Duniaindustri.com (Februari 2016) – Investasi industri farmasi dalam negeri pada 2015 tercatat tumbuh signifikan sebesar 118% menjadi Rp 6,5 triliun dari tahun sebelumnya Rp 3 triliun. Angka tersebut diharapkan terus meningkat tahun ini seiring pemerintah yang telah merevisi aturan bidang usaha ini menjadi lebih terbuka untuk asing.
Jumlah investasi farmasi dan obat-obatan dalam negeri sepanjang tahun lalu tersebut diperoleh dari kontribusi penanaman modal asing (PMA) sebesar US$ 105,8 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun dan dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp 5,1 triliun.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), distribusi komitmen investasi yang dicatatkan dari sektor farmasi tersebut didominasi oleh provinsi Jawa Barat dengan 15 proyek senilai Rp 5,4 triliun dengan rencana penyerapan tenaga kerja sebesar 2.385 tenaga kerja. Selanjutnya yakni provinsi Jawa Timur dengan 2 proyek sebesar Rp 588 miliar dan jumlah tenaga lokal 287 orang.
Selain itu, provisi Jawa Tengah mencatatkan 1 proyek senilai Rp 300 miliar dengan jumlah tenaga kerja 500 orang. Adapun provinsi Banten sebanyak 2 proyek dengan nilai Rp 102 miliar dan rencana penyerapan tenaga kerja 190 orang, serta DKI Jakarta dengan 2 proyek senilai Rp 60 miliar dan tenaga kerja 461 orang.
“Beberapa minat yang diidentifikasi masuk ke sektor farmasi oleh tim Marketing Officer serta perwakilan BKPM di antaranya dari Amerika Serikat (AS) dan Kanada sebesar US$ 70 juta. Jepang US$ 40 juta, serta dari Korea Selatan dari dua perusahaan sebesar US$ 260 juta,” kata Frangky Sibarani, Kepala BKPM dalam keterangan tertulis.
Untuk tahun ini, lanjutnya, sektor farmasi digadang-gadang menjadi sektor yang diharapkan dapat berkembang ditandai dengan langkah pemerintah untuk merevisi bidang usaha di sektor tersebut menjadi lebih terbuka. Hal teersebut diharapkan dapat menjadi stimulus untuk meningkatkan ketersediaan bahan baku obat.
“Sektor farmasi saat ini dibuka 100% PMA, dimana sebelumnya dibatasi maksimal PMA 85%. Ini diharapkan investor sektor farmasi mulai dari hulu hingga hilir dapat mempertimbangkan Indonesia menjadi tambatan investasinya,” ungkap Frangky.
Kurangi Impor
Saleh Husin, Menteri Perindustrian mengatakan bahwa dibukannya 100% investasi asing untuk sektor farmasi diharapakan dapat menjadi stimulus terhadap turunya harga produk obat-obatan di dalam negeri. “Sebab dengan ini, potensi untuk mengurangi importasi bahan baku farmasi yang sebagian besar dari impor dapat ditekan,” ujarnya
Berdasarkan data Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi), potensi sektor farmasi tahun 2025 mencapai Rp 700 triliun terdiri dari pasar domestik sebesar Rp 450 triliun dan pasar ekspor Rp 250 triliun.
Dari data tersebut, proyeksi total investasi industri farmasi Indonesia 2015-2025 akan mencapai angka Rp 215 triliun dengan rencana penyerapan tenaga kerja mencapai 2 juta lapangan kerja.
Daya tarik investasi industri farmasi Indonesia terletak pada tiga bagian penting yakni pasar farmasi terbesar di ASEAN, implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan posisi Indonesia yang sudah tergabung dalam negara-negara PIC/S atau negara dengan standar kualitas farmasi internasional.
