Duniaindustri.com (Desember 2018) – Di pengujung akhir 2018, investasi pabrik petrokimia dan baterai litium cenderung mendominasi arus modal asing di sektor industri manufaktur negeri ini. Tercatat, investasi komplek petrokimia milik Lotte Chemical Indonesia di Cilegon, Banten, senilai US$ 3,5 miliar atau Rp52,5 triliun dan pabrik baterai litium berbasis nikel di Morowali, Sulawesi Tengah senilai US$ 700 juta menempati daftar pertama investasi industri pengolahan yang dihimpun duniaindustri.com.
Komplek petrokimia milik Lotte Chemical Indonesia di Cilegon, Banten, senilai US$ 3,5 miliar resmi dibangun yang ditandai dengan prosesi peletakan batu pertama oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. “Industri petrokimia sama pentingnya seperti industri baja, sebagai mother of industry. Untuk itu, kita perlu menjaga situasi lingkungan dan iklim usaha yang stabil agar proyek ini berhasil terlaksana dengan baik,” kata Airlangga seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta.
Berdasarkan karakteristiknya, menurut Menperin, industri petrokimia dikategorikan sebagai jenis sektor manufaktur yang padat modal, padat teknologi, dan lahap energi, sehingga perlu mendapat perhatian khsusus dari pemerintah untuk langkah pengembangan yang berkelanjutan.
“Di dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, telah ditetapkan industri kimia menjadi salah satu sektor yang mendapatkan prioritas pengembangan agar menjadi pionir dalam penerapan Revolusi Industri 4.0,” jelasnya.
Untuk itu, Kemenperin mengapresiasi PT Lotte Chemical Indonesia yang telah merealisasikan investasinya dengan membangun komplek petrokimia di atas luas area 100 hektare ini. Komplek petrokimia tersebut memiliki total kapasitas produksi naphta cracker sebanyak 2 juta ton per tahun.
Bahan baku itu selanjutnya diolah untuk menghasilkan 1 juta ton etilene, 520 ribu ton propilene, 400 ribu ton polipropilene, dan produk turunan lainnya yang juga bernilai tambah tinggi.
Produksi PT Lotte Chemical Indonesia tersebut untuk memenuhi permintaan domestik maupun global. Dalam proyek pembangunan infrastukturnya, diproyeksi menyerap tenaga kerja langsung hingga 1.500 orang dan dengan tenaga kerja tidak langsung bisa mencapai 4.000 orang pada periode 2019-2023.
Sementara pabrik baterai litium dengan bahan dasar nikel segera dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah. Peletakan batu pertama pembangunan pabrik akan dilakukan pada 11 Januari 2019 dengan investasi awal US$ 700 juta.
Sejumlah investor asing yang bekerja sama dengan Indonesia dalam pendirian pabrik ini, antara lain GEM (perusahaan daur ulang baterai), Tsingshin Group, CATL (perusahaan baterai terbesar di Cina), dan Hanwa (perusahaan Jepang). Sementara investor dari Indonesia ialah Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan saat ini pemerintah tengah mengkaji potensi pasar dan komposisi produksi di pabrik tersebut. “Jadi, tidak lagi nikel jadi stainless steel. Kita hitung sekarang oleh tim. Berapa persen yang mau kita bikin stainless steel, berapa yang jadi lithium battery, karena sebagai alternatif energi,” ujar dia.
Investasi ditanamkan untuk membangun nickel smelting yang dapat memproduksi 50 ribu ton per tahun. Selain itu, akan dibangun pula nickel hydroxites dan cobalt smelting dengan kapasitas produksi sebesar 4 ribu ton per tahun. Indonesia diharapkan menjadi pemimpin terkait baterai litium di dunia.
Arus Investasi Kimia
Selain Lotte Chemical, dua perusahaan yang bergerak di sektor industri petrokimia siap melakukan investasi senilai total US$ 10,6 miliar. Dua perusahaan tersebut yakni PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, dan Siam Cement Group (SCG).
“Mereka akan memproduksi kebutuhan bahan baku kimia berbasis naphta cracker di dalam negeri, sehingga nanti kita tidak perlu impor lagi,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Jakarta kemarin.
Perusahaan asal Thailand, Siam Cement Group (SCG), akan membangun fasilitas produksi naphta cracker senilai USD600 juta di Cilegon, Banten. “Dengan tambahan investasi Lotte Chemical dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, Indonesia akan mampu menghasilkan bahan baku kimia berbasis naphta cracker sebanyak 3 juta ton per tahun,” ujar Airlangga.
Bahkan, lanjutnya, Indonesia bisa memposisikan sebagai produsen terbesar ke-4 di ASEAN setelah Thailand, Singapura, dan Malaysia. Di samping itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat bebe rapa perusahaan farmasi dan bahan baku obat telah menggelontorkan dananya untuk investasi di Indonesia.
Beberapa di antaranya PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia senilai Rp132,5 miliar dan PT Ethica Industri Farmasi sebesar Rp1 triliun. Sementara di sektor kosmetika, PT Unilever Indonesia melakukan perluasan pabrik senilai Rp748,5 miliar.
Kemenperin menargetkan nilai investasi di sektor Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) akan mencapai Rp117 triliun pada 2018, naik dari realisasi 2017 yang diperkirakan menembus Rp94 triliun. Penanaman modal dari sektor IKTA tahun ini diproyeksikan bakal menyumbang sebesar 33% terhadap target investasi secara keseluruhan pada kelompok manufaktur nasional senilai Rp352 triliun.(*/berbagai sumber/tim redaksi 03/Safarudin)