Duniaindustri.com (September 2015) – Nilai investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di sektor industri pada triwulan II 2015 sebesar Rp 25,56 triliun, tumbuh 111,83% dibanding periode sama 2014 senilai Rp12,06 triliun, menurut data Kementerian Perindustrian. Pertumbuhan investasi PMDN di sektor industri, antara lain didorong oleh adanya pemberian insentif dan fasilitasi dari pemerintah, serta prospek kebutuhan produk untuk kebutuhan dalam negeri.
“Sedangkan nilai investasi PMA sektor industri pada triwulan II 2015 sebesar US$ 2,51 miliar atau menurun 22,05% dibanding periode sama tahun 2014 mencapai US$ 3,21 miliar. Invetasi PMA menurun antara lain karena pelambatan ekonomi global,” kata Sekjen Kemenperin Syarif Hidayat. Dengan demikian, total investasi yang masuk pada triwulan II 2015 mencapai US$ 5,07 miliar.
Syarif mengatakan, pemerintah telah memberikan insentif antara lain berupa fasilitas tax holiday dalam bentuk pembebasan PPh badan dalam jangka waktu 5-10 tahun, pengurangan PPh badan sebesar 50% dari PPh badan terutang selama dua tahun.
“Arah kebijakan dan strategi di sektor industri manufaktur nasional dilakukan dengan meningkatkan unit usaha dengan mendorong investasi baik melalui penanaman modal asing maupun dalam negeri. Nantinya, 50% unit usaha akan tumbuh di luar Pulau Jawa,” katanya.
Mata Rantai Industri
Mata rantai (supply chain) industri di Indonesia dinilai belum lengkap karena masih banyak celah dalam struktur industri nasional yang belum terisi. Hal itu menyebabkan kebutuhan industri hulu hingga ke hilir masih bergantung pada impor.
Duniaindustri.com mencatat sekitar 64% dari total bahan baku, bahan penolong, serta barang modal dari industri nasional masih bergantung pada impor untuk mendukung proses produksi. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian yang diperoleh Duniaindustri.com, rata-rata impor bahan baku, bahan penolong, serta barang modal itu berasal dari sembilan sektor industri yakni perrnesinan dan logam, otomotif, elektronik, kimia dasar, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil dan produk tekstil (TPT), barang kimia lain, serta pulp dan kertas.
Pengamat Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado Dr Joubert Maramis menilai Indonesia perlu mengembangkan industri berbasis ekspor menghadapi ekonomi dunia yang tidak stabil saat ini, serta memperkuat struktur industri nasional.
“Bagi saya, infrastruktur berkualitas dunia itu penting. Namun arah pengembangan industri berbasis ekspor dan struktur pengembangan industri yang berbasis knowledge based economy jauh lebih penting bagi perekonomian Indonesia di masa depan,” kata Joubert.
Tidak heran, dengan adanya celah dalam mata rantai industri di Indonesia, produk impor makin merajalela. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-Juni 2015, neraca perdagangan Indonesia-China mengalami defisit hingga US$ 8 miliar.
Kepala BPS Suryamin mengatakan, nilai ekspor Indonesia ke China pada semester I ini mencapai US$ 6,64 miliar. Sedangkan nilai impor lebih tinggi, menembus US$ 14,70 miliar. “Masih defisit US$ 8,05 miliar Januari-Juni 2015. Sementara pada Juni ini, nilai ekspor dan impor RI ke China masing-masing US$ 1,23 miliar dan US$ 2,62 miliar. Jadi defisit Juni ini US$ 1,39 miliar,” ujar dia.
Menurut dia, China menjadi tujuan utama ekspor nonmigas Indonesia di urutan ketiga, setelah Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Pangsa pasar Indonesia ke China US$ 6,65 miliar atau 9,37%. “Memang terjadi penurunan ekspor kita ke China di Januari-Juni ini (yoy) 29,75% dan secara bulanan naik 11,73%. Ini karena perlambatan ekonomi China, dengan ekspor utama bijih logam, katun, alas kaki, besi dan baja,” terangnya.
Sementara untuk impor Indonesia, kata Suryamin, China menduduki pangsa pasar nomor satu dengan realisasi US$ 14,71 miliar atau 24,17%. Impor ini turun 3,02% secara tahunan, tapi naik 17,34% secara bulanan. Impor Indonesia yang paling besar dari China adalah mesin dan peralatan mekanik, mesin dan peralatan listrik serta sebagainya.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: