Duniaindustri.com – Kementerian Pertanian menyatakan ketahanan pangan membutuhkan bioteknologi untuk mengurangi impor. Ketergantungan terhadap impor produk pangan mestinya dapat dikurangi karena Indonesia sebagai negara agraris seharusnya bisa memproduksi pangan sendiri.
Kepala Badan Litbang Pertanian Haryono mengatakan, pangan merupakan komoditi strategis baik dari sisi ekonomi maupun politis. ”Apabila persoalan pangan ini bergantung pada negara lain, maka bisa berbahaya,” ujarnya.
Duniaindustri mencatat Indonesia masih mengimpor kedelai, sebagai bahan baku tahu dan tempe, sebanyak 1,7 juta ton, setara dengan US$ 840 juta atau Rp 7,14 triliun dengan kurs Rp 8.500/US$. Impor bahan baku pembuatan tempe dan tahu itu di 2010 sebanyak 1,7 juta ton berasal dari Amerika Serikat, Malaysia, Argentina, Kanada, dan Thailand.
Penggunaan bioteknologi bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Produk bioteknologi lebih aman dibandingkan produk nonrekayasa genetika karena selalu dipantau dan dievaluasi.
Perwakilan kompartemen bioteknologi di CropLife Indonesia Fadilla Dewi Rakhmawaty mengungkapkan pada 2010 pengembangan tanaman produk rekayasa genetika di seluruh dunia telah mencapai satu miliar hektare (ha).
Negara yang menanam tanaman bioteknologi meningkat dari 25 negara menjadi 29 negara yang mana 10 negara penanam terbesar (lebih dari 1 juta ha) delapan di antaranya merupakan negara berkembang.
Petani yang membudidayakan tanaman bioteknologi di seluruh dunia mencapai 15,4 juta orang yang mana 14,4 juta di antaranya petani kecil dan miskin. Dampak keuntungan yang diperoleh petani dengan menanam tanaman bioteknologi, menurut dia, sebanyak US$ 10,8 miliar pada 2009 dan 53% petani di negara berkembang.(*)