Latest News
You are here: Home | Umum | Ironis, Indonesia Berpotensi Impor Gas Meski Jadi Eksportir Terbesar
Ironis, Indonesia Berpotensi Impor Gas Meski Jadi Eksportir Terbesar

Ironis, Indonesia Berpotensi Impor Gas Meski Jadi Eksportir Terbesar

Duniaindustri.com (November 2015) – Meski menyandang titel eksportir terbesar, Indonesia terpaksa harus mengimpor gas pada 2019 jika tidak menemukan cadangan baru. Sungguh ironis.

Dengan pertumbuhan konsumsi gas yang terus meningkat di dalam negeri dan jika tidak ditemukan cadangan baru, diperkirakan pada 2019 Indonesia akan menjadi negara pengimpor.

“Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia, 5,5%-6% per tahun, maka produksi gas bumi diperkirakan tidak akan cukup pada 2019 nanti. Jadi 4 tahun lagi untuk pertama kalinya Indonesia menjadi importir,” ujar Dirjen Migas Kementerian ESDM, I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja.

Walau menjadi importir pada 2019, Indonesia sekaligus tetap sebagai eksportir terbesar, dikarenakan kontrak jual beli gas yang dilakukan saat ini merupakan kontrak jangka panjang.

Agar impor tidak membesar, pemerintah berkomitmen untuk tidak memperpanjang kontrak ekspor dan mengutamakan penggunaan untuk dalam negeri. “Kami pastikan, tidak akan ada perpanjangan kontrak ekspor gas lagi. Seluruh produksi akan diprioritaskan untuk dalam negeri,” tegas Wiratmaja.

Sebagaimana diketahui, salah satu negara tujuan ekspor gas bumi Indonesia adalah Fujian, China. Saat ini pun Indonesia sudah menjadi importir untuk LPG, ini terjadi semenjak diberlakukannya konversi minyak tanah ke LPG pada 2011 lalu.

Ekspor Gas
Indonesia memulai ekspor pada tahun 1977 yaitu ekspor gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) dari Kilang Badak di Bontang, Kalimantan Timur. Setahun kemudian, Indonesia kembali memulai ekspor LNG dari Kilang Arun di Aceh. Saat itu konsumsi domestik masih sangat rendah sementara di sisi lain, negara sangat membutuhkan devisa untuk pemulihan ekonomi. Akhirnya, gas bumi Indonesia diolah menjadi LNG untuk kemudian di ekspor ke pasar internasional. Karena sifat dari gas bumi yang tidak bisa disimpan seperti minyak bumi, maka dibutuhkan kontrak jual-beli jangka panjang. Hal ini untuk memberikan kepastian  penjualan dari sisi produsen dan kepastian pasokan dari sisi pembeli. Kontrak  jual-beli dalam jangka panjang inilah yang masih berlaku sampai saat ini.

Kontrak-kontrak yang masih berjalan hingga saat ini adalah kontrak lama yang ditandatangani saat  gas masih kurang diminati oleh pembeli domestik. Bahkan saat kontrak ekspor LNG dari Kilang LNG Tangguh di Papua ditandatangani tahun 2002, permintaan domestik belum setinggi saat ini. Karena pasar domestik tidak mampu menyerap, maka sepertiga bagian LNG dari Tangguh diekspor ke Tiongkok. Sisanya lagi diekspor ke berbagai negara untuk menghasilkan penerimaan negara. 

Konsumsi dalam negeri sendiri mulai naik tajam tahun 2005. Pada saat itu pemanfaatan gas untuk dalam negeri mencapai 1.513 billion British thermal unit per day (BBTUD) dan terus meningkat sampai mencapai 3,774 BBTUD di tahun 2013. Mulai tahun 2013, porsi pasokan gas untuk domestik sudah lebih besar dari ekspor. Realisasi pemanfaatan dalam negeri pada tahun tersebut mencapai sekitar 52 persen dari total pemanfaatan.

Naiknya pasokan gas untuk pasar domestik tersebut mencerminkan bahwa industri hulu migas tidak melulu mengutamakan ekspor. Pasokan domestik pun tetap diperhatikan bahkan terus ditambah. Hanya saja, kontrak ekspor tidak bisa serta merta dialihkan ke pasar dalam negeri karena berlaku untuk jangka panjang. Ekspor ini pun masih diperlukan mengingat penerimaan negara masih tergantung pada migas dan harga rata-rata gas ekspor hampir dua kali lipat dari harga domestik.

Selain itu, terbatasnya infrastruktur juga menjadi penghambat pemanfaatan domestik. Saat ini Indonesia baru memiliki satu terminal penerima LNG yang berlokasi di Teluk Jakarta. Tanpa adanya fasilitas tambahan, mustahil gas dari Papua akan bisa dikonsumsi oleh industri di Jawa dan Sumatera.Tidak hanya itu, saat ini, jaringan pipa distribusi masih minim. Contoh konkret, kelebihan produksi di Jawa Timur tidak dapat dikirimkan ke Jawa Barat yang kebutuhan gasnya tinggi karena belum ada jaringan pipa yang menghubungkan kedua wilayah ini.

Hasil kegiatan eksplorasi beberapa tahun terakhir memperlihatkan tren peningkatan penemuan cadangan baru di Indonesia. Bahkan, volume produksi LNG diperkirakan akan meningkat sampai tahun 2020. Hal ini dimungkinkan dengan berproduksinya beberapa proyek besar seperti Indonesia Deep Water Development (IDD); Blok Muara Bakau; dan Blok Masela. Peningkatan ini tentu memberikan prospek yang menjanjikan baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.

Pemerintah sudah menyatakan komitmennya bahwa pasokan ke depan akan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Akan tetapi, sekali lagi, untuk mewujudkan hal ini, ketersediaan infrastruktur dan keekonomian pengembangan lapangan gas harus diperhatikan. Tanpa adanya kepastian terhadap dua hal ini, pengembangan proyek gas dan pemanfaatan hasilnya untuk domestik tidak akan bisa optimal.(*/berbagai sumber)

datapedia

DIVESTAMA2 (1)

desainbagus kecil

CONTACT US BY SOCIAL MEDIA:

TwitterLogo Like-us-on-Facebook

logo slideshare google-plus-logo

watch_us_on_youtube

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top