Duniaindustri.com (Desember 2017) – Pasokan baja lapis aluminium seng (BJLAS) di dalam negeri terancam defisit sekitar 200 ribu ton per tahun karena kapasitas produksi lebih rendah dibanding tren konsumsi. Data Asosiasi Roll Former Indonesia (ARFI) menunjukkan bahwa kapasitas produksi di dalam negeri hanya 150.000 ton per tahun, sementara konsumsi BJLAS warna 350.000 ton per tahun.
Defisit pasokan itu diperparah dengan diberlakukannya Bea Masuk Anti Dumping untuk komoditi baja lapis aluminium seng (BJLAS) dari RRT (Tiongkok) dan Vietnam masing-masing 49% dan 18%. Karena itu, tiga asosiasi meminta pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan Bea Masuk Anti Dumping untuk komoditi baja lapis aluminium seng (BJLAS) dari RRT (Tiongkok) dan Vietnam masing-masing 49% dan 18%.
“Kami khawatir kebijakan ini akan membuat BJLAS hilang di pasar mengingat kapasitas produksi di dalam negeri hanya 150.000 ton per tahun, sementara konsumsi BJLAS warna 350.000 ton per tahun,” kata Ketua Asosiasi Roll Former Indonesia (ARFI) Novia Budiman dalam jumpa pers di Jakarta.
Hadir dalam jumpa pers Ketua Asosiasi Baja Ringan dan Atap Ringan Indonesia (ASBARINDO) Dwi Sudaryono dan Ketua Asosiasi Produsen Baja Ringan Indonesia (APBRI) Benny Lau.
Dwi menambahkan, kalau harga BJLAS naik 10%-15% persen masih wajar, namun kalau kemudian hilang di pasar karena kebijakan tersebut maka harganya bisa naik 20%-30%. Kenaikan harga 20%-30% tentunya akan berpengaruh harga atap baja ringan di pasar.
“Khususnya untuk BJLAS tebal 0,2 milimeter yang banyak digunakan bagi atap rumah untuk program pemerintah (program sejuta rumah). Kami berharap kebijakan tersebut jangan sampai menggangu program yang tengah berjalan,” kata Dwi.
Novia mengatakan, hampir 60% konsumsi atap baja ringan merupakan konsumen menengah ke bawah, dikhawatirkan kalau harga mengalami kenaikan konsumen akan beralih kembali menggunakan kayu.
Ketua APBRI Benny Lau mengatakan, kebijakan Bea Masuk Anti Dumping merupakan hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) berdasarkan permohonan PT NS BlueScoope Indonesia sebagai pemasok bahan baku BJLAS warna di dalam negeri.
“Kami khawatir dengan diberlakukannya kebijakan tersebut akan berakibat banyaknya industri di hilir, yakni produsen atap baja ringan, yang tutup akibat kekurangan pasokan bahan baku,” kata Benny.
Benny meminta kepada pemerintah mengkaji ulang penetapan Bea Masuk Anti Dumping khususnya RRT. Maraknya impor selain adanya keterbatasan pasokan di dalam negeri, juga selisih harga yang jauh antara baja produksi dalam negeri dan impor.
Menurut dia, apabila pemerintah ingin mempertahankan industri hilir baja dalam negeri, maka pemerintah harus mengkaji kembali kebijakan ini. Harga bahan baku lokal tidak kompetitif, kalau dipaksakan, produsen atap baja ringan akan kesulitan.
Lebih jauh Novia menepis anggapan RRT sebagai produsen baja terbesar sengaja membanjiri negara-negara di Asia khususnya Asia Tenggara karena kelebihan pasok. Menurut dia saat ini negara tersebut justru sedang membatasi industri beratnya karena persoalan lingkungan.(*/tim redaksi 03)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: