Duniaindustri.com (Agustus 2017) – Ketimpangan (disparitas) infrastruktur kesehatan di daerah masih lebar sehingga tidak mampu memberikan pelayanan bagi seluruh rakyat di Indonesia dengan kualitas yang sama. Hal itu tercermin dari rasio jumlah tempat tidur di rumah sakit–yang menjadi infrastruktur utama sektor kesehatan–per daerah di Indonesia masih belum merata.
“Rasio jumlah tempat tidur di RS di Indonesia, terlalu disparitas. Jika kita lihat data per provinsi, Yogyakarta paling tinggi hampir 3 tempat tidur per 1.000 orang, sementara di Indonesia bagian timur kecil sekali,” kata Luthfi Mardiansyah, Ketua Center for Healthcare Policy and Reform Studies (CHAPTERS) dalam pemaparan di Hospital Summit 2017 di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia memaparkan, di Jawa Barat rasio jumlah tempat tidur di RS hanya 0,84 per 1.000 orang, sementara di Jakarta sudah 2,43. “Hal ini juga mencerminkan jumlah rumah sakit di negeri ini tergolong rendah dibanding jumlah populasi,” ucapnya.
Menurut dia, disparitas itu terjadi karena alokasi belanja sektor kesehatan (healthcare) yang belum merata di daerah. “Jakarta spending healthcare-nya paling tinggi, saya tidak heran kalau RS swasta ingin bangun ya di sekitar Jakarta. Tapi kalau kita lihat daerah lain masih kecil, Jawa Barat juga masih kecil,” katanya.
Luthfi juga menilai disparitas itu juga terjadi karena alokasi pemerintah di sektor kesehatan masih tergolong rendah dibanding negara-negara ASEAN lain, meski sudah ada perbaikan dengan program Jaminan Kesehatan nasional (JKN). “Belanja kesehatan Indonesia terkecil dibanding negara-negara ASEAN. Kita hanya lebih baik dibanding Laos, Brunei, dan Myanmar,” ucapnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, lanjut dia, belanja kesehatan di Indonesia memang tumbuh pesat sekitar 10%-20% per tahun, terlebih lagi didorong program JKN sejak 2015. Namun percepatan pertumbuhan itu belum mampu membuat Indonesia mengejar ketertinggalan dibanding negara lain. Bahkan dibanding dengan Vietnam, Indonesia masih jauh tertinggal. “Salah satu faktor adalah banyak masyarakat kita yang mencari pelayanan kesehatan di luar negeri. Ini perlu dicermati,” tuturnya.
Di sisi lain, Luthfi menambahkan, pemerintah justru menurunkan anggaran sektor kesehatan pada 2017 sebesar Rp 4,4 triliun menjadi Rp 61,7 triliun dari Rp 66,1 triliun di 2016. Dengan demikian, porsi sektor kesehatan dalam APBN juga menurun pada 2017 menjadi hanya 4,1% dari tahun 2016 sebesar 5,1%. “Komitmen pemerintah untuk menjadikan sektor kesehatan sebagai sektor prioritas belum terlihat. Saya sampaikan ini secara independen, berdasarkan data dan angka,” ujarnya.
Selain anggaran yang cenderung turun pada 2017, dia menilai, persoalan di sektor kesehatan adalah sasaran pembangunan pemerintah masih berkutat di masalah yang sama yakni pembayaran bantuan iuran (PBI) untuk BPJS Kesehatan serta operasional kesehatan (belanja pegawai). Belanja kesehatan yang dialokasikan ke Kementerian Kesehatan sekitar 54% untuk PBI dan defisit BPJS Kesehatan tahun 2016.
“Pertanyaannya sekarang, anggaran yang disebar sebanyak itu dengan jumlah pasien yang sudah ditangani selama 3 tahun terakhir, apakah efektif atau tidak? Kemudian pertanyaan juga, 175 kasus dalam pelaksanaan JKN itu pasiennya apakah bisa termonitor dengan baik atau tidak? sehingga kita bisa tahu, uang yang dikeluarkan pemerintah, hampir sekitar Rp 36 triliun, untuk biaya JKN itu telah memberikan suatu nilai tambah bagi sistem kesehatan kita atau tidak? ini yang harus kita lihat,” paparnya.
Perbaiki Sistem Kesehatan
Dia menegaskan pemerintah dan stakeholders di sektor kesehatan perlu membangun sistem kesehatan yang efisien untuk menghadapi tantangan ke depan. Ke depan, isu-isu krusial seperti usia harapan hidup di Indonesia yang makin lama makin tinggi sampai 71 tahun dan jumlah penduduk golongan muda yang besar (30-40 tahun, bonus demografi) menjadi tantangan tersendiri.
“Masalahnya bonus demografi itu akan menjadi bonus atau burden karena kita tahu biaya kesehatan makin lama akan makin naik, sedangkan anak-anak muda yang tidak menjaga gaya hidupnya justru rentan penyakit, ini yang dapat membebani anggaran BPJS Kesehatan jika tidak diantisipasi dengan baik. Kita harus antisipasi isu ledakan masyarakat datang ke BPJS Kesehatan makin lama makin besar, bahkan antrean makin panjang,” ucapnya.
Dia menerangkan jika dilihat gaya hidup anak-anak muda di Indonesia sekarang, mereka lebih rentan mengidap penyakit metabolik. “Dulu jarang kita dengar penyakit jantung atau penyakit metabolik terjadi di bawah umur 40 tahun, sekarang sudah berbeda,” ucapnya.
Lebih jauh lagi, lanjut dia, sekarang prefelansi penyakit diabetes di Jakarta sudah 37%, kebanyakan anak-anak muda. Kalau ini tidak ditangani dengan baik, tentu ini akan berlanjut ke diabetes kronis dan nanti akan diobati oleh BPJS. “Jika tidak ditangani dengan benar, ini berpotensi gagal ginjal, kita bisa lihat burden ini akan ada, sehingga jika tidak dilakukan sekarang, jangan harap BPJS tidak ada mismatch lagi. Defisit BPJS sekarang diganti jadi istilah mismatch. Itu semua karena kekurangan dana. Kemudian kalau dibilang iuran harus dinaikkan juga tidak, karena ujung masalahnya harus dipecahkan sehingga tidak berlanjut,” paparnya.
Di sisi lain, menurut dia, tingkat mortalitas di Indonesia makin naik. Banyak penyakit muncul karena lifestyle masyarakat yang mulai berubah. Di Apbn 2017 juga bisa dilihat penanganan penyakit nonmenular jadi salah satu prioritas utama. Pemerintah sebenarnya sadar bahwa isu ini harus ditangani dengan cepat, ini yang perlu didorong lebih besar. “Kita harus antisipasi isu ledakan masyarakat datang ke BPJS makin lama makin besar, dan 4 besar penyakit yang ditangani BPJS juga sama, biaya makin naik, bahkan antrean makin panjang,” tutupnya.(*/tim redaksi 06)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: