Duniaindustri.com (Juli 2016) – Kementerian Perindustrian menegaskan investor asing sering mengeluhkan pasokan dan kualitas listrik guna menjaga kontinuitas produksi. Karena itu, peran listrik swasta sangat penting guna bersinergi dengan PT PLN (Persero) untuk menjaga kesinambungan pasokan dan kualitas listrik di kawasan industri.
Dirjen Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Imam Haryono menjelaskan investor asing tidak mungkin memodali proyek pembangunan pabrik tanpa jaminan pasokan listrik 24 jam. Untuk itu, perlu perubahan paradigma guna menjaga iklim investasi industri di negeri ini agar tetap sehat. Caranya dengan melihat energi bukan sebagai komoditas, namun motor dari perkembangan perekonomian Indonesia.
“Untuk menjaga iklim investasi di negeri ini, kita harus melihat bahwa energi bukanlah komoditas, tapi itu adalah faktor berkembangnya investasi,” ujarnya.
Selama ini, menurut dia, banyak kalangan salah menilai soal energi, khususnya energi listrik. Imam menilai terpenuhinya kebutuhan listrik bukan hanya terkait pasokan, tapi juga kualitas. Banyak pengusaha asing mengeluh hal ini karena pasokan listrik tidak bisa menyokong kebutuhan selama 24 jam da 100% penuh.
“Kehandalan penyokong listrik harus 100% dan 24 jam, karena sekali (pabrik) berhenti itu ruginya besar sekali,” papar Imam.
Bisa dibayangkan kerugian pabrik misalnya, lanjut dia, jika mesin super besar yang dioperasikan harus melakukan restart atau mengulang dari awal ketika listrik mati meski hanya sebentar. Menurut data yang berhasil dihimpun riset PricewaterhouseCoopers (PwC), tujuh sektor manufaktur nasional merugi sekitar Rp 5,6 triliun setiap tahun akibat pemadaman berkala. Sementara, pasokan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya mampu menyokong 10 ribu Mega Watt (MW) dan potensi mati lampu masih terus menghantui pelaku usaha.
Untuk itu, Imam menegaskan, perlu ada kerjasama dari PLN dan pembangkit listrik swasta guna menyuplai hingga 35 ribu MW sesuai target pemerintah. Kemenperin sendiri, kata Imam, sangat setuju dengan langkah tersebut. Apalagi pembangkit-pembangkit swasta itu tersedia dalam kawasan industri, sehingga terintegrasi langsung dengan pabrik.
Namun demikian, pihak swasta perlu memenuhi tiga syarat untuk membangun pembangkit listrik. “Pertama, belum ada aset PLN di sana, kedua belum dijangkau PLN dan yang ketiga harus punya kekuatan modal,” ujar Imam.
Lebih lanjut mengenai harga, dia mengatakan hal tersebut adalah urusan antara pengusaha dan pengusaha, alias business to business. Pemerintah dalam hal ini hanya mendukung melalui regulasi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 142 tahun 2015 tentang kawasan industri di pasal 42 ayat 1. Landasan hukum tersebut telah disiapkan sebagai koridor untuk perusahaan listrik swasta beroperasi.
Tak hanya dari pihak eksekutif, pihak legislatif juga menyatakan dukungan terhadap perusahaan listrik swasta membantu percepatan program 35 ribu MW. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi VII Kurtubi mendukung hal tersebut. Tujuannya yakni mempercepat pergerakan roda ekonomi Indonesia.
Saat ini banyak perusahaan listrik swasta menyiapkan skema private power utility (PPU) untuk membantu PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mempercepat pencapaian 35 Ribu MW. PPU sebagai sumber listrik yang berdikari mampu menyokong pasokan tenaga di kawasan industri. Dengan kondisi tersebut, diharapkan bisa menjaring banyak investor berkelas internasional berinvestasi di dalam negeri.
Ada sedikitnya lima perusahaan yang bergerak di sektor private power utility (PPU) di Tanah Air. Contohnya seperti PT Bekasi Power, PT Cikarang Listrindo Tbk, dan PT Kariangau Power.
Konflik Listrik 35.000 MW
Sebelumnya, terjadi konflik antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dengan Dirut PLN Sofyan Basir. Konflik itu bermula saat Sudirman menegur keras dirut PLN karena tidak mengikuti instruksi Kementerian ESDM. Bahkan, Menteri ESDM Sudirman Said melayangkan surat kepada PT PLN (Persero) untuk mengingatkan kembali agar BUMN tersebut fokus untuk membagi beban dengan listrik swasta. Hal itu dilakukan guna mempercepat pembangunan pembangkit dan transmisi untuk mengejar program 35 ribu megawatt.
“Saya sudah mengirim surat ke PLN, catatan yang sudah ditembuskan ke Presiden pada rapat terbatas terakhir. PLN belilah setrum, bukan beli mesin. Artinya apa? Porsi pembangkit secukupnya saja, sisanya diberikan ke swasta, sehingga bebannya terbagi, kecepatan bertambah sehingga proses pembangunan dapat terbagi dengan berbagai macam pihak. Bahkan PLN diminta mengkaji kembali 10.000 MW yang sudah diberikan, secara keuangan, proyek, cukup realistis atau tidak,” kata Menteri ESDM dalam sambutan acara coffee morning di Kementerian ESDM, akhir minggu lalu.
Karena itu, lanjut dia, Kemudian PLN harus lebih memperhatikan pembangunan transmisi. “Jangan sampai pembangkitnya banyak, tetapi transmisinya tidak terjaga,” katanya.
Di sisi lain, Menteri ESDM juga menegur direktur utama PLN yang sering tidak hadir dalam koordinasi dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM. “Jangan sampai sejarah mencatat, kegagalan 35.000 MW karena ulah pimpinan (PLN),” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Sofyan berpendapat, kalau ada masalah harus dibicarakan baik-baik antara PLN dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM. “Saya juga nggak tahu kenapa tiba-tiba begitu. Jujur saya nggak tahu. Kita baik-baik saja kok, namanya anak nggak boleh durhaka, kita nggak mau. Menurut saya, nggak ada yang nggak bisa dibicarakan, semuanya bisa dibicarakan,” kata Sofyan(*/berbagai sumber/tim redaksi 04)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: