Latest News
You are here: Home | Tekstil | Industri Makin Melambat, Rupiah Terancam Depresiasi
Industri Makin Melambat, Rupiah Terancam Depresiasi

Industri Makin Melambat, Rupiah Terancam Depresiasi

Duniaindustri.com (Maret 2017) – Industri manufaktur di Indonesia makin terjepit, terlihat dari makin melambatnya pertumbuhan pada kuartal IV 2016 yang hanya sebesar 2,06% secara tahunan (year on year/yoy). Padahal, kuartal sebelumnya bisa tumbuh 4,87% yoy.

Di sisi lain, rupiah terancam terdepresiasi hingga level Rp 13.800 per US$ apabila suku bunga Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (The Fed) naik sebesar 2%. Pelemahan rupiah ini diperkirakan menambah berat beban industri manufaktur, terutama sektor-sektor tertentu yang masih mengandalkan bahan baku impor.

Pertumbuhan industri manufaktur skala besar dan sedang (IBS) selama kuartal IV 2016 mengalami perlambatan. Pertumbuhan IBD pada kuartal akhir tahun lalu tercatat hanya tumbuh 2,06% secara tahunan (year on year/yoy). Padahal, kuartal sebelumnya bisa tumbuh 4,87% yoy.

“Pada kuartal IV-2016 pertumbuhan industri besar dan sedang ini tingkat pertumbuhannya memang kurang menggembirakan,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto.

Secara kuartalan, Kecuk mengatakan, tingkat pertumbuhan IBS turun 0,34%. Sejumlah industri yang mengalami penurunan sepanjang kuartal IV-2016 adalah industri tekstil (-7,91%); industri pengolahan lainnya (-6,47%); dan industri karet, barang dari karet, dan plastik (-5,47%). “Beberapa industri ini perlu kita waspadai karena share-nya lumayan besar,” kata Kecuk.

Kendati demikian, Kecuk mengatakan beberapa industri juga mengalami kenaikan pertumbuhan sepanjang kuartal IV- 2016. Beberapa industri itu antara lain industri makanan (8,29%); industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia (7,07%); serta industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki (3,2%).

Berdasarkan data BPS, secara kumulatif selama 2016 industri yang tercatat mengalami pertumbuhan positif tertinggi secara berturut-turut adalah industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional (8,01%); industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki (7,62%); dan industri makanan (6,26%).

Adapun industri yang tumbuh negatif sepanjang tahun lalu adalah industri karet, barang dari karet, dan plastik (-8,39%); industri peralatan listrik (- 7,49%); dan industri pakaian jadi (-7,15%).

Senada dengan IBS, ujar Kecuk, tingkat pertumbuhan industri berskala mikro dan kecil (IMK) juga melambat. Selama kuartal IV/2016 pertumbuhan IKM mencapai 4,88% secara tahunan atau melambat dibandingkan kuartal III-2016 yang tumbuh 5,75%.

Kecuk menyebut, jenis IMK yang tumbuh tinggi sepanjang kuartal IV-2016 adalah industri komputer, barang elektronika, dan optik (31,18%); industri mesin dan perlengkapan (25,98%); serta industri kertas dan barang dari kertas (25,49%). Adapun IMK yang tumbuh negatif untuk periode yang sama adalah industri pengolahan tembakau (-15,62%), industri jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan (-11,82%), dan industri peralatan listrik (-10,73%).

Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, perlambatan pertumbuhan industri manufaktur sepanjang kuartal IV/2016 karena investor masih cenderung menunggu. Kondisi ekonomi, politik, dan sosial di Indonesia memengaruhi minat investor untuk melakukan ekspansi bisnis atau melakukan investasi baru.

“Industri mau tidak mau harus didorong, diberikan fasilitas dan insentif agar mereka terus bergerak,” kata Sasmito.

Sementara itu, data Indeks Pembelian Manajer (IPM) Indonesia pada Desember tahun lalu berada di angka 49 atau berada di level yang kurang percaya diri. Namun, pada Januari, IPM Indonesia naik menjadi 50,4%.

Sentimen Rupiah
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton H Gunawan memprediksi rupiah dapat terkerek ke Rp13.800 per US$, apabila suku bunga Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (The Fed) naik sebesar 2%. Anton menjelaskan, sebenarnya selisih antara suku bunga BI 7-Day Repo Rate dengan suku bunga The Fed masih tergolong cukup longgar jika kenaikan The Fed sesuai prediksi yaitu 1,5%. Saat ini suku bunga BI 7-Day Repo Rate sebesar 4,75%.

“The Fed Rate kalau naik ke 1,5% masih ada kelonggaran 325 bps, harusnya masih relatif, oke. Kecuali dia naiknya 2% atau ke atas kemudian diikuti kenaikan US Treasury ke 3%, sekarang 2,4%. Kalau kejadiannya begitu dapat menekan Rupiah sedikit banyak. Rupiah bisa naik ke Rp13.800/US$,” terangnya.

Kendati demikian, Anton memprediksi kenaikan The Fed akan terjadi sebanyak dua kali dan maksimal tiga kali kenaikan. Kenaikan The Fed juga cenderung tidak agresif dan tidak terlalu cepat, sebagai pengaruh kebijakan Presiden Donald Trump yang ingin mendorong ekonomi domestik Amerika. Indonesia juga masih mempunyai kekuatan dari kuatnya arus capital outflow di Negara Asia dan ASEAN. Sehingga kenaikan The Fed tidak banyak berpengaruh pada capital otflow Indonesia.

“Masih dalam jangkauan, efek capital outflow tidak banyak. Di Asia dan ASEAN yang jelas masih ada arus capital inflow , Asia masih jadi satu tempat sasaran capital inflow dunia,” ujarnya.(*/berbagai sumber/tim redaksi 05)

Riset Peta Persaingan Industri Semen

datapedia

DIVESTAMA2 (1)

desainbagus kecil

d-store

CONTACT US BY SOCIAL MEDIA:

TwitterLogo Like-us-on-Facebook

logo slideshare google-plus-logo

watch_us_on_youtube

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top