Duniaindustri.com (Maret 2014) — PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), perusahaan perkebunan sawit milik Grup Salim, menorehkan laba bersih di 2013 sebesar Rp 769,5 miliar, anjlok 31,1% dari Rp 1,12 triliun pada 2012. Perusahaan itu juga membukukan penjualan bersih sebesar Rp4,13 triliun pada 2013 atau turun 1,8% dibandingkan tahun 2012 senilai Rp4,21 triliun.
“(Penurunan) Ini disebabkan oleh turunnya harga komoditas, terutama pada karet dan produk sawit. Selain itu penurunan kinerja penjualan juga terimbas oleh berkurangnya volume dari seluruh produk perusahaan, kecuali untuk minyak sawit,” kata Presiden Direktur LSIP, Benny Tjoeng dalam keterangan resmi.
Pengaruh dari harga jual rata-rata yang lebih rendah serta kenaikan upah tenaga kerja, menurut Benny, menyebabkan turunnya laba bruto perusahaan sebesar 25,4% dari semula Rp1,68 triliun pada tahun 2012 lalu menjadi Rp1,25 triliun pada tahun 2013. Tak hanya laba bruto, torehan marjin laba bruto perusahaan pada saat yang sama juga menurun sebesar 30,3%.
“Laba usaha juga turun 22,5% menjadi Rp1,03 triliun (tahun 2013), dari Rp1,32 triliun (tahun 2012). (Capaian) Itu dengan marjin laba usaha sebesar 24,8%, setelah memperhitungkan laba netto selisih kurs operasi dalam periode berjalan sebesar Rp191,9 miliar tahun 2013, dibandingkan Rp28,4 miliar untuk periode yang
sama tahun lalu,” katanya.
Secara keseluruhan, laba tahun berjalan LSIP yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk mengalami penurunan sebesar 31,1% dari semula Rp1,12 triliun pada 2012 menjadi Rp769,5 miliar pada tahun 2013.
“Perusahaan mencatatkan penanaman baru kelapa sawit sekitar 4.500 ha per tahun pada dua tahun terakhir dan pada tahun ini juga memperoleh sertifikat ISPO pertama kalinya untuk beberapa kebun dan pabrik kelapa sawit di Sumatera Utara. Kuartal IV/2013 merupakan kuartal yang kuat seiring dengan harga jual rata-rata serta produksi yang lebih tinggi, dimana mendukung kinerja tahun 2013 secara umum. Kami akan terus fokus pada penanaman baru untuk mempertahan pertumbuhan kami di masa mendatang dengan cara yang berkelanjutan,” katanya.
PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), perusahaan sawit yang menjadi anak usaha PT Astra International Tbk (ASII), mencatat laba bersih perusahaan pada 2013 mengalami penurunan Rp490 miliar atau 18,7% dari tahun sebelumnya. Pada 2013, laba AALI tercatat sebesar Rp1,93 triliun, dari sebelumnya sebesar Rp2,45 triliun.
Melansir keterbukaan informasi yang diterbitkan perseroan di Jakarta, sementara untuk pendapatan mengalami kenaikan Rp1,12 triliun. Pada 2013 pendapatan perseroan tercatat Rp 12,67 triliun, naik dari 2012 sebesar Rp 11,55 triliun.
Di sisi lain, laba operasional perseroan juga mengalami penurunan. Pada 2013, laba operasional perusahaan turun menjadi Rp1,47 miliar dari 2012 dengan rugi sebesar Rp832,58 miliar.
Jumlah kerugian terbesar disumbangkan oleh beban umum dan administrasi yang pada 2013 mencapai Rp586,04 miliar, sedang di 2012 hanya Rp522,30 miliar. Sementara itu total aset perusahaan naik di 2013 ke Rp14,96 triliun dari sebelumnya Rp12,41 triliun di 2012.
Sedangkan total utang jangka pendek perusahaan pada 2013 mencapai Rp3,75 triliun naik dibandingkan 2012 yang hanya mencapai Rp 2,6 triliun. Sedangkan utang jangka panjang pada 2013 mencapai Rp4,69 triliun meningkat dibanding 2012 sebesar Rp3,05 triliun.
