Duniaindustri (April 2011) – Kinerja industri baja dunia, termasuk Indonesia, pada tahun ini akan ditantang fluktuasi harga bahan baku berupa baja kasar (scarp) dan bijih besi (iron ore). Harga kedua bahan baku yang diperdagangkan di pasar bursa berjangka itu dipastikan terpengaruh tren kenaikan harga minyak mentah dunia yang terus merangkak ke level US$ 105/barel hingga akhir Maret 2011. Seiring dengan itu, penurunan produksi baja Jepang akibat dampak tsunami diperkirakan menurunkan pasokan baja di sektor antara hingga ke hilir. Kondisi itu akan mempengaruhi proyeksi Asosiasi Baja Dunia yang memperkirakan permintaan baja dunia akan tumbuh sebesar 5,3% untuk mencapai level tertinggi historis dari 1,306 miliar ton pada 2010.
Asosiasi Baja Dunia dalam rilis yang diumumkan akhir Maret 2011 menilai, ketahanan ekonomi negara berkembang, terutama China, telah menjadi faktor kritis yang memungkinkan dari perkiraan pemulihan awal dari baja permintaan dunia. Namun kondisi itu belum memperhitungkan dampak luas dari gempa dan tsunami di Jepang, produsen terbesar baja ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan China.
Jika harga minyak mentah terus meningkat hingga US$ 110-120/barel, hal itu akan memicu kenaikan harga bahan baku baja. Padahal, harga baja dunia telah meningkat sekitar 11% pada periode lima bulan terakhir.
Di Indonesia, Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISAI) memproyeksikan harga rata-rata baja pada 2011 akan mengalami kenaikan sebesar 15-23 persen. “Kami proyeksikan harga rata-rata semua jenis baja di 2010 ke 2011 akan mengalami kenaikan sebesar 15-23 persen,” ungkap Co Chairman Flat Product IISIA Irvan K Hakim.
Kenaikan harga baja langsung antisipasi sektor pengguna seperti properti dan konstruksi. Sedangkan sektor otomotif masih mengandalkan impor baja dari negara prinsipal seperti Korea Selatan.(Tim redaksi/02)