Duniaindustri.com (Januari 2014) – Nilai investasi sebesar Rp 398,6 triliun masuk ke Indonesia pada 2013. Nilai tersebut melebihi target yang dibuat pemerintah.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan realiasasi sepanjang 2013 mengalami peningkatan sebanyak 2,1%.
Kepala BKPM Mahendra Siregar mengatakan sepanjang 2013 realiasi investasi mencapai RpRp398,6 triliun. Untuk realiasi tersebut menurutnya secara keseluruhan melebihi dari target. Ini merupakan titik awal semangat optimisme pemerintah dalam menggaet investor untuk tahun mendatang.
“Sedangkan secara keseluruhan Januari – Desember realiasi mencapai Rp398,6 triliun,” jelas Mahendra pada pada pemaparan realiasi PMDN dan PMA.
Mahendra menjelaskan secara kumulatif sepanjang 2013, capaian Rp398,6 triliun terdiri dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). “Realisasi investasi PMDN mencapai Rp128,2 triliun seluruh tahun,” jelas Mahendra.
Pada PMDN tersebut, Mahendra mengatakan secara keseluruhan ada peningkatan investasi PMDN sebesar 39% bila dibandingkan 2012. Sedangkan PMA kenaikannya Rp270,4 triliun pada 2013. “Artinya kenaikannya 22,4% dibandingkan tahun sebelumnya,” ucap Mahendra.
Melihat perolehan tersebut, lanjut Mahendra, antara PMDN dan PMA memberikan kontribusi positif terhadap investasi Indonesia. “Kenaikan PMDN menjadikan kontribusi mencapai 32,2% terhadap total investasi.sedangkan PMA berkontribusi 22,4 persen,” jelasnya.
Mahendra menambahkan dua sektor yakni sektor manufaktur dan jasa menjadi tumpuan kenaikan investasi tahun lalu. “Sektor 2013 lebih baik dibandingkan empat tahun silam. kelihatan perkembangannya jatuh pada sektor manufaktur dan jasa,” ujar Mahendra.
Mahendra menjelaskan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada 2013 dua sektor terbesar industri pengolahan dan jasa mencapai 80%. “Merupakan kontribusi besar dan cukup konsisten juga memberikan nilai penting penciptaan lapangan kerja,” jelasnya.
Dua sektor ini pun terjadi pada Penanaman Modal Asing (PMA) yaitu manufaktur dan jasa. “Keseluruhan tahun melebihi 77,4% ke dua sektor tersebut. Memang juga senantiasa merupakan fokus PMA,” katanya.
Ironi PHK
Meski nilai investasi meningkat terutama untuk sektor manufaktur, namun pelaku usaha masih dihantui sejumlah kendala seperti kenaikan upah pekerja, depresiasi rupiah terhadap dolar AS, peningkatan tarif listrik, serta berbagai hambatan klasik. Tak heran, di sejumlah sektor, beberapa pelaku usaha justru melakukan PHK.
PT Roda Vivatex Tbk (RDTX), produsen kain tenun filamen poliester, berencana melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) 40% jumlah karyawan akibat kondisi pasar lokal yang lesu, kenaikan upah buruh, dan depresiasi nilai tukar rupiah.
Direktur Utama Roda Vivatex Wiriady Widjaja menuturkan hal itu merupakan tahap pertama yang harus dilakukan menghadapi hantaman bertubi-tubi yang dialami perseroan. “Kami berencana mengurangi jumlah karyawan secara bertahap di tengah kenaikan upah buruh, dan pelemahan nilai tukar rupiah ini,” ujarnya dalam keterbukaan informasi.
Kenaikan upah minimum regional/kabupaten memaksa perusahaan untuk mengurangi produksi. Menurut dia, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengalami cobaan yang bertubi-tubi sepanjang tahun lalu dan berlanjut di tahun ini.
Keadaan pasar domestik yang lesu membuat order penjualan perseroan mengalami penurunan drastis hampir 50%. Selain itu, dampak depresiasi mata uang rupiah akhir-akhir ini membuat harga bahan baku benang, kimia, pewarna, dan bahan baku lainnya yang ditagih dalam dolar AS mengalami kenaikan yang cukup signifikan, sedangkan harga penjualan dibayar dalam rupiah.
Di sisi lain, harga penjualan kain cenderung mengalami pelemahan, karena masuknya kain impor yang cukup deras dengan harga yang relatif lebih murah. “Selain melakukan PHK, kami menutup sementara bagian pertenunan,” tuturnya.
Tiga masalah utama yang menghinggapi produsen tekstil nasional memang memaksa pelaku usaha di sektor tersebut melakukan efisiensi, termasuk mengurangi produksi, melakukan PHK, dan upaya lainnya.
Tahun lalu, dampak kenaikan upah minimum provinsi mulai terjadi, perusahaan yang tak sanggup menanggung beban itu justru memilih pemutusan hubungan kerja (PHK). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkapkan terdapat satu perusahaan tekstil dan satu garmen yang tak sanggup membayar upah minimum provinsi sebesar Rp 2,2 juta/bulan.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menjelaskan, dua perusahaan tekstil dan garmen itu berlokasi di Tangerang, Banten. Kedua perusahaan itu memilih kebijakan pemangkasan jumlah karyawan hingga 2.300 orang. “Dua itu dari tekstil dan garmen. Perusahaan garmen (PHK) 1.400 orang, dan tekstilnya 900. Karena mereka mau relokasi. Yang satu ke Jawa Tengah dan yang satu lagi ke Jawa Barat,” katanya.
Menurut dia, sejumlah perusahaan tekstil lainnya mulai berancang-ancang PHK pekerja. “Beberapa perusahaan sudah resmi menyatakan mem-PHK karyawannya,” ungkap Ade.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) mengancam sejumlah industri padat karya karena kenaikan standar upah buruh yang signifikan di berbagai daerah di Indonesia. Dua industri padat karya itu antara lain sektor tekstil dan produk tekstil serta alas kaki.(*/berbagai sumber)