Laba bersih AALI yang turun di 2013 juga disebabkan harga CPO di pasar internasional sedang lesu tahun lalu. Namun mulai awal 2014 harga CPO merangsek naik. Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mendekati level tertinggi dalam 17 bulan, dipicu spekulasi merosotnya cadangan Malaysia dan turunnya produksi di Indonesia.
Harga CPO untuk kontrak pengiriman Mei di posisi 2.742 ringgit (USD835) per ton di Bursa Derivatif Malaysia, Selasa (25/2), atau naik 1 ringgit dibanding harga penutupan kemarin.
Menurut direktur di perusahaan broker Pelindung Bestari Sdn, Paramalingam Supramaniam, produksi turun 9% pada 20 hari pertama Februari ini, dibandingkan periode yang sama Januari lalu. Hal ini didasarkan pada perkiraan Asosiasi Sawit Malaysia. Selama ini, Januari dan Februari merupakan periode penurunan produksi karena siklus tanaman.
Sedangkan pihak Dewan Sawit Malaysia, produksi CPO anjlok untuk bulan ketiga menjadi 1,51 juta ton pada Januari sedangkan cadangan menurun menjadi 1,93 juta ton.
“Kami memperkirakan cadangan lebih rendah pada Februari karena penurunan produksi,” kata Alan Lim Seong Chun, analis pada Kenanga Investment Bank Bhd. Ia bahkan memperkirakan cadangan hanya di posisi 1,8 juta ton pada bulan ini.
Bukan hanya harga CPO yang menguat, harga komoditas lainnya juga diproyeksi ikut meningkat. Presiden Direktur PT Jalatama Artha Berjangka Jacob Ongkowidjojo memaparkan percepatan pertumbuhan ekonomi global bakal memainkan peranan penting terhadap permintaan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Jika hal ini tak terjadi, maka harga CPO bisa turun ke level 2.170 ringgit atau bahkan 2.060 ringgit per ton.
Adapun harga kakao berpotensi naik hingga US$3.200 per ton atau bergerak dengan volatilitas cukup tinggi pada kisaran US$2.100-US$2.700.
Sementara itu, harga kedelai masih berpotensi melemah hingga US$1.125 dengan rentang kisaran antara US$1.125-US$1.375 per bushel.
Terakhir, harga kopi berpotensi turun hingga US$80 meskipun dalam waktu dekat terlihat potensi rebound hingga kembali ke US$120 atau bahkan ke US$140 per bag.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memproyeksikan produksi kelapa sawit nasional pada tahun 2014 akan meningkat 7,7% menjadi sekitar 28 juta ton dari tahun 2013 hanya 26 juta ton. Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Priyono mengatakan kenaikan produksi tersebut lebih besar 2 juta ton dari tahun 2013.
“Kita berharap produksi pada 2014 mencapai antara 27,5 juta ton – 28 juta ton atu naik sekitar 2 juta ton dari pada produksi 2013 yang hanya 26 juta ton,” ujar Joko pada Press Conference Refleksi Industri Sawit Tahun 2013 dan Prospek Tahun 2014.
Namun demikian, menurut Joko peningkatan produksi tersebut tidak mencukupi dibandingkan dengan permintaan. Pasalnya ada kaitan dengan kondisi global. “Namun permintaan dunia belum sepenuhnya pulih dan normal. Sebabnya kebijakan beberapa negara terutama Indonesia dan Malaysia yang akan meningkatkan konsumsi dalam negeri biofuelnya akan menjadi faktor penentu perkembangan kelapa sawit 2014,” ucap Joko.
Joko menerangkan permintaan global yang belum kondusif akan ada perimbangan baru pada domestik. Harapan pada domestik tertuju pada mandatory biodiesel atau biofuel sebesar 10% untuk mensubstitusi ke solar. “Diperkirakan Indonesia akan menambah pasokan konsumsi CPO sebesar 3,3 juta ton untuk biofuels,” jelasnya.
Komoditas kelapa sawit merupakan penyumbanh devisa negara terbesar untuk komoditas perkebunan. Hal ini dapat dilihat dari nilai ekspor produk kelapa sawit dan turunannya mencapai US$ 11,61 milyar naik 17,75% atau US$ 2,5 milyar pada tahun sebelumnya, demikian juga dengan volume sebanyak 21,2 ton CPO meningkat 14,23% dari tahun sebelumnya. Menurut data dari BPS, diperkirakan ekspor produk kelapa sawit dan turunannya akan terus mengalami kenaikan baik voleme maupun nilainya, dengan tujuan Negara ekspor minyak sawit antara lain: China, Belanda, India, Malaysia, Amerika, Italia, Jerman dan lainnya.
Sedangkan Menteri Pertanian Suswono menyatakan, Indonesia telah menjadi negara penghasil minyak kepala sawit mentah atau crude palm oil terbesar di dunia. Ia mencatat, pada 2012, tingkat produksi minyak sawit Indonesia sudah mencapai 23 juta ton. Bahkan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit mengklaim produksi tahun lalu mencapai 25 juta ton. “Ini jadi modal Indonesia memegang pasar CPO dunia,” kata Suswono.
Ia juga menyatakan, devisa ekspor khusus produk kelapa sawit sendiri mencapai US$ 19,65 miliar atau Rp 200 triliun. Sedangkan ekspor di luar produk kelapa sawit secara kumulatif menyumbang devisa sebesar Rp 50 triliun pada 2012.
Kelapa sawit sendiri, menurut Suswono, adalah produk pertanian yang paling siap menjadi sumber bahan bakar terbarukan atau nabati.Bahkan, Suswono juga menyatakan, industri kelapa sawit lebih unggul dalam penyerapan tenaga kerja dibandingkan sektor industri, perdagangan, dan jasa lainnya. Industri kelapa sawit menyerap sekitar 4,5 juta tenaga kerja.
“Dari luasan lebih dari 9 juta hektare, sekitar 41 persen diusahakan perkebunan rakyat. Jadi bukan perusahaan besar saja,” dia menjelaskan. Hal ini juga yang diklaim Suswono sebagai sisi positif yang turut mengembangkan pertumbuhan ekonomi di daerah terpencil, khususnya Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Meski demikian, masalah masih terjadi di industri tersebut, yaitu ketersediaan infrastruktur terutama jalan produksi dan akses. Hingga saat ini, menurut Suswono, kemampuan infrastruktur belum memadai untuk menyalurkan hasil produksi tiap 10 ribu hektare perkebunan kelapa sawit yang memproduksi sekitar 200-350 ribu ton CPO.
Selain itu, masalah lain pada tingkat dunia adalah penolakan terhadap produk Indonesia dengan isu merusak lingkungan. Menurut Suswono, hingga saat ini pelaku bisnis dan pemerintah terus berupaya mewujudkan produksi yang ramah lingkungan.
Suswono mengklaim pada saat ini sudah ditetapkan 11 lembaga sertifikasi ISPO perkebunan kelapa sawit. Ia mencatat sudah ada 19 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah mendapat sertifikat ISPO. Sedangkan 95 perusahaan lainnya masih dalam proses. “Kita berharap, 2014, seluruh perusahaan telah mendapatkan sertifikat ISPO,” pungkasnya.
Sesuai Prediksi
Seperti pernah diberitakan sebelumnya, produksi CPO Indonesia tahun ini di bawah prediksi atau hanya 26 juta ton akibat panen terganggu cuaca ekstrem. “Prediksi awal, produksi CPO 2013 sebesar 28 juta ton hingga 28,5 juta ton, tapi melihat kondisi dewasa ini diperkirakan produksi hanya sekitar 26 juta ton,” kata Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun.
Penurunan produksi tersebut terjadi akibat hasil panen sawit dalam negeri sedang turun, sebagai dampak dari faktor cuaca esktrem. Namun meski turun, produksi itu mengalami kenaikan dibandingkan produksi tahun 2012, yang masih 25,7 juta ton.
Dia menjelaskan, produksi CPO Indonesia yang turun itu menjadi salah satu faktor pemicu naikknya harga jual komoditas itu yang sudah mencapai 900-an dolar AS per metrik ton (MT) dari 800-an per MT sebelumnya.
Diharapkan harga bisa naik lagi karena produksi tren melemah. Apalagi, penyerapan CPO di dalam negeri semakin besar terkait untuk penggunaan biodiesel. Dengan penyerapan biodiesel yang semakin banyak, maka volume ekspor semakin turun sehingga bisa memicu kenaikan harga.(*/berbagai sumber)