Duniaindustri (April 2011) – Sudah menjadi rahasia umum, industri China menguasai dunia. Bahkan Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang pun kewalahan menghadapi derasnya ekspor industri China dengan kapasitas produksi yang massif.
Lantas, bagaimana dengan industri Indonesia setelah kita menjalin kesepakatan perdagangan bebas Asean-China (ACFTA) lebih dari satu tahun terakhir? Kalangan pengusaha sudah lama berteriak bahwa industri nasional sulit melawan industri China dengan dukungan pemerintah negeri Tirai Bambu itu, seperti insentif suku bunga, subsidi ekspor, kemudahan perizinan, infrastruktur yang memadai.
Namun, gaung pengusaha nasional hanya sayup terdengar di permukaan. Kadang lantang dihembuskan media, tapi kemudian tenggelam dengan isu lain.
Hari ini, Perdana Menteri China Wen Jiabao akan melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia mulai 28 April-30 April 2011. Dalam rangkaian acara kenegaraan itu, PM China dijadwalkan melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dilanjutkan penandatanganan 19 memorandum of understanding (MoU) di bidang perdagangan, perindustrian, serta intensifikasi kerja sama antara Kementerian Luar Negeri kedua negara.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan, 19 MoU antara pemerintah Indonesia-China itu terdiri atas 4 nota kesepahaman G to G (goverment to goverment), 8 nota kesepahaman B to G (business to goverment), serta 7 nota kesepahaman B to B (business to business). “Untuk MoU B to B nilainya US$ 10 miliar,” ujar Mari.
Namun, pemerintah tidak mengisyaratkan adanya evaluasi ataupun renegosiasi ACFTA setelah lebih kurang setahun diimplementasikan. Pemerintah cenderung melakukan pendekatan bilateral dengan China sebagai pengganti renegosiasi ACFTA. Cukupkah strategi itu?
Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Anggito Abimanyu justru pesimis dengan kemampuan negosiasi pejabat Indonesia, apalagi hanya pendekatan bilateral dengan raja industri global, yakni China. “Pejabat Indonesia tidak ahli negosiasi,” kata Anggito, beberapa waktu lalu.
Dilihat dari statistik, pada 2010 defisit neraca perdagangan nonmigas Indonesia terhadap China US$5,6 miliar, naik dari US$4,6 miliar pada 2009 saat krisis global. China menjadi negara asal impor terbesar Indonesia, mencapai 18% dari total impor, naik dari 12% pada 4-5 tahun lalu. Sekitar 57% dan 34% impor dari China itu barang baku dan barang modal, 10% barang konsumsi.
Kenaikan impor untuk bahan baku dan barang modal itu disebabkan oleh kian murahnya produk-produk itu secara relatif dibandingkan dengan impor serupa dari negara lain. Akibatnya Indonesia menggantikan negara asal impornya dari Jepang, Eropa, dan AS ke China. Terdapat tujuh produk impor RI dari China yang naik tajam pada 2010, yaitu alas kaki naik 97%, furnitur 76%, tekstil dan produk tekstil 62% (termasuk untuk bahan baku), elektronik 61% (terutama telepon genggam dan komputer notebook), besi dan baja 39%, makanan dan minuman 38%, serta mainan anak 35%.
Dari laporan berbagai asosiasi industri diketahui, industri sepatu diperkirakan paling terpukul oleh serbuan produk impor. Sepatu produksi dalam negeri akan mengalami penurunan pangsa pasar dari 60% menjadi 50%. Selain sepatu, industri mainan anak akan terpukul akibat serbuan barang impor China. Sekitar 80-90% pangsa pasar mainan dalam negeri akan dikuasai oleh produk dari China. Industri lain yang mengalami tekanan adalah lampu hemat energi. Pangsa pasar lampu hemat energi dalam negeri diperkirakan turun dari 20% menjadi 15%.
Bagi konsumen, tentu produk industri China menguntungkan karena murah harganya, meski kualitasnya masih rendah. Namun, jika masyarakat hanya mengutamakan harga, bagaimana nasib produk lokal. Padahal dengan mengutamakan produk lokal, berarti kita berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja di Indonesia, bukan menghidupi industri China.(Tim redaksi 02)