Pasar farmasi di Indonesia diestimasi tumbuh 7% menjadi Rp 74,2 triliun dibanding tahun lalu Rp 69,4 triliun, menurut perhitungan duniaindustri.com. Estimasi tersebut mengacu pada pertumbuhan tahun lalu, laju perekonomian nasional, dan depresiasi rupiah yang membuat biaya produksi membengkak. Pertumbuhan pasar farmasi tahun ini lebih rendah dibanding tahun lalu sebesar 9% menjadi Rp 69,4 triliun dibanding 2013 sebesar Rp 63,8 triliun. Salah satu faktor pendongkrak pertumbuhan tinggi tahun lalu adalah berlakunya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijalankan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Berdasarkan laporan riset Business Monitor International (BMI), Indonesia tetap menjadi pasar farmasi yang paling menjanjikan di Asia Tenggara.
Hal ini ditopang besarnya populasi penduduk Indonesia yang merupakan terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia solid dalam beberapa tahun ke depan. Faktor lainnya adalah kenaikan permintaan obat penyakit-penyakit tertentu, peralatan medis, dan layanan kesehatan.
“Implementasi asuransi kesehatan universal yang dijalankan BPJS turut menjadi katalis pertumbuhan pasar farmasi. Berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Desember 2015 kian memperkuat prospek bisnis farmasi Indonesia,” demikian tulis BMI dalam laporan risetnya.
Meski begitu, BMI menilai, layanan kesehatan di Indonesia belum terlalu luas. Tahun ini, layanan BPJS baru mencakup 40%-50% penduduk. Oleh karena itu, butuh waktu bagi perusahaan farmasi untuk mengkapitalisasi potensi pasar farmasi nasional yang sangat besar. BMI memperkirakan belanja kesehatan Indonesia pada 2014 naik 14% menjadi Rp 325 triliun dari 2013 sebesar Rp 285 triliun.
Saat ini terdapat 205 perusahaan farmasi di Indonesia yang berkompetisi memperebutkan pasar domestik. Struktur pasar industri farmasi Indonesia dapat dikatakan terfragmentasi, artinya tidak ada suatu perusahaan tertentu yang mendominasi dalam industri, menurut penelusuran duniaindustri.com. Di antara lebih dari 205 perusahaan yang ada dalam industri farmasi saat ini, Kalbe Group menguasai 14% pangsa pasar farmasi pada 2010 yang mencakup pasar obat resep dan obat bebas, berdasarkan data dari Intercontinental Marketing Services Health (IMS Healt). Sementara 61% pangsa pasar lainnya dikuasai oleh berbagai perusahaan swasta dan perusahaan multinasional dengan kepemilikan pasar di bawah 2%.
Terkait dengan rencana penggabungan BUMN-BUMN farmasi, keempat BUMN farmasi yang mencakup Kimia Farma, Indofarma, Bio Farma, dan Phapros tercatat hanya menguasai 15,5% pangsa pasar, sebesar 84,5% pasar sisanya dimiliki oleh perusahaan swasta dan perusahaan multinasional.
Spesifik pada obat generik, berdasarkan survei Indian Pharmaceutical Association (IPA) dan Indian Hospital Pharmacist Association (IHPA) pada 2007, Dexa Medica menguasai pasar obat generik terbesar di Indonesia, yakni sebesar 15,73%. Urutan kedua dan ketiga baru ditempati oleh 2 BUMN, yakni Indofarma yang menguasai 12,69% pasar dan Kimia Farma dengan 8,6% pasar. Pada posisi keempat dan kelima masing-masing terdapat Hexpharm dan Sanbe Farma yang menguasai 4,72% dan 3,20% pangsa pasar.
Menurut data IPA dan IHPA di atas, pangsa pasar obat generik gabungan Kimia Farma dan Indofarma saja telah mencapai 21,3%. Hal ini sekaligus menjadikan perusahaan hasil penggabungan sebagai pemimpin pasar dengan mengalahkan posisi Dexa Medica. Dengan pangsa pasar pada obat generik yang lebih besar ini, perusahaan hasil penggabungan dapat memperkuat posisinya di pasar, juga dapat terus memperbesar pasarnya seiring dengan target pemerintah memberikan prioritas bagi BUMN untuk memproduksi obat generik.(*/berbagai sumber/tim redaksi 05)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: