahaan. “RUU Pertanahan akan lebih tinggi derajatnya dari peraturan yang dibuat kementerian terkait,” ucap Taufik.(*)