Duniaindustri.com (Maret 2019) — Komisi Eropa memutuskan untuk menghapus penggunaan kelapa sawit dalam bahan bakar transportasi karena budi daya komoditas tersebut terbukti menyebabkan deforestasi berlebihan. Karena itu, Komisi Eropa merekomendasikan bahwa Penggunaan bahan baku biofuel yang lebih berbahaya akan ditutup secara bertahap pada 2019 hingga 2023 dan dikurangi menjadi nol pada 2030.
Atas rekomendasi tersebut, Pemerintah Uni Eropa dan Parlemen Eropa memiliki waktu dua bulan untuk memutuskan apakah akan menerima atau akan memveto tindakan tersebut.
Komisi Eropa telah menerbitkan kriteria untuk menentukan tanaman apa yang menyebabkan kerusakan lingkungan, bagian dari undang-undang Uni Eropa baru untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan menjadi 32 persen pada tahun 2030 dan menentukan apa yang merupakan sumber terbarukan yang sesuai.
Dalam keterangannya, Badan Eksekutif Uni Eropa tersebut telah memutuskan bahwa budi daya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan dan penggunaannya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan, hal itu berseberangan dengan kepentingan produsen minyak kelapa sawit utama Malaysia dan Indonesia.
Penggunaan bahan baku biofuel yang lebih berbahaya akan ditutup secara bertahap pada 2019 hingga 2023 dan dikurangi menjadi nol pada 2030. Biofuel utama adalah bioetanol, dibuat dari tanaman gula dan sereal, untuk menggantikan bensin dan biodiesel yang dibuat dari minyak nabati, seperti minyak kelapa sawit, kedelai atau rapeseed (canola).
Undang-undang tersebut telah menyebabkan keributan di Indonesia, yang telah mengancam sebuah tantangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Malaysia, yang berupaya membatasi impor produk-produk Prancis atas rencana Prancis menghapus minyak kelapa sawit dari biofuel pada 2020.
Komisi berkesimpulan bahwa 45 persen dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008 menyebabkan kerusakan hutan, lahan basah atau lahan gambut, dan pelepasan gas rumah kaca yang dihasilkan. Itu dibandingkan dengan delapan persen untuk kedelai dan satu persen untuk bunga matahari dan rapeseed. Pihaknya menetapkan 10 persen sebagai garis pemisah antara bahan baku yang lebih sedikit dan lebih berbahaya.
Usulan awal Komisi Eropa itu menarik lebih dari 68.000 komentar dalam periode umpan balik publik selama empat minggu dan kritik dari para pencinta lingkungan karena mengizinkan sejumlah pengecualian.
Produsen yang dapat menunjukkan bahwa mereka telah meningkatkan hasil panen dapat dikecualikan. Kemudian dapat dikatakan bahwa tanaman mereka menutupi permintaan untuk biofuel serta untuk makanan dan pakan, tanpa perlu ekspansi ke lahan non-pertanian.
Perluasan tanaman semacam itu akan dianggap kurang berbahaya jika, misalnya, diterapkan oleh petani kecil atau mengarah pada penanaman makanan atau pemanfaatan tanah yang tidak digunakan. Di antara perubahan yang dilakukan setelah periode umpan balik adalah ketentuan bahwa kebun plasma berarti petani yang mandiri dan memiliki kurang dari dua hektare lahan. Budi daya di tanah yang tidak digunakan juga dibatasi.
Kelompok kampanye Transport & Environment mengatakan pelabelan minyak kelapa sawit sebagai tidak berkelanjutan adalah tonggak penting dalam perjuangan untuk mengenali dampak iklim dari membakar makanan untuk energi. Namun, pihaknya mengatakan kemenangan itu hanya sebagian karena minyak kedelai dan beberapa minyak sawit masih bisa diberi label “hijau”.
Sebelumnya, pengamat perdagangan komoditas internasional yang juga Chairman LMC International, James Fry, menilai mustahil bagi Uni Eropa untuk melarang penggunaan minyak sawit, terutama untuk produk pangan, karena alternative substitusi justru bermasalah serta sulit menggantikan volume pasokan yang begitu besar dalam waktu singkat.
“Jika masyarakat melihat realitas hari ini, saya yakin mustahil bagi Eropa untuk secara mudah menggantikan minyak sawit,” ujar James. James Fry merupakan salah satu pihak yang membuat kajian tentang deforestasi di perkebunan kelapa sawit untuk menjadi rujukan bagi Parlemen Eropa.
Menurut dia, dalam laporan Komisi Eropa saat ini juga terjadi beberapa diskusi dan pertentangan. “Jika Eropa mem-banned minyak sawit seluruhnya, secara mendadak Anda akan kehilangan pasar sekitar 6-7 juta ton, kemudian timbul pertanyaan apa yang akan menggantikannya?” tanyanya.
Fry menerangkan, minyak nabati yang potensial menggantikan minyak sawit adalah soyabean. “Tapi soyabean juga bermasalah. Konsumen Eropa tidak akan konsumsi soyabean yang merupakan modifikasi genetik. Karena harus dipasang label khusus, dan supermarket tidak suka dengan label ini,” paparnya.
Di sisil ain, tambah dia, begitu banyak produk makanan berbasis palm kernel oil. Jika digantikan oleh soyabean, maka akan timbul kebencian yang lebih besar di kalangan LSM di Eropa karena merupakan modifikasi genetik. “Jadi soyabean oil mengandung masalah,” ucapnya.
Eddy Esselink, Ketua Aliansi Sawit Eropa (EPOA), juga menilai tidak logis dan mustahil untuk menggantikan minyak sawit dengan minyak nabati lainnya.“Penggunaan minyak sawit sudah sangat luas di produk-produk yang dikonsumsi masyarakat Eropa. Tidak mungkin menggantikannya secara mendadak,” paparnya.
Menurut Esselink, EPOA dibentuk pada 2013 untuk mematahkan stigma negative tentang minyak sawit. “Komitmen EPOA adalah mencapai sawit berkelanjutan di Eropa dengan cara memberi inisiatif di seluruh Eropa,” ujar Esselink.
Ia juga menyebut public perlu mendengar kisah lengkap tentang perkembangan sawit. Menurutnya, kebutuhan minyak nabati akan terus meningkat seiring dengan penambahan populasi di dunia. Untuk itu keberlanjutan sector sawit perlu dijaga. Ada sederet ide kunci pendorong keberlanjutan sektor sawit yang dilontarkan Esselink.
Tiga di antaranya adalah tanggung jawab menjaga rantai pasok, kolaborasi, dan memastikan efektivitas dampak keberlanjutan. Dari seluruh ide kunci yang dilontarkan, Program Manager Sustainable Development MVO itu member penekanan pada kolaborasi. “Hasil positif bisa dicapai apabila kolaborasi muncul dari hasil kerjasama yang bagus dengan rantai pasok,” paparnya. Semua inisiatif yang diluncurkan para pemangku kepentingan di Eropa itu juga sejalan dengan 17 tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).(*/tim redaksi 05/Safarudin)
Duniaindustri Line Up:
Pemasok alkes berkualitas dan termurah: