Latest News
You are here: Home | World | Kebijakan Indonesia Dongkrak Harga Nikel dan Timah Dunia
Kebijakan Indonesia Dongkrak Harga Nikel dan Timah Dunia

Kebijakan Indonesia Dongkrak Harga Nikel dan Timah Dunia

Duniaindustri.com (Mei 2014) — Langkah Indonesia melarang ekspor mineral mentah diprediksi bakal mendongkrak harga nikel naik hingga 20% pada tahun ini. Kebijakan yang diterapkan Indonesia pada 12 Januari 2014 telah mengurangi pasokan nikel di pasar internasional.

Bukan hanya larangan ekspor mineral, hasil survei terhadap para analis dan pedagang menunjukkan peningkatan kerusuhan di Ukraina juga telah menjadi pendukung penguatan harga nikel,

Berdasarkan hasil survei Bloomberg News, harga jual nikel untuk industri logam sejak Januari terus menguat dan akan menembus level US$ 22 ribu per ton pada akhir 2014. Harga nikel berjangka di London metal Exchange telah naik 33% pada tahun ini, setelah tahun lalu tercatat amblas 19%.

Indonesia, penambang nikel nomor satu di dunia, telah melarang ekspor bijih mineral mentah demi mendorong pengembangan industri pengolahan mineral di dalam negeri.

Sementara Rusia, produsen nikel nomor dua, harus menghadapi kemungkinan sanksi ekonomi dari Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa atas tindakan pemerintahan Presiden Vladimir Putin untuk mengobarkan kerusuhan di tetangganya .

“Nikel memiliki momentum penguatan harga dan menarik minat  para spekulan,” kata pendiri dan analis senior dari Mine Life Pty, Gavin Wendt.

Macquarie Group Ltd memperkirakan defisit pasokan nikel pada semester II 2014 dan akan semakin melebar pada tahun depan. Diharapkan Indonesia bakal melonggarkan kebijakan larangan ekspor bijih mineral mentah.

Goldman Sachs Group Inc dan Morgan Stanley juga proyeksikan dunia akan kekurangan nikel pada 2015. Pasalnya, permintaan nikel di pasar melebihi pasokan yang tersedia.

Indonesia tercatat memasok sekitar 25% dari total pasokan global. Menurut Goldman Sachs, industri China paling tertekan karena pasokan bijih untuk membuat nikel pig iron menjadi berkurang. Kenaikan harga juga mengakibatkan biaya pembelian bijih meningkat hingga 90% pada tahun ini.

Kondisi yang terjadi di komoditas nikel juga hampir serupa dengan komoditas timah. Defisit pasokan timah secara global diperkirakan terus membesar sejak 2011-2016 seiring penurunan produksi di sejumlah negara produsen utama, sementara konsumsi terus bertumbuh. Pada 2014, defisit pasokan timah diperkirakan 13,3 ribu ton, naik 11,7% dari 2013 sebesar 11,9 ribu ton.

Menurut riset sejumlah perusahaan termasuk dari RHB OSK Securities, pada 2014 defisit pasokan timah akan mencapai 14 ribu ton, tertinggi dalam empat tahun terakhir. Defisit yang mulai terjadi tahun lalu disebabkan produksi tidak mampu memenuhi total konsumsi.

Tahun lalu produksi timah global mencapai 349,5 ribu ton, yang berasal terutama dari China 158,5 ribu ton dan Indonesia 63 ribu ton. Sementara konsumsi global tahun lalu sudah mencapai 361,3 ribu ton, terutama berasal dari China 169,2 ribu ton, Amerika Serikat 29,2 ribu ton, dan Jepang 28,2 ribu ton. Keseimbangan pasokan dan konsumsi di China sangat tipis pada tahun lalu dan diperkirakan menjadi defisit tahun ini.

Konsumsi timah China pada 2014 naik menjadi 177,7 ribu ton, sementara produksi negara Tirai Bambu itu hanya 168 ribu ton. Hal ini ikut memperparah kondisi defisit pasokan timah di dunia. Seiring dengan pasokan timah yang cenderung defisit, harga komoditas tersebut diperkirakan naik dari rata-rata US$ 22.270 per ton di 2013 menjadi US$ 23.375 per ton.

Defisit pasokan timah di dunia juga disebabkan penurunan produksi di Indonesia, yang berkontribusi sekitar 22% terhadap pasokan global. Produksi timah di Indonesia turun 21% pada 2013, seiring revisi kebijakan perdagangan dan aturan baru ekspor pada 2013. Selain Indonesia, produksi timah di Malaysia juga turun -13,6%, Peru (-6,1%), dan Bolivia (-7,6%).

Indonesia saat ini berpengaruh sekitar 28% terhadap total ekspor timah secara global. Jika mengecualikan China, Indonesia berkontribusi hingga 50% dari total produksi timah global, memberikan peran signifikan terhadap pasar global. Harga timah secara konstan naik sejak akhir 2013, terutama saat Indonesia berupaya untuk membatasi ekspor timah. Upaya itu dilakukan untuk mendorong harga dan mengontrol penambangan ilegal di Indonesia.

Dari 12 tahun terakhir, Indonesia sudah mengimplementasikan sejumlah kebijakan untuk mengontrol ekspor timah. Kebijakan terbaru dilakukan pada Juli 2013, saat Indonesia melarang ekspor timah ingot dengan tingkat pengolahan kurang dari 99,9%. Pada Agustus 2013, Indonesia menerapkan mandatori untuk ekportir timah untuk bertransaksi di Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) sebagai upaya menutup penambangan ilegal dan mendongkrak harga di pasar internasional menjadi US$ 25.000 per ton.

Produksi timah Indonesia per tahun mencapai 100.000 ton-120.000 ton per tahun dan menguasai 40% pasokan timah dunia. “Dengan adanya undang-undang yang mengatur perdagangan timah melalui bursa timah nasional, diharapkan tidak akan terjadi lagi penjualan di bawah harga pokok, sehingga proyeksi bahwa Indonesia menjadi penentu harga timah bisa terealisasi,” kata Direktur Utama PT Timah (Persero) Tbk Sukrisno.

Menurut Sukrisno, kemungkinan Indonesia menjadi penentu harga timah dunia cukup besar karena di samping sebagai salah satu produsen terbesar, negara ini juga menjadi pengekspor terbesar yang memunuhi kebutuhan timah dunia. Dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, harga timah mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari US$ 19.000 per ton menjadi US$ 23.000 per ton.

“Kami lebih memilih menjual 15 ton timah dengan harga US$ 30.000 per ton, dibanding menjual 30 ton dengan harga US$ 15.000 per ton. Penghasilan yang diterima perusahaan memang sama namun berbeda dalam jumlah timah yang diperdagangkan,” tambah Sukrisno.(*/berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top