Duniaindustri.com — Pemerintah, PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS), Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas), serta Forum Industri Pengguna Gas Bumi yang menaungi sekitar 500 perusahaan manufaktur sepakat menunda kenaikan harga gas dan mulai diberlakukan pada 1 September 2012. Persentase kenaikan akan ditetapkan sepekan ke depan.
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan Perusahaan Gas Negara tidak bisa mengubah kenaikan harga gas secara mendadak karena akan merusak rencana bisnis yang telah ditetapkan oleh sektor industri. Dengan demikian, apabila nanti ada kenaikan harga gas, seluruh pengguna gas akan diberitahukan asosiasinya dan harus ada pembicaraan secara periodik. “Pengguna gas diperkirakan mencapai 500 industri termasuk asing,” kata Hidayat.
Perusahaan Gas Negara pada 15 Mei 2012 telah memberlakukan kenaikan harga jual gas di Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera Selatan sebesar 52% dari US$ 6,67 per juta british thermal unit (mmbtu) menjadi rata-rata US$ 10,15 mmbtu mulai Mei 2012.
Kebutuhan pasokan gas industri minimal sebesar 1.015 mmscfd dari total 1.250 mmscfd. Hingga saat ini, pasokan gas yang dipenuhi baru mencapai 750 mmscfd. Sementara, Forum Lintas Asosiasi Industri justru meminta negosiasi ulang terhadap kenaikan harga dan alokasi pasokan gas industri.
Franky Sibarani, Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Makanan dan Minuman, mengatakan industri pengguna gas sebelumnya telah meminta agar kenaikan harga gas dilakukan secara bertahap. “Kami minta kenaikan sebesar 15% di Juli, 11% di Januari 2013, Juli 11%, dan Januari 2014 naik sebesar 11%. Jadi ada kenaikan per enam bulan,” kata dia.
Tahun lalu pertumbuhan industri telah mengalami kenaikan dua kali lipat menjadi 6,9% dibanding 2009 yang baru mencapai 2,3%. Kontribusi sektor industri pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 24% dan diharapkan ke depan dapat terus meningkat ke depan seiring dengan kebijakan soal gas yang dapat mendorong pertumbuhan industri.
Saat ini ada empat sektor pengkonsumsi gas, yakni lifting (untuk menarik minyak), pupuk, PT PLN (Persero) dan industri. Serta yang terbaru adalah sektor otomotif terkait kebijakan konversi bahan bakar minyak ke gas di sektor transportasi.
405 Pabrik Terpengaruh
Himpunan asosiasi Industri bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Industri mengajukan surat keberatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai rencana kenaikan harga gas industri.
“Hari ini 30 asosiasi industri pemakai gas mengajukan surat kepada Presiden mengenai rencana kenaikan harga gas untuk industri sebesar 55% yang dilakukan tiba-tiba,” kata Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi pada konferensi pers di Jakarta.
Menurut dia, saat ini ada 405 pabrik yang terbagi dalam 27 industri dan tersebar di 16 provinsi mengalami kekurangan pasokan gas. Perwakilan industri yang hadir dalam konferensi pers tersebut adalah Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani, Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Samuel Rumbajan, wakil Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Muhdi Agustianto, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) EG Ismy, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional (IISIA) Edward Pinem, perwakilan Asosiasi Produsen Serat Sintetis dan Fiber Indonesia (Apsyfi) Erwin Osmal Yuniver, Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia Binsar Marpaung, serta perwakilan Forum Investor Bekasi.
Mereka menilai industri sudah mempunyai kontrak jangka panjang dengan pelanggan dan tidak memungkinkan permintaan penghitungan ulang kontrak.
Sofjan menambahkan kenaikan harga gas sebesar 55% yang ditetapkan secara sepihak oleh PT Perusahaan Gas Negara akan menaikkan ongkos produksi sebesar 25%-30% industri pengguna gas seperti baja, kaca, keramik, keramik, tekstil maupun makanan.
Surat kepada Presiden tersebut meminta agar industri diberikan kesempatan untuk melakukan negosiasi ulang dengan pemerintah baik Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral, Kementerian Peridustrian, BP Migas maupun PGN mengenai kenaikan harga dan kecukupan pasokan gas.
Tawaran kenaikan harga gas secara bertahap yang diajukan asosiasi terdiri atas empat tahap. Pertama, harga saat ini senilai US$ 4,3 per MMBTU (million british thermal units) menjadi US$ 5,82 per MMBTU pada Juli 2012 (naik 15%), selanjutnya US$ 6,4 per MMBTU pada Januari 2013 (naik 11%), US$ 7 per MMBTU pada Juli 2013 (naik 11%) dan terakhir US$ 7,7 per MMBTU pada Januari 2014 (naik 11%).
Asumsi yang digunakan adalah 1 MMBTU adalah 30 meter kubik sedangkan “toll fee” diminta tidak berubah yaitu sebesar Rp750 per meter kubik dan “surcharge” diubah menjadi 100%.
Sejak 1 Mei 2012, PGN menaikkan harga gas sampai 55% menjadi US$ 10,2 per MMBTU dari semula US$ 6,6 per MMBTU berdasarkan surat PT PGN nomor 069900.S/PP/01/SBUI/2012 dan revisinya nomor 0775500.S/PP.01.01/SBUI/2012.
Catatan Duniaindustri.com menyebutkan, industri nasional tahun lalu juga dihantui masalah kekurangan (defisit) pasokan gas sebagai bahan bakar. Kebutuhan gas industri nasional mencapai 1.500 juta standar metrik kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/MMSCFD), namun yang terpenuhi hanya sekitar 800 MMSCFD.
Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi Ahmad Saifun mengatakan, sebenarnya masalah defisit pasokan gas merupakan problem klasik yang terus dihadapi pengusaha manufaktur. “Tapi setiap tahun, masalah ini kembali berulang,” ujarnya.
Forum Industri Pengguna Gas Bumi menghitung, kebutuhan gas nasional pada 2011 mencapai 2.900 MMSCFD. Dengan pertumbuhan ekonomi ditargetkan 6% di 2011, kebutuhan gas bisa meningkat dengan angka yang sama. Tapi, pasokan melalui pipa PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) hanya sebanyak 1.500 MMSCFD. Itupun harus dikurangi dengan alokasi perusahaan BUMN yang mencapai 800-1.000 MMSCFD. Dengan demikian, jatah untuk perusahaan manufaktur tambah sedikit.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman juga mengakui keterbatasan pasokan gas untuk perusahaan makanan minuman. Penggunaan gas pada industri makanan dan minuman adalah sebesar 7% dari kebutuhan nasional. Kebutuhan gas untuk industri makanan minuman mencapai 801 MMSCFD, sementara pemerintah hanya mengalokasi sebesar 583 MMSCFD.
Forum Industri Pengguna Gas Bumi mencatat sekitar 20 sektor industri masih mengalami defisit pasokan gas. Pengusaha di sektor industri itu belum mendapat kepastian pasokan gas untuk produksi. “Dari 22 sektor industri yang membutuhkan gas, ada 326 pabrik yang tersebar di 15 provinsi,” kata Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani.
Kalangan pengusaha sudah melaporkan masalah tersebut sampai ke Wakil Presiden Boediono, namun belum ada hasil konkret untuk mengatasi problem tersebut. “Ironisnya, pemerintah dirasakan lebih utamakan peningkatan suplai gas ke Jepang. Sementara industri dalam negeri, sudah 3 tahun ini berjuang, namun belum mendapatkan kejelasan,” katanya.(Tim redaksi/03)