PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN)
memproduksi pakan ternak, mencakup pakan ternak untuk ayam ras pedaging, petelur, dan anak ayam usia sehari (day old chick/DOC). Pada 2011 kapasitas produksi tahunan pakan ternak Malindo sebesar 900.000 metrik ton (MT) per tahun. Selain memproduksi pakan ternak, Perusahaan melalui anak perusahaan juga membudidaya parent stock DOC, melakukan pembibitan DOC, dan peternakan ayam pedaging.
POULTRY FEED AND BREEDING INDUSTRY OUTLOOK
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), konsumsi pakan ternak nasional tumbuh 10% compounded annual growth rate (CAGR) 2007-2011. Tahun ini, konsumsi pakan ternak nasional diperkirakan mencapai 12,3 juta ton atau naik 9% dibanding 2011.
Pertumbuhan industri pakan ternak kemudian bergantung pada permintaan industri peternakan serta konsumsi hilir daging ternak di Indonesia. Industri peternakan Indonesia terus berkembang, meski terdapat sejumlah tantangan dalam pertumbuhannya, seperti ancaman flu burung, penyakit tetelo, kenaikan harga bahan baku pakan ternak, dan lainnya.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, daging ayam merupakan makanan yang memiliki pertumbuhan konsumsi yang potensial. Konsumsi daging ayam nasional -tercermin pada produksi ayam broiler- tumbuh rata-rata 7,9% per tahun pada periode 2005–2010. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh kenaikan jumlah penduduk Indonesia yang pada periode yang sama tumbuh rata-rata 1,7% per tahun. Pada 2010, konsumsi daging ayam per penduduk mencapai 5 kilogram, meningkat dari 4,7 kilogram pada 2009.
Meningkatnya konsumsi daging ayam turut ditopang oleh kenaikan pendapatan masyarakat. Inflasi yang terkendali menjadi salah satu penopang daya beli yang semakin menguat. Sementara pada periode 2005–2010, pendapatan per kapita Indonesia tumbuh rata-rata 18,5% per tahun.
Terdapat peluang yang besar bagi industri peternakan ayam untuk tumbuh di Indonesia. Dibandingkan dengan negara ASEAN , konsumsi daging ayam Indonesia masih jauh dibawah negara-negara lainnya. Pada 2010 konsumsi daging ayam Indonesia mencapai 5 kilogram (kg) per tahun, lebih tinggi dari Kamboja (2 kg per tahun), namun lebih rendah dari Filipina (8 kg per tahun), dan Vietnam (6 kg per tahun).
Faktor lainnya bagi pertumbuhan industri adalah bahwa ayam merupakan hewan ternak yang halal dikonsumsi oleh seluruh penduduk Indonesia. Daging dan telur ayam juga merupakan salah satu sumber protein yang penting bagi tubuh manusia. Harganya yang lebih murah dibanding sumber protein hewani lainnya turut menjadi faktor positif pertumbuhan industri.
MALINDO FEEDMILL’S BUSINESS MODEL
Bisnis model Malindo Feedmill terbagi dalam tiga segmen yaitu segmen usaha feedmill (menjual pakan ternak), segmen breeder (peternakan ayam usia sehari/day old chick/DOC), dan broiler (peternakan ayam pedaging).
Segmen bisnis pertama Malindo, yakni segmen pakan ternak merupakan bisnis utama Malindo. Bisnis ini menawarkan produk pakan ternak khususnya pakan ternak ayam pedaging, petelur dan DOC. Perusahaan juga menyediakan pakan untuk ikan. Penjualan pakan dipasarkan melalui jaringan distribusi di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali.
Malindo memiliki tiga pabrik pakan ternak yang terletak di Cakung (Jakarta-Timur), Gresik (Jawa Timur) dan Cikande (Serang-Banten). Selain memproduksi pakan ternak, Perusahaan juga memiliki segmen bisnis kedua, yakni melakukan pembibitan dan peternakan anak ayam usia sehari serta ayam pedaging.
Peternakan anak ayam usia sehari dilakukan di 10 wilayah berbeda yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan dengan kapasitas tahunan mencapai 165 juta DOC.
Perusahaan juga membudidayakan induk anak ayam usia sehari /Grand Parent Stock Day Old Chick (GPS DOC) yang dioperasikan oleh entitas anak, PT Bibit Indonesia, di Majalengka dengan kapasitas produksi sekitar 2,4 juta GPS DOC.
Segmen bisnis terakhir adalah penjualan ayam pedaging yang dioperasikan oleh entitas anak, PT Prima Fajar dan divisi PT Leong Ayamsatu Primadona, yang beroperasi di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Kapasitas produksi tahunan sekitar 19,4 juta kilogram ayam pedaging.
Ketiga segmen bisnis memberikan kontribusi yang berbeda terhadap pendapatan Malindo. Kontribusi pakan ternak mendominasi pendapatan, dengan kontribusi sebesar 62% pada semester I 2012, lebih tinggi 8% dari kontribusi tahun 2007.
Sementara itu, peternakan DOC dan produksi ayam ras pedaging pada semester I 2012 masing-masing memberikan kontribusi sebesar 23% dan 15%. Kontribusi penjualan ayam pedaging menurun seiring dengan meningkatnya kontribusi penjualan pakan ternak pada semester I 2012.
Pada tahun 2011, Malindo mulai mengembangkan bisnis hilir dengan memasuki bisnis pengolahan daging ayam. Perusahaan membangun pabrik pