Duniaindustri.com (Maret 2016) – Dari sekian banyak keunggulan komoditas Indonesia di dunia, ternyata rumput laut mampu menambah peringkat negeri ini secara global. Bagaimana tidak, Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen rumput laut terbesar di dunia, meski baru memasok rumput laut kering atau barang mentah dan bukan produk olahan bernilai tambah, menurut data yang dikompilasi duniaindustri.com dari Kementerian Perindustrian.
Dari total produksi rumput laut kering dunia sekitar 424.000 ton, Indonesia memasok 56% atau sekitar 237.800 ton per tahun. “Ini peluang untuk industri hilir rumput laut di dalam negeri. Di dunia, terdapat lebih dari 500 jenis produk turunan menggunakan rumput laut. Sementara saat ini sebanyak 152.900 ton atau 64,3% rumput laut produksi dalam negeri diekspor dalam bentuk kering atau belum diolah,” ujar Saleh Husin, Menteri Perindustrian, dalam keterangan tertulis.
Volume rumput laut yang diolah oleh industri domestik hanya sekitar 84.900 atau 35,7% dari total konsumsi dalam negeri. Padahal, total kebutuhan rumput laut sebagai bahan baku industri mencapai 128.600 ton per tahun, dengan demikain terjadi defisit pasokan sekitar 43.800 ton per tahun.
“Pengembangan industri ini mendesak dilakukan, apalagi pelaku industri pengolahan rumput laut di dalam negeri justru kekurangan pasokan bahan baku,” ujarnya.
Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, menambahkan jenis rumput laut komersial yang berada di Indonesia dapat menghasilkan karagenan, agar, dan penghasil alginate.
“Agar diolah menjadi produk akhir pangan, farmasi, kosmetik dan tissue. Sedangkan karagenan diproses lebih lanjut menjadi pangan, saus, pakan ternak serta farmasi. Adapun alginat juga dapat diolah menjadi pangan, saus, tekstil, kosmetik dan farmasi,” tuturnya.
Tertinggal Dibanding China
Kendati menjadi penghasil rumput laut terbesar di dunia, produk olahan rumput laut Indonesia justru masih kalah jauh dibandingkan dengan China.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) Sasmoyo S Boesari mengatakan, hal ini karena industri pengolahan rumput laut di dalam negeri kesulitan mendapatkan pasokan rumput laut.
“Negeri ini merupakan penghasil rumput laut terbesar di dunia, tetapi secara fakta industri dalam negeri kalah bersaing dengan perusahaan luar negeri untuk mendapatkan bahan baku disebabkan kalah dalam persaingan harga,” ujarnya.
Menurut dia, China menjadi negara yang mendapat pasokan rumput laut Indonesia paling banyak. Sekitar 70% hingga 80% bahan baku rumput laut yang diolah di China berasal dari Indonesia. “China bisa dikatakan 70% hingga 80% impor rumput laut dari Indonesia sebagai bahan baku. Dengan kebijakan mereka sudah dapat mempengaruhi peta market dunia,” lanjut dia.
Hal ini karena pemerintah negeri tirai bambu tersebut memberikan beragam stimulus dan insentif kepada industrinya sehingga mampu membeli rumput laut dengan harga yang lebih mahal dibanding daya beli industri di dalam negeri. “Para pengusahanya mendapatkan stimulus sekaligus insentif dari negara mereka dari 15% hingga 35%. Hal tersebut menyebabkan industri dalam negeri harus berjuang keras untuk membeli bahan baku,” katanya.
Hal ini yang menyebabkan industri pengolahan rumput laut di dalam negeri tidak bisa berkembang dengan baik. Pemerintah diminta segera turun tangan untuk mengatasi hal ini.
“Hal inilah yang juga menyebabkan tidak berkembangnya refinery rumput laut di Indonesia. Di era globalisasi saat ini investasi bisa tidak terkendali dan semua investor bisa masuk sedangkan industri dalam negeri penguatannya belum siap,” tandas dia.(*/berbagai sumber/tim redaksi 04)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: