Duniaindustri.com (Oktober 2015) – Berbagai kalangan menuding pemerintah kurang serius menanggulangi kebakaran lahan dan hutan yang sudah berlangsung lebih dari tiga bulan terakhir. Selain harus menambah anggaran pemadaman kebakaran lahan, pemerintah wajib merevisi regulasi yang membolehkan pembukaan lahan dengan cara membakar lahan.
Edhi Prabowo, Ketua Komisi IV DPR RI, menilai pemerintah kurang serius untuk menanggulangi kasus kebakaran lahan dan hutan. “Sudah tiga bulan, kebakaran lahan dan hutan belum padam. Ini bukti nyata pemerintah kurang serius,” ujarnya kepada wartawan.
Menurut dia, Presiden harus mengambilalih penanganan dan penyelesaian kebakaran lahan dan hutan agar solusi bisa komprehensif. Dia mencontohkan, Presiden harus berkoordinasi dengan menteri terkait serta pemerintah daerah untuk menambah anggaran pemadaman kebakaran lahan dan hutan. “Kasihan rakyat dan seluruh elemen masyarakat yang terkena dampak, perekonomian bisa mandek selama tiga bulan lebih di daerah terdampak,” paparnya.
Setelah upaya pemadaman berhasil, lanjut dia, pemerintah wajib memikirkan upaya preventif seperti merevisi regulasi lingkungan terkait kearifan lokal yang membolehkan warga membuka lahan dengan cara membakar. “Upaya preventif harus dilakukan setelah pemadaman berhasil dilakukan, jangan hanya dibiarkan saja,” ucapnya.
Edhi menilai upaya pemadaman dan pencegahan lebih penting dibanding pencarian pelaku pembakaran.”Untuk jangka pendek, perhatian pemerintah harus tertuju pada solusi pemadaman kebakaran lahan dan hutan,” katanya.
Penyataan Edhi juga senada dengan Direktur Eksektutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung menanggapi dampak kasus kebakaran lahan dan hutan. Tungkot menilai perusahaan sawit selalu menjadi korban kasus kebakaran lahan dan hutan.
Karena itu, sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk menerapkan pembuktian menyeluruh ketika menetapkan sejumlah perusahaan sawit menjadi tersangka kasus kebakaran lahan.
“Kebakaran lahan dan hutan ini merugikan semua pihak. Ini yang harus disadari,” kata Tungkot.
Menurut dia, kebakaran lahan dan hutan disebabkan akumulasi sejumlah faktor, antara lain regulasi yang membolehkan pembukaan lahan dengan cara dibakar, masalah dalam tata kelola hutan negara, serta dampak dari musim kemarau yang berkepanjangan. “Setidaknya ada dua regulasi yang tidak relevan lagi, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 yang membolehkan masyarakat membakar lahan dengan luas maksimal 2 hektare (ha) dan aturan penggunaan kayu hasil pembukaan lahan,” ujarnya.
Menurut dia, kedua aturan tersebut harus direvisi agar pencegahan kebakaran hutan menjadi efektif dan tidak terulang lagi di kemudian hari. Dengan adanya UU No 32 tahun 2009, warga diperbolehkan membakar lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare. “Ini kan keliru, peraturan ini yang menjadi salah satu faktor pemicu utama kebakaran lahan saat ini,” paparnya.
Selain itu, lanjut dia, kebakaran lahan dan hutan juga terjadi karena terjadi masalah dalam tata kelola hutan negara. Patut diduga kebakaran hutan negara merambat ke lahan-lahan perkebunan dan sulit dipadamkan. “Kebakaran hutan negara lebih luas dan ini menimbulkan kerugian besar,” tuturnya.
Karena itu, Tungkot meminta Presiden dan Menteri terkait untuk melakukan penyelidikan secara komprehensif terkait penetapan tersangka sejumlah perusahaan sawit yang diduga sebagai pemicu kebakaran lahan. “Harus dibuktikan dalam proses yang benar, apakah perusahaan sawit itu jadi pelaku atau korban kebakaran,” ujarnya.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Yanto Santosa juga menilai, ada empat faktor yang menyebabkan kebakaran lahan. Pertama, hampir 100% penyiapan lahan pertanian yang dilakukan rakyat melalui pembakaran. Apalagi, di beberapa daerah ada peraturan daerah (perda) yang membolehkan pembakaran lahan dengan batasan maksimal 2 hektare.
“Persoalannya, petani tidak kuasa memadamkan kebakaran yang meluas ke daerah di luar lahannya,” ujarnya.
Faktor kedua, ada budaya rakyat lokal menangkap ikan pakai api yang bisa menyebabkan kebakaran. Ketiga, warga lokal sengaja membakar gambut untuk mengambil kayu yang berada di bawah gambut. “Yang terakhir, konflik lahan baik antara perusahaan dengan rakyat ataupun antara rakyat sendiri. Ini banyak dipicu adanya bupati, gubernur dan pemerintah pusat yang memberikan izin lahan yang tidak jelas kepada perusahaan,” paparnya.
Karena itu, lanjut dia, opini yang hanya menyalahkan perusahaan kehutanan dan perkebunan sebagai dalang pembakaran lahan tidaklah benar. “Saya berani bertaruh perusahaan perkebunan dan HTI tidak berani membakar lahan karena ada ancaman pidana dan perdata. Selain itu, bisa dicabut izinnya,” paparnya.
Dia juga pernah melakukan observasi langsung di lokasi kebakaran lahan yang berdekatan dengan lahan perkebunan. “Bara api itu loncat dari lahan yang terbakar ke arah lahan perkebunan. Itu karena di musim kemarau, biasanya lahan mudah terbakar dan gampang menyebar seiring kencangnya angin. Dari kondisi ini dapat ditarik kesimpulan, lahan perkebunan hanya menjadi korban,” ujarnya.
Dengan kondisi seperti ini, menurut dia, jangan mudah saling menyalahkan. “Kita jangan saling menyalahkan. Kita preventif saja, mencegah agar tidak terjadi lagi,” ujarnya.(*)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: