Duniaindustri.com (September 2015) – Jika kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus terdepresiasi hingga Rp 17.500/US$, kondisi ketahanan bisnis perbankan di Indonesia akan terpengaruh. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, misalnya, akan mencatatkan kenaikan rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) menjadi 5%.
Hal itu disampaikan Direktur Business Banking BNI Sutanto berdasarkan hasil uji ketahanan kinerja bisnis (stress test) BNI. “Asumsinya, jika per dolar AS seharga Rp17.500, NPL akan menjadi lima persen,” katanya.
Menurut dia, asumsi tersebut telah mempertimbangkan tren inflasi sesuai sasaran Bank Indonesia di kisaran empat persen plus-minus satu persen, serta sejalan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen.
Namun, jelas dia, hasil stress test terhadap sejumlah rasio keuangan perseroan masih dalam tahap perhitungan. “Stress test yang terkait ke nasabah, kami menggunakan dua pendekatan, yakni top and down. Sekarang sedang (menguji) pendekatan down (makro),” tutur Sutanto.
Secara umum, bisnis yang paling parah terkena dampak depresiasi rupiah adalah sektor perdagangan internasional, terlebih lagi perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS. “Perusahaan pengimpor bahan baku biasanya bermasalah. Misalnya, nasabah yang mengimpor plastik, hasil produksi dijual di dalam negeri. Berbeda dengan yang mengimpor kapas dan membuat benang untuk diekspor, mereka untung,” paparnya.
Dia menambahkan, jika rupiah menembus Rp17.500 per dolar AS, rasio kecukupan modal (CAR) BNI akan tergerus dua persen. “Tetapi, itu masih oke buat CAR kami,” jelas Sutanto.
Sebelumnya, analis mengkhawatirkan depresiasi tajam rupiah akan membuat likuiditas industri perbankan makin ketat yang diperparah dengan naiknya kredit bermasalah (NPL). Kondisi itu dapat menggerus profitabilitas dan solvabilitas industri perbankan di Indonesia.
Analis pasar uang dari LBP Enterprise Lucky Bayu Purnomo mengatakan, dengan depresiasi rupiah saat ini bank dalam kondisi koma. “Bank sudah lampu merah karena kemampuan bank Rp 13.500 itu dalam kondisi koma itu,” ujarnya kepada wartawan.
Lucky menjelaskan, dampak negatif dari pelemahan rupiah cukup besar. Sebab, rupiah telah melampaui batas psikologisnya sebesar Rp 13.500 per dolar AS. Dan itu merupakan sinyal pelemahan rupiah lebih lanjut untuk menuju level Rp 13.850 per dolar AS.
Lucky menilai, kondisi ini harus diantisipiasi khususnya sektor perbankan karera mayoritas dengan pelemahan rupiah membuat dolar mendominasi. “Dengan adanya dominasi ini membuat turunnya likuiditas perbankan karena rupiah jarang diapresiasi dan lebih minim beredar,” imbuhnya.
Dengan situasi seperti ini, lanjutnya, dikhawatirkan rasio kredit macet (NPL) semakin tinggi sehingga membahayakan kinerja bank. Sebab, banyak orang yang mengambil kredit tapi tidak punya kemampuan untuk membayar sesuai jatuh tempo.
Menurutnya, dampak pelemahan rupiah terhadap industri perbankan dapat dilihat ketika laporan kuartal berikutnya dimana kinerja kuartal kedua tahun ini tidak cukup baik. Mengingat suku bunga cukup tinggi dan angka inflasi tertinggi dalam enam tahun terakhir.
Dia memprediksi pelemahan rupiah masih akan terjadi sampai September saat the Fed menaikkan suku bunga. Lucky memperkirakan pelemahan rupiah level tertinggi sampai September akan berada di angka Rp 14.100 per dolar AS.
Lucky berharap peran Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga secara bertahap. Kemudian pemerintah juga diminta menahan laju inflasi. Karena tingginya inflasi akan menurunkan tingkat daya beli masyarakat. “Bank Indonesia harus mendorong dan memberikan stimulus terhadap rupiah itu sendiri,” pungkasnya.
Penurunan Kredit
Sementara itu, Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan, kondisi NPL perbankan tercatat masih 2,5 persen (gross) dan NPL net 1,25 persen. Hal itu menunjukkan bank masih cukup permodalannya. Apalagi dari sisi rasio kecukupan modal (CAR) tercatat 20,5 persen.
Dia membenarkan perbankan mengalami penurunan dari sisi bisnis perkreditan. Pertumbuhan kredit semakin melambat menjadi 10,2 persen, dan terdapat sedikit meningkat NPL. Namun, dia menilai peningkatan NPL wajar. Sebab, di negara manapun kalau pada saat pertumbuhan melambat pasti NPL mengalami peningkatan.
“Karena pembaginya semakin kecil. Sebenarnya kalau dari sisi stabilitasi sistem keuangan kita enggak terlalu worry,” kata Erwin kepada media.
Sesuai dengan revisi Rencana Bisnis Bank pada pertengahan 2015, pertumbuhan kredit diproyeksikan di kisaran 11-13 persen dari proyeksi awal 15-17 persen.
Sementara itu, Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto mengatakan, efek negatif jangka pendek pelemahan rupiah akan memukul pengusaha yang punya pinjaman valas. Dimana pinjaman valuta asingnya tidak di-hedging dan outputnya dipasarkan di dalam negeri.
“Maka, bank-bank harus mencermati debitur-debiturnya yang punya utang valas untuk lebih hati-hati, upayakan pinjamannya di-hedging, dan upayakan di konversi ke rupiah saja,” jelasnya.
Dia meminta bank-bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit valuta asing. Bank-bank juga harus lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit ke pengusaha yang banyak komponen impornya tapi penjualannya di dalam negeri.(*/berbagai sumber)