Duniaindustri.com (Agustus 2015) – Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) menyatakan bahwa terpuruknya kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) seperti saat ini bukan hal yang mengejutkan karena hal ini sudah terprediksikan sejak 2 tahun lalu.
Menurut Sekretaris Jendral APSyFI, Redma Gita Wirawasta, tahun 2013 pihaknya sudah mengajukan petisi anti dumping benang filament dan merekomendasikan pengenaan safeguard terhadap seluruh produk tekstil dari hulu ke. Namun pihak yang berkepentingan dalam praktik impor menolak usulan ini, bahkan upaya pengenaan anti dumping benang filament pun kandas ditengah jalan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam 5 tahun terakhir, rata-rata impor TPT naik 19,9%, ekspor naik 6,8%, sedangkan konsumsi masyarakat naik 18,3%. Kondisi ini dapat bahwa pasar pertumbuhan dipasar domestik digerogoti barang impor, sedangkan ekspor tidak tumbuh signifikan.
Redma menjelaskan bahwa perlambatan ekonomi dunia menyebabkan kondisi over supply, produsen di negara prosen lain banting harga hingga menjadi salah satu sebab utama keterpurukan industri TPT saat ini, namun jika pemerintah antisipatif, mengontrol impor dan memberikan pasar domestik pada produsen lokal, kondisinya akan jauh berbeda. “Minimal kita punya tempat untuk jualan dan industri masih bisa terus berproduksi” tegas Redma.
Berdasarkan data kalkulasi APSyFI yang bersumber dari Bank Indonesia, daya beli masyarakat dalam 5 tahun terakhir terus meningkat dimana konsumsi tekstil naik dari 1,21 juta ton ditahun 2009 menjadi 1,75 juta ton ditahun 2014. Selain didorong oleh peningkatan jumlah penduduk, konsumsi masyarakat juga disebabkan oleh peningkatan konsumsi perkapita yang naik dari 5,03 kg ditahun 2009 menjadi 6,82 kg ditahun 2014. “Pelemahan konsumsi masyarakat dikuartal pertama tidak signifikan berpengaruh pada industri TPT karena pada dasarnya trend pertumbuhan ekonomi dan kenaikan upah yang signifikan telah mendorong penguatan daya beli” jelas Redma.
“Kalau daya beli kita lemah, nggak mungkin Uniqlo, H&M dan merk dunia lainnya buka toko di Indonesia, tahun ini saja mereka masih tambah terus outlet-nya” tegasnya. “Yang jadi masalah kan peningkatan konsumsi masyarakat ini diisi oleh barang impor atau bahan bakunya impor, jadi setiap tahunnya devisa kita terkuras dan pangsa pasar produk lokal mengecil” tambahnya.
Untuk itu pihaknya kembali mengusulkan agar pemerintah segera mengambil langkah untuk membatasi dan mengontrol impor TPT melalui mekanisme Trade Remedies, baik Anti Dumping, Anti Subsidi maupun Safeguard. Hal ini perlu segera dilakukan untuk merebut kembali pasar domestik dari hulu ke hilir.
“Kalau mau terus cari yang murah, kita semua jadi importir saja. Yang perlu dibangun sekarang adalah Value Chain dari hulu ke hilir biar semua perusahaan TPT bisa berproduksi, ngga perlu ngomong harga, lewat kenaikan upah kita sudah berkontribusi menaikan daya beli masyarakat, wajar kalau kita minta balik agar masyarakat konsumsi produk lokal yang berbahan baku lokal” jelas Redma.
Produsen PTA Ikut Rugi
Kondisi ini diamini oleh produsen Purified Terepthelat Acid (PTA) dan Mono Ethelene Glycol (MEG) sebagai bahan baku polyester yang tergabung di INAPLAST. Menurut salah satu produsen PTA anggota INAPLAS, Cecep Setiono bahwa dalam 8 bulan terakhir, supply PTA dari 3 produsen PTA didalam negeri sudah turun drastis. “Supply PTA sudah turun hingga 40%” tegasnya. “Stok kami menumpuk sehingga memaksa kami untuk menurunkan produksi sekitar 50%” tambahnya.
Cecep pun menjelaskan bahwa banjirnya impor kain menjadi masalah utama disamping juga banjirnya impor serat dan benang. “Kedua permasalahan ini harus diselesaikan secara bersama-sama karena saling mempengaruhi” jelasnya.
Pihak INAPLAST sudah menyampaikan permasalahan ini kepada Kementerian Perindustrian. “Mudah-mudahan Pemerintah bisa cepat mengeluarkan kebijakan yang tepat, karena permasalahan ini bukan hanya permasalahan industri polyester saja, tapi juga permasalahan industri PTA dan industri petrokimia lainnya” tambahnya.(*)