Latest News
You are here: Home | Agroindustri | Komitmen Melawan Kampanye Hitam CPO Harus All Out
Komitmen Melawan Kampanye Hitam CPO Harus All Out

Komitmen Melawan Kampanye Hitam CPO Harus All Out

Duniaindustri.com (Oktober 2013) — Sejumlah kalangan anggota DPR dan pengamat politik menilai komitmen pemerintah memerangi kampanye negatif atas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia di pasar global harus dilakukan secara all out. Sebab, disinyalir sejumlah lembaga pemerintahan sudah dipengaruhi kepentingan asing sehingga tidak berani melawan kampanye negatif terhadap komoditas Indonesia.

Erick Satria Wardhana, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, menilai pemerintah belum memiliki pemahaman yang sama terhadap kampanye negatif terhadap CPO Indonesia. “Masih ada pejabat pemerintah yang mempunyai pemahaman yang tidak sama, sehingga menilai CPO tidak ramah lingkungan,” katanya.

Karena itu, komitmen pemerintah untuk melawan kampanye negatif terhadap CPO Indonesia yang pernah disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa dinilai tidak akan optimal. “Adanya benturan kepentingan dalam pemerintah ini menyebabkan kebijakan pemerintah tidak bulat. Terbukti, Indonesia gagal memasukkan tiga komoditas unggulan, yakni sawit, karet, dan kakao dalam kategori komoditas ramah lingkungan dalam forum APEC 2013,” ujarnya.

Menurut dia, kegagalan total delegasi pemerintah RI dalam forum APEC mengisyaratkan pengaruh asing telah masuk dalam tubuh pemerintah Indonesia. “Pemerintah terlihat tidak solid dan masih berbeda pemahaman,” paparnya.

Mestinya, lanjut Erick, pemerintah menilai kampanye negatif terhadap CPO Indonesia sebagai perang dagang antar minyak nabati di pasar global dan kekuatan asing memaksakan persaingan itu dimenangkan secara tidak fair dengan strategi kampanye negatif. “Usulan saya, Presiden harus turun tangan mencegah benturan kepentingan di dalam tubuh pemerintah untuk memaksimalkan komitmen memerangi kampanye negatif terhadap CPO Indonesia,” tuturnya.

Selain itu, Presiden perlu tegas membuat kebijakan bahwa komoditas unggulan Indonesia ditetapkan sebagai produk ramah lingkungan. Dengan demikian, komitmen memerangi kampanye negatif terhadap komoditas RI bisa optimal. “Indonesia juga harus tegas bersikap terhadap lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terus menyuarakan kampanye negatif tanpa dasar yang kuat,” paparnya.

Erick menambahkan strategi untuk mencounter LSM yang sering menyuarakan kampanye negatif terhadap CPO Indonesia bisa dilakukan dengan cara yang konstruktif. “Stakeholders bisa beradu argumen dengan LSM itu berdasarkan data dan fakta. Jika tidak bisa, baru pemerintah yang harus bersikap tegas karena negeri ini mesti memiliki harga diri, jangan diinjak-injak terus oleh kepentingan asing,” paparnya.

J Kristiadi, pengamat politik CSIS, juga menilai kentalnya pengaruh asing dalam kebijakan pemerintah yang bertujuan memajukan komoditas unggulan Indonesia. “Pemerintah masih berkutat dengan landasan transaksi kepentingan sesaat, sehingga apa yang disampaikan pemerintah tidak solid,” ujarnya.

Dia juga menduga intervensi asing sudah masuk ke jantung pemerintahan sehingga tidak ada polotical will yang kuat dari pemerintah untuk membatasi penetrasi asing. “Pemerintah Indonesia selalu gagap dan tidak siap jika mengantisipasi intervensi asing,” katanya.

Intervensi asing dalam bentuk kampanye negatif terhadap komoditas unggulan Indonesia memperlihatkan bahwa negara ini masih dijajah dalam konteks ekonomi. “Sementara pejabat pemerintah justru berperilaku berdasarkan trading influence dan kepentingan sesaat,” jelasnya.

Sebelumnya, Menko Perkonomian Hatta Rajasa menegaskan pemerintah berkomitmen memerangi kampanye negatif atas CPO dan produk turunannya di pasar global dengan menggunakan hasil riset. Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan instansi terkait harus bekerja sama melakukan riset tersebut, sehingga bisa mengembalikan citra produk perkebunan tersebut tetap baik.

Hatta Rajasa menjelaskan, pemerintah telah menetapkan sawit, khususnya CPO dan produk turunannya, sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional karena menghasilkan lebih dari US$ 24 miliar dari US$ 30 miliar surplus sektor pertanian. Namun fenomena kampanye negatif atas komoditas tersebut pun semakin marak dengan mengatasnamakan lingkungan, kesehatan, dan ekonomi hijau (green economy).(*sds/tim redaksi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top