Duniaindustri (Agustus 2012) — Indonesia diperkirakan mengalami defisit (kekurangan) aluminium untuk kebutuhan industri dalam negeri sekitar 696 ribu ton per tahun. Hal itu disebabkan kebutuhan aluminium untuk industri di dalam negeri yang mencapai 600.000 hingga 800.000 ton per tahun tidak mampu dipenuhi oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang hanya mampu memproduksi 260.000 ton per tahun.
“Dari produksi 260.000 ton aluminium ingot per tahun yang diproduksi Inalum, hanya 40% yang dijual ke pasar dalam negeri. Aluminium ingot adalah produk turunan dari aluminium berbentuk batangan,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Kerja sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Agus Tjahajana.
Sesuai dengan “master agreement” antara pemerintah Indonesia dengan konsorsium Jepang, menurut Agus, 60% dari produksi Inalum diekspor ke Jepang. “Indonesia masih kekurangan pasokan aluminium sehingga masih bergantung pada impor,” ujarnya.
Menjelang berakhirnya kerja sama pemerintah Indonesia dengan konsorsium Jepang di Inalum pada Oktober 2013, kepemilikan 100% saham Inalum oleh pemerintah menjadi sangat krusial.
“Dengan menguasai Inalum secara penuh, pemerintah bisa memutuskan strategi bisnis perusahaan di Sumatera Utara tersebut, termasuk untuk memprioritaskan kebutuhan aluminium ke pasar dalam negeri. Kepemilikan penuh Inalum membuat pemerintah bisa menentukan strategi ekspansi perusahaan,” paparnya.
Agus menambahkan, kapasitas produksi Inalum saat ini memang belum mencukupi kebutuhan aluminium ingot di dalam negeri. “Saat ini Inalum telah memasok 80 perusahaan lokal di Jawa. Salah satu rencana ekspansi Inalum untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri dengan menambah kapasitas produksi menjadi 410.000 ton per tahun dan membutuhkan dana US$ 1,5 miliar,” katanya.
PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) mencatatkan penurunan laba bersih perusahaan secara drastis pada semester I 2012. “Rata-rata laba Inalum per bulan pada semester I-2012 hanya US$ 2 juta. Pada periode yang sama pada tahun lalu, labanya bisa mencapai US$10 juta per bulan,” kata Ketua Otorita Asahan Effendi Sirait.
Penurunan laba itu merupakan dampak dari menurunnya harga komoditas utama di pasar internasional. “Sejak Desember tahun lalu, harga komoditas aluminium turun menjadi US$ 1.800 per ton. Padahal sebelumnya bisa mencapai US$ 2.200 per ton,” paparnya.
Tren penurunan harga komoditas aluminium ini, sudah terjadi sejak hampir satu tahun terakhir. Namun, penurunan laba tersebut sama sekali tidak terkait dengan menurunnya kinerja Inalum. “Kalau untuk produksinya kami konsisten terus, tetap 250 ribu ton per tahun,” ujarnya.
Meskipun keuntungan menipis, hal tersebut cenderung lebih baik karena perusahaan aluminium di China dan Australia banyak yang tutup.
Effendi menambahkan, meskipun margin laba terus mengalami penurunan, Inalum tidak akan merevisi target pendapatan perusahan tahun ini. “Kalau untuk revisi target tidak dan memang biasanya seperti itu, ini cuma keuntungannya saja yang menipis. Laba Inalum tahun ini diperkirakan hanya US$ 24 juta,” katanya.(Tim redaksi 02)