Duniaindustri.com (Mei 2014)– Laba bersih PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (“Perseroan” atau “UNSP”) meroket tajam pada kuartal I 2014 menjadi Rp 296 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya rugi bersih Rp 63 miliar. Kenaikan itu disokong membaiknya harga komoditas minyak sawit (CPO).
Indikasi kebangkitan UNSP memang terlihat jelas dimana Penjualan meningkat 37% jika dibandingkan dengan kuartal-1 tahun lalu. “Naik signifikan, dari Rp 481 miliar di kuartal-1 2013 menjadi Rp 659 miliar di kuartal-1 tahun ini,” kata Andi W. Setianto, Direktur Investor Relations UNSP, bagian dari tim manajemen yang diangkat melalui RUPS 8 Juli 2013, dalam penjelasan persnya saat mengumumkan kinerja Kuartal-1 Perseroan, Rabu (30/4) di Jakarta.
Menurut dia, ini adalah hasil dari upaya Perseroan melakukan peningkatan produktivitas yang berkelanjutan diiringi dengan membaiknya harga komoditas minyak sawit, meskipun terjadi penurunan harga komoditas karet, yang keduanya diproduksi oleh Perseroan.
Laba Kotor Perseroan juga meningkat 42%. Jika kuartal-1 2013 hanya berhasil mencatatkan Laba Kotor senilai Rp 146 miliar, kuartal-1 2014 Perseroan sukses mencatatkan nilai yang lebih besar, mencapai Rp 207 miliar. Demikian pula dengan perolehan Laba Operasi, meningkat hingga 78%, dari Rp 65 miliar menjadi Rp 115 miliar. “Yang juga penting, kuartal-1 2014 ini kami berhasil membukukan Laba Bersih senilai Rp 296 miliar dibandingkan kuartal-1 2013 lalu dimana UNSP masih membukukan Rugi Bersih senilai Rp 63 miliar. Membaiknya kinerja Perseroan pada kuartal-1 2014 ini membangkitkan rasa optimisme yang lebih besar lagi di jajaran manajemen Perseroan,” kata Andi menjelaskan.
Perlahan tapi pasti, Perseroan mulai menapak jalan yang lebih mulus untuk tumbuh kembali. Kinerja Perseroan pada kuartal-1 tahun 2014 ini mulai membersitkan harapan besar, bahwa segala upaya yang dijalankan manajemen UNSP mulai membuahkan hasil. Perseroan bergerak maju, tumbuh dan kembali berkembang.
“Manajemen akan melanjutkan fokus ke produktivitas yang berkelanjutan, yang sudah mulai terlihat hasilnya dalam jangka pendek”, kata Andi. Fokus ke produktivitas yang berkelanjutan (sustainable productivity) melihat multi aspek mencakup aspek operasional dan finansial yang mengacu ke kaidah praktik terbaik (Best Practices). Manajemen fokus ke produktivitas dan sustainability dari setiap sumber daya dan aset, melakukan inovasi, dan menjaga struktur modal yang sustainable.
Direktur Utama UNSP, M. Iqbal Zainuddin menambahkan, upaya peningkatan produktivitas yang berkelanjutan akan lebih banyak lagi dirasakan dampak positifnya dalam jangka menengah dan panjang. “Kami menjadi semakin optimis, dalam jangka menengah dan panjang nanti perusahaan ini akan kembali bangkit menemukan momentum yang terbaik menjadi salah satu perusahaan perkebunan yang memiliki fundamental bisnis yang kuat,” katanya.
Prospek Positif
Emiten sektor perkebunan terutama yang berbasis CPO berpotensi menguat seiring berlanjutnya penguatan harga CPO Malaysia. “Harga CPO Malaysia menguat sekitar 1,55% paska rilisnya prediksi El Nino dari Badan Meteorologi Australia yang berpotensi mengganggu pasokan minyak sawit mentah global,” kata Analis Samuel Sekuritas Indonesia, Aiza di Jakarta.
Research and Analyst PT Monex Investindo Futures, Zulfirman Basir menilai dari sisi fundamental, depresiasi Ringgit Malaysia dan Rupiah Indonesia dapat memberikan investor harapan akan membaiknya prospek ekspor CPO dari kedua negara produsen terbesar di dunia tersebut. “Ini dapat memberikan sentimen positif untuk palm oil,” terangnya.
Saham-saham produsen crude palm oil (CPO) berpotensi rebound tahun ini setelah melewati titik terendah tahun lalu. Tahun lalu masih menjadi periode yang kurang bergairah bagi emiten-emiten perkebunan. Dari segi produksi dan top line, kinerja emiten-emiten tersebut mengalami peningkatan. Sayangnya, harga komoditas global yang masih lesu membuat bottom line emiten tetap tergerus sepanjang 2013.
Prospek positif tahun ini terlihat dari pergerakan harga CPO yang mulai rebound sejak awal 2014. Optimisme kian besar seiring adanya sentimen terkait penurunan stok CPO di Malaysia yang juga merupakan salah satu produsen CPO terbesar di dunia selain Indonesia. Dia menambahkan, stok yang menipis berarti suplai di pasar menurun sementara permintaan terus berjalan. Alhasil, harga CPO global merangkak naik, dan momentum ini bisa dimanfaatkan emiten CPO untuk memperbaiki kinerja keuangannya.
Yasmin Soulisa, analis BNI Securities dalam risetnya menjelaskan, penurunan stok tersebut merupakan buntut dari umur pohon sawit yang sudah mulai menua sehingga produktivitasnya menurun plus musim panen sawit yang sudah lewat.
Kondisi itu membuat tingkat produksi yang lebih rendah 6% menjadi 1,51 juta ton. Nah, kondisi inilah yang pada akhirnya membuat inventori sawit menurun.
Bahkan, bulan Januari lalu stok CPO di Malaysia tercatat sebesar 1,07 juta ton. Selain mengalami penurunan 31% year on year, angka ini juga merupakan level terendah dalam tiga bulan sebelumnya.
Hal itu bisa menjadi katalis peningkatan harga jual CPO global dimana permintaan dari luar negeri akan melampaui kapasitas produksinya. “Untuk itu, kami berikan rekomendasi overweight untuk sektor perkebunan,” tambah Yasmin.
Tak berhenti sampai disitu. Peluang perbaikan harga juga semakin besar mengingat mulai tahun ini pemerintah mengeluarkan mandat komposisi 10% minyak nabati dalam bahan bakar solar. Artinya, permintaan domestik akan CPO kian besar, padahal perkebunan sawit di Indonesia sama seperti di Malaysia yang produktivitasnya tengah menurun.
Kenaikan BK
Pemerintah menaikkan tarif bea keluar (BK) ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk bulan April 2014 menjadi 13,5%, lebih tinggi dari Maret 2014 yang sebesar 10,5%. Kenaikan tarif BK ekspor CPO ini bisa membuat eksportir CPO asal Indonesia menahan ekspor karena keuntungan menurun akibat kenaikan beban bea keluar.
Duniaindustri.com menilai kenaikan BK ekspor CPO akan meredam laju pertumbuhan ekspor CPO asal Indonesia sehingga berpotensi menurunkan pasokan di pasar global. Dengan begitu, harga komoditas CPO berpotensi meningkat.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memprediksi harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan produk turunannya di pasar internasional diprediksi mampu menembus US$ 1.100 per ton tahun ini. Hal itu terlihat dari tren kenaikan harga CPO rata-rata di pasar internasional pada Februari tahun ini bergerak naik 4% menjadi US$ 903 per ton dibanding harga rata-rata Januari 2014 sebesar US$ 865 per ton.
Tungkot Sipayung, Ketua Advokasi Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan, kenaikan BK CPO otomatis akan memukul petani kelapa sawit. Petani yang seharusnya mendapatkan pendapatan lebih, harus menyisihkan pendapatannya untuk membayar BK CPO. “Semakin besar biaya keluar dari petani, maka harga CPO dari petani akan terdiskon,” imbuhnya.
Bila BK CPO naik, kata Tungkot, petani akan semakin menderita karena menanggung kerugian dari harga BK yang tinggi. Sekalipun BK tetap diterapkan, Tungkot berharap agar pemerintah mengembalikan perolehan pendapatannya ke petani berupa perbaikan infrastruktur di sentra-sentra CPO dan pemberian modal kepada petani kelapa sawit.
Mengutip data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pada Januari – Februari 2014, volume ekspor CPO dan produk turunannya asal Indonesia sekitar 3,15 juta ton. Rinciannya, ekspor Januari sebesar 1,57 juta ton dan Februari naik menjadi sekitar 1,58 juta ton.
Naiknya ekspor CPO dan turunannya asal Indonesia ini lantaran kenaikan permintaan dari negara tujuan ekspor utama seperti India dan Amerika Serikat. Berdasarkan data GAPKI, produksi CPO dan Palm Kernel Oil (PKO) tahun 2013 mencapai 26 juta ton atau naik 1,9% dibanding 2012 sebanyak 26,5 juta ton. Sedangkan produksi 2014 diperkirakan ada di kisaran 27,5-28 juta ton.(*/berbagai sumber)