Duniaindustri.com (2013) — Industri tekstil di Indonesia ternyata masih menarik minat investor asing. Kabar terakhir menyebutkan, sebanyak 18 investor tekstil asal China berencana berinvestasi di sini. Kalau rencana ini berjalan, pengusaha China ini bakal mendatangkan modal sebesar US$ 200 juta.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat menyebut beberapa investor tekstil China ini, di antaranya adalah Hi-Tech Group Corporation dan Texhing Textile Group Co Ltd. Pengusaha tekstil negeri tembok raksasa ini masih mengincar Pulau Jawa sebagai basis produksi mereka.
Bahkan Hi-Tec Group berencana menanamkan investasi dalam jangka panjang. Diperkirakan investasi senilai US$ 6 miliar akan mereka tanamkan secara bertahap. Menurut Ade, Hi-Tech Group ini akan mengembangkan industri tekstil di Wonogiri, Jawa Tengah.
Bahkan mereka mulai menjajaki mitra lokal yang juga produsen tekstil, salah satunya adalah PT Sri Rejeki Isman.
Tentu saja, kalau terealisir rencana investasi ini bakal menguntungkan industri tekstil nasional. Pasalnya investasi tersebut mampu mendongkrak kapasitas produksi tekstil nasional hingga sebesar 50%.
Apalagi investasi pengusaha asal China tersebut bakal bergerak di sektor hulu tekstil. Dengan begitu, Ade memperkirakan, kapasitas produksi tekstil hulu bisa meningkat sebesar 30%.
Pengusaha tekstil asal China tersebut berencana untuk menjadikan pasar ekspor sebagai prioritas penjualan mereka. Dengan demikian, HiTech Group akan membantu daya saing tekstil Indonesia secara keseluruhan dan meningkatkan kinerja ekspor tekstil nasional.
API memprediksi ekspor tekstil nasional mencapai US$ 14 miliar di 2012. Nilai ekspor ini naik sekitar 5% dibandingkan realisasi ekspor pada 2011 lalu yang hanya sebesar US$ 13,3 miliar. Bahkan API yakin ekspor tekstil nasional bakal mencapai US$ 25 miliar di 2016.
Direktur Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian, Ramon Bangun mengatakan, sebagian besar investor asing di sektor tekstil mengincar industri hilir berupa industri garmen. Itulah sebabnya, pemerintah mengarahkan mereka untuk menanamkan investasinya di Jawa Tengah.
Secara geografis lokasi yang tingkat kesediaan airnya rendah lebih cocok untuk industri tekstil kering seperti garmen. “Tidak seperti di Majalengka yang cocoknya untuk tekstil basah seperti untuk produk kain,” tandasnya.
Ramon menambahkan, salah satu alasan investor asing merelokasi pabrik ke negara lain adalah faktor biaya tenaga kerja. Nah, Indonesia punya saingan berat yakni Vietnam. Di negeri itu upah pekerjanya lebih murah ketimbang di Indonesia.
Urutan No 9
Indonesia berambisi menjadi salah satu raksasa produsen tekstil dunia dengan nilai devisa ekspor sekitar US$ 19 miliar atau Rp 171 triliun pada 2015. Saat ini industri tekstil dan produk tekstil (TPT) RI menjadi raksasa peringkat 9 terbesar dunia untuk garmen (hilir), sedangkan di tekstil (hulu) peringkat 11 dunia. Industri TPT nasional memiliki jumlah mesin pemintal benang terbesar keempat di dunia, 7,85 juta mata pintal.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, pada 2010 ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia mencapai US$ 11,21 miliar, naik 21% dibanding 2009. Dari nilai itu, ekspor TPT Indonesia menguasai 1,67% pangsa dunia, 4,55% pangsa pasar di Amerika Serikat, dan 1,28% pangsa di Uni Eropa.
Industri TPT nasional saat ini merupakan sektor manufaktur dengan penyerapan tenaga kerja yang terbesar sekitar 1,84 juta orang. Industri TPT menyerap tenaga kerja 15% dari total penyerapan pekerja di sektor manufaktur nasional. “Bahkan, saat krisis global tahun lalu, ekspor TPT masih mampu meraih surplus lebih dari US$ 6 miliar,” katanya.
Dia menjelaskan, dengan struktur industri yang hampir lengkap, tingkat kandungan dalam negeri untuk produk TPT nasional mencapai 66%. “Ini memperlihatkan kekuatan dan kedalaman struktur industri TPT telah mapan,” katanya.
Namun, sebelum menjadi raksasa tekstil dunia, sejumlah masalah perlu dibenahi untuk mendukung pengembangan industri TPT nasional. Salah satu masalah itu adalah bahan baku tekstil yakni kapas masih diimpor sekitar 99,5%. Kapas menjadi salah satu bahan baku tekstil dengan kontribusi terbesar yakni 38%, disusul serat poliester (produk turunan minyak) dan serat rayon (produk turunan kayu/pulp).
Asosiasi telah menyusun roadmap pengembangan industri TPT nasional. Dalam roadmap itu disebutkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional membutuhkan investasi tambahan sebesar Rp 60 triliun untuk mencapai visi 2015. “Dalam lima tahun ke depan, ekspor TPT nasional diprediksi menguasai 2,9% pangsa pasar dunia, 88% pangsa pasar domestik, dan 16% pangsa pasar Asean,” tuturnya.
Total perdagangan TPT dunia mencapai US$ 583 miliar pada tahun lalu. Dari nilai itu, Tiongkok dan Hong Kong menguasai pangsa 36,6%, disusul Turki (3,91%), India (3,28%), AS (2,87%), Korea (2,11%), Pakistan (1,92%), dan Indonesia (1,67%).
Produsen TPT nasional harus mampu bersaing di dua pasar ekspor utama, yakni Uni Eropa dan Amerika Serikat. Di pasar Amerika Serikat, industri TPT nasional berada di peringkat lima pemasok utama. Tiongkok mendominasi impor tekstil AS dengan pangsa 35%, kemudian Vietnam (5,82%), India (5,44%), Meksiko (5,31%), dan Indonesia (4,55%).
Pasar tekstil AS setara dengan 25% dari total perdagangan TPT dunia senilai US$ 93,18 miliar. Indonesia harus melampaui Vietnam, India, dan Meksiko untuk menjadi pemain utama di AS, selain Tiongkok.(Tim redaksi 01)