Duniaindustri.com (Maret 2014) — Laba bersih PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) sepanjang 2013 anjlok 86,29% menjadi Rp409,94 miliar dibanding 2012 sebesar Rp2,99 triliun.
Dalam laporan keuangan perseroan di keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), terungkap bahwa anjloknya laba bersih akibat meningkatnya beban, tidak adanya keuntungan atas penyesuaian nilai wajar dan dividen seperti tahun sebelumnya.
Penjualan perseroan sepanjang tahun lalu tercatat sebesar Rp11,3 triliun atau naik 8,13% dibanding 2012 senilai Rp10,45 triliun. Naiknya penjualan diikuti naiknya beban pokok penjualan menjadi Rp9,68 triliun dari Rp8,43 triliun.
Akibatnya, laba kotor perseroan susut menjadi Rp1,62 triliun dari Rp2,02 triliun. Laba kotor perusahaan digerus beban usaha yang meningkat menjadi Rp1,19 triliun dari sebelumnya Rp1,13 triliun, sehingga laba usaha perseroan merosot lebih dari setengahnya menjadi Rp421,03 miliar dibanding 2012 sebesar Rp895,86 miliar.
Sementara pada tahun lalu, perusahaan tambang pelat merah tersebut mencatat kerugian entitas asosiasi dan pengendalian bersama sebesar Rp181,01 miliar dari tahun sebelumnya yang mencatat untung Rp115,1 miliar.
Di samping itu, ANTM tidak mendapat keuntungan atas penyesuaian nilai wajar di tahun ini, di mana pada tahun lalu membukukan keuntungan mencapai Rp2,48 triliun. Selain itu, perseroan pada tahun lalu tidak mendapat dividen, dibanding tahun sebelumnya memperoleh dividen senilai Rp375,43 miliar dari PT Nusa Halmahera Mineral.
Perseroan pada 2013 juga mencatat beban lain-lain bersih sebesar Rp214,77 miliar dibanding 2012 mencatat penghasilan senilai Rp93,52 miliar. Akibatnya, total beban lain-lain bersih persereoan pada tahun lalu tercatat sebesar Rp553,96 miliar, sedangkan tahun 2012 membukukan penghasilan lain-lain bersih mencapai Rp3 triliun.
Laba INCO Anjlok
PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mencatatkan penurunan laba bersih sampai 43% akibat penurunan pendapatan. Perusahaan telah menerapkan strategi efisiensi biaya yang walaupun belum tercermin pada pencatatan kinerja tahun ini, tetapi akan menguntungkan bagi perusahaan dalam jangka panjang.
Laba bersih kepada pemilik entitas induk turun 43% menjadi US$ 38,65 juta dari tahun 2012 sebesar US$ 67,49 juta. Ini mengakibatkan laba bersih per saham turun jadi sekitar Rp 47,43/ lembar dari sebelumnya Rp 67,90/ lembar. Penurunan laba bersih per saham hanya 30% karena efek kurs.
Pendapatan Vale sendiri turun hanya 5% jadi US$ 921,64 juta dari sebelumnya US$ 967,33 juta akibat harga komoditi yang terus tertekan. Di tahun 2013 perusahaan memproduksi 75.802 ton matte atau 7% lebih tinggi dari 2012. Namun harga rata-rata penjualan memang tertekan 12% sehingga pendapatan turun.
Sisi positifnya adalah piutang turun cukup jauh yaitu sampai 41% menjadi US$ 65,90 juta dari sebelumnya US$ 112,64 juta. Kemungkinannya hal ini disebabkan karena banyaknya penjualan langsung (non kontrak) oleh perusahaan. Secara jangka panjang, hal ini kurang baik karena menjadi faktor destabilisasi pendapatan. Tetapi di kondisi ini, hal ini mengindikasikan bahwa Vale Indonesia tetap memiliki target pasar yang cukup untuk menyeimbangkan volatilitas harga.
Selain itu perusahaan juga telah melakukan berbagai strategi efisiensi biaya. Salah satunya yang paling signifikan adalah biaya pendapatan per metrik ton matte turun 7% jadi US$ 10.313/t dari US$ 11.091/t. Penurunan ini sebagian besar ditekan oleh penurunan biaya BBM dan pelumas, upah tenaga kerja, serta biaya kontrak dan jasa.
Penurunan biaya BBM dan pelumas disebabkan oleh harga beli PT Vale High Sulphur Fuel Oil (HSFO) yang lebih rendah 9% dibandingkan tahun lalu. Di semester kedua, perusahaan juga menyelesaikan konversi pengering ke tenaga batubara yang makin menekan kebutuhan BBM perusahaan.
Rowena Suryobroto, Analis AFN Indonesia, menilai walaupun belum tercermin secara signifikan dalam kinerja tahun ini, strategi ini akan menjadi salah satu penopang perusahaan dalam jangka panjang.
Posisi kas Vale naik ke US$ 200,20 juta dibandingkan tahun 2012 di US$ 172,24 juta. Arus kas dari aktivitas operasional melompat jadi US$ 265,89 juta dari sebelumnya US$ 79,16 juta. Peningkatan ini karena kenaikan penerimaan dari konsumen dan penurunan pembayaran ke pemasok, serta lebih rendahnya pembayaran pajak penghasilan badan sekaligus adanya pembayaran kelebihan pajak sebesar US$ 40,16 juta.
Utang jangka panjang turun ke US$ 397,95 juta menyebabkan rasio utang turun menjadi 0,25x dan utang jangka panjang atas ekuitas turun jadi 0,23x. Ini juga membuat beban bunga turun jadi US$ 14,68 juta dari sebelumnya US$ 15,49 juta. Penurunan ini meringankan beban perusahaan.
Paska penerbitan laporan keuangan ini, harga saham INCO tidak mengalami perubahan berarti. Sementara itu, selama 6 bulan terakhir, kisaran harganya cukup lebar yaitu dari Rp 2.100 – 2.800/ lembar, dengan likuiditas yang lebih baik dibandingkan 1 tahun sebelumnya. Ini mengindikasikan keraguan investor tapi sekaligus pelaku pasar sudah merasa bahwa ini waktunya untuk naik.
Rasio harga terhadap laba (PER) masih tinggi yaitu 50 kali, sementara rasio harga terhadap nilai buku (PBV) hanya 1,13 kali.(*)