Duniaindustri.com (September 2015) – Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menyatakan kinerja industri rokok pada semester I 2015 turun sebesar 1,27% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Karena itu, rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok hingga 23% pada tahun depan diyakini tidak akan efektif mendongkrak penerimaan negara.
“Sekarang ini sampai semester I turunnya bisa dibilang signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa dengan kondisi ekonomi yang turun, susah sekali untuk bisa diangkat,” kata Sekretaris Jenderal Gappri Hasan Aoni Aziz.
Dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2016, target penerimaan negara dari cukai rokok direncanakan sebesar Rp 148,9 triliun atau 95,8 persen dari total target penerimaan cukai yang dipatok Rp 155 triliun. Apabila disetujui DPR, maka target cukai rokok 2016 naik 7,05 persen dibandingkan target tahun ini Rp 139,1 triliun.
Sebelumnya, terbit Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20 tahun 2015 yang mengharuskan industri rokok untuk membayar cukai di tahun berjalan. Akibat hal itu, penerimaan cukai pada tahun ini dihasilkan dari 14 bulan, karena pembayaran cukai rokok pada bulan November dan Desember 2014 dibayar pada bulan Januari dan Februari tahun ini.
Hasilnya, menurut Hasan, target penerimaan cukai sebesar Rp 139,1 triliun pada tahun ini diperoleh dari 14 bulan pemungutan cukai. Dengan demikian per bulannya rata-rata sumbangan cukai rokok ke kas negara sebesar Rp 9,94 triliun. Apabila mengacu rata-prata bulanan setoran cukai rokok, maka seharusnya pencapaian 12 bulan tahun ini hanya Rp 119,2 triliun.
“Dengan kata lain, secara riil, kenaikan cukai rokok bukan 7 persen seperti apa yang dibicarakan, namun sebesar 23 persen. Jadi kalau dibandingkan penerimaannya antara tahun sebelumnya, itu tidak kongruen. Dan kami sangat yakin target itu tak bisa tercapai,” katanya.
Picu Layoff
Sebelumnya duniaindustri.com mencatat kenaikan cukai rokok itu akan memicu layoff sekitar 10 ribu tenaga kerja, setelah PHK massal tahun lalu yang juga diperkirakan mencapai 10 ribu tenaga kerja.
Gappri menjelaskan pada 2014 ketika pemerintah tidak menaikkan cukai rokok karena bertepatan dengan pemberlakuan pengenaan pajak rokok daerah 10%, sudah tercatat ada 10 ribu tenaga kerja industri rokok yang terkena PHK.
Tahun ini, lanjut dia, sekitar 10 ribu pekerja juga akan diberhentikan. Perubahan tren konsumsi sigaret kretek tangan (SKT) menjadi sigaret kretek mesin (SKM) menjadi salah satu faktor pendorong, di samping kenaikan tarif cukai.
“Konsumsi SKT turun tajam dan diikuti kenaikan yang hampir sama besarnya di sigaret kretek mesin. Ini berpengaruh dengan tenaga kerja, karena SKT itu banyak menyerap tenaga kerja,” ujar Hasan.
Hal itu, tambahnya, juga dilengkapi dengan prediksi kalau output industri rokok hingga akhir tahun diprediksi melemah sebesar 3 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. “Bahkan bisa jadi akibat hal ini kami prediksi akan ada perumahan karyawan sebesar 15 ribu karyawan tahun ini,” jelasnya.
Berbeda data, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto memperkirakan pertumbuhan rata-rata industri rokok akan berkisar 5 persen hingga 7,4 persen per tahunnya. Panggah menilai seharusnya Kementerian Perindustrian dilibatkan oleh Kementerian Keuangan dalam menentukan besaran tarif cukai rokok karena menyangkut kelangsungan industri nasional. “Ini komunikasi soal tembakau harus baik, agar tidak ada kesimpangsiuran,” jelasnya.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: