Duniaindustri.com (Maret 2018) – Komisi IX DPR RI mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menarik 13 produk enzyme yang terindikasi tercemar DNA babi. Komisi IX memberikan tenggat waktu satu bulan untuk BPOM melakukan proses penarikan secara massal.
Hal itu ditegaskan Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf usai Rapat Kerja Komisi IX dengan BPOM dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan 15 perusahaan farmasi di Jakarta, Rabu (21/3). Ke-15 perusahaan farmasi yang hadir adalah PT Meiji, PT Pratapa Nirmala, PT Kimia Farma, PT Bernofarm, PT Sanbe Farma, PT Otto Pharmaceutical, PT Harsen, PT Soho Industri, PT Erlimpex, PT Kalbe Farma, PT Hexpharm Jaya Laboratories, PT Ifars Pharmaceutical, PT Metiska Farma, PT Medi Farma Laboratories, dan PT Pharos Indonesia. Masing-masing perusahaan diwakili direkturnya.
“Kami menerima keluhan dari masyarakat bahwa di antara 13 produk enzyme, masih ada yang dijual secara online. Ini harus ditarik dari pasaran, baik sifatnya penjualan offline atau online,” katanya.
Komisi IX DPR, lanjut dia, akan memberikan waktu satu bulan untuk BPOM menarik seluruh produk enzyme yang tercemar DNA babi. “Mestinya satu bulan setelah ditarik izin edarnya. Kalau sudah ditarik izin edarnya, maka dalam satu bulan produk baik beredar secara langsung maupun online harus ditarik,” paparnya.
Dede menegaskan produk enzyme dan suplemen lainnya tergolong produk farmasi yang sensitif, apalagi telah terjadi kasus kontaminasi DNA babi. “Masalahnya kan mengandung babi. Sebetulnya soal obat banyak yang mengandung babi, tetapi khusus negara kita dengan mayoritas muslim perlu diberikan kata-kata mengandung babi. Biasanya ada mereknya entah T, K, atau apa saya lupa. Itu membuat orang bisa memilih mana produk yang cocok untuk dia,” katanya.
RDP Komisi IX DPR dan BPOM serta RDPU dengan 15 produsen farmasi berlangsung cukup tegang karena sejumlah anggota DPR mempertanyakan peran dan fungsi BPOM. Dari BPOM sendiri, Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito berhalangan hadir karena sakit dan dirujuk ke UGD. Sekretaris Utama (Sestama) BPOM Elin Herlina yang menggantikan Kepala BPOM mengakui kasus produk enzyme yang mengandung DNA babi merupakan kasus sensitif.
“Kami menyadari aspek kandungan babi adalah sensitif. Karena itu ada proses sampling khusus untuk itu. Kami juga melakukanpengawasan post market untuk memastikan data sama dengan saat pre market. Untuk fungsi pengawasan, kami menyadari anggaran dan SDM BPOM saat ini masih kurang untuk pengawasan di seluruh Indonesia,” kata Elin.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN Hang Ali juga menilai BPOM kurang transparan dalam menyikapi kasus produk enzyme yang tercemar DNA babi. “Selama ini yang ramai kan dua produsen, nyatanya ada 15 produsen. Produknya juga mengandung pancreatin. Dari 13 produk, satu katanya tidak terbukti, 4 mengembalikan izin edar dan ditarik produk, nah yang 13 ini kasusnya apa, harus dijelaskan. Jangan diam-diam saja. Jangan-jangan kasusnya sama,” tegasnya.
Menurut dia, BPOM harus bertanggung jawab terhadap masyarakat apalagi negara ini konsumennya mayoritas muslim. “Soal babi itu sensitif banget. Harus dijelaskan, diumumkan terbuka kenapa ada produsen buru-buru mengembalikan izin edar dan menarik produknya berjamaah. Nyatanya tadi masih bebas dijualbelikan secara online, ini kan bukti fungsi pengawasannya lemah. Harus segera ditindak, jangan pilih kasih,” ucapnya.
Dia mendesak BPOM untuk memperketat pengawasan di lapangan dari hulu. Apalagi diketahui Indonesia masih sebagian besar mengandalkan bahan baku farmasi dari luar negeri. “Jangan kalau ada apa-apa produsen dan BPOM saling lempar tanggung jawab, menyalahkan supplier lagi. Wajib dipastikan agar itu statusnya benar-benar tersertifikasi halal. Jangan nanti tunggu masyarakat teriak-teriak, ada kasus, baru bertindak,” paparnya.
Anggota Komisi IX dari F-PDIP Imam Suroso juga mempertanyakan sebenarnya apakah 15 perusahaan farmasi tersebut sudah tahu, apa tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu tentang produk yang tercemar DNA babi. “Ini meresahkan publik, sekarang masyarakat juga tidak mau vaksin kalau tidak halal,” katanya.
Dalam RDP tersebut, ke-15 perusahaan farmasi diberi kesempatan oleh pimpinan rapat untuk menyampaikan klarifikasi. Direktur PT Meiji menyebutkan perseroan yang berproduksi di Pasuruan memang pernah memproduksi suplemen pancreatin, namun sudah distop sejak 2012. Direktur Pratapa Nirmala juga menyatakan produk yang mengandung pancreatin sudah diskontinyu sejak 2014.
Direktur Kimia Farma menyampaikan bahwa semua bahan baku dari sapi dibuktikan oleh certificate of analysis (CoA) dari suplier. “Tapi berapa waktu lalu 2014-2015, kami mendapat notifikasi bahwa produk kami terkontaminasi. Kami secara sukarela menarik produk yang sama,” paparnya.
Direktur Kimia Farma menjelaskan notifikasi itu tahun 2013 dan perseroan telah menarik semua produk yang berbahan baku sama. “Kontaminasi kemungkinan di suplier bahan baku asal,” ujarnya.
Meski demikian, dalam rapat RDP dengan BPOM, Dede Yusuf secara khusus mencermati sejumlah produk antara lain Librozym yang masih beredar secara online. Padahal, produsen enzyme tersebut yakni PT Hexpharm Jaya Laboratories telah menghentikan produksi serta mengembalikan izin edar pada Februari 2017.
Direktur Hexpharm Jaya Laboratories yang hadir dalam RDP Komisi IX dan BPOM menjelaskan perusahannya memang pernah memproduksi enzyme pancreatin. Namun, produksi telah dihentikan dan izin edar dikembalikan ke BPOM pada Februari 2017. “Untuk Hexpharm, produknya masih ada di online store. Kalau dikembalikan izin edarnya, apa di online store masih boleh beredar,” tanya Dede.
Dede menilai ada komunikasi yang terputus antara produsen farmasi dengan BPOM. “Mungkin industri farmasi takut? Mungkin BPOM terlanjur memberikan statement sehingga akhirnya ada persaingan obat. Kita tidak pernah tahu. Sebab bisa saja saat satu produk turun, lalu ada produk yang lain yang naik,” jelasnya.
Pemerintah dalam hal ini BPOM, menurut dia, mestinya paham saat mengeluarkan pernyataan karena berdampak besar. Apalagi persaingan bisnis di industri obat dan suplemen sangat ketat. “Sering kan ada tudingan miring tentang obat ini mengandung ini dan seterusnya. Setelah sales obat yang dimaksud turun, lalu masyarakat lari ke merek lain. Ini yang sebenarnya perlu kita dalami,” paparnya.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP Marinus Sae juga mempertanyakan 13 produk enzyme yang masih diperdagangkan secara online. “Yang masih memproduksi, itu harus dihentikan dan tidak boleh diteruskan. Tidak boleh dibiarkan, semua harus ditindak. BPOM tidak boleh tebang pilih, nanti kesannya ada sesuatu,” ucapnya.(*/tim redaksi 04)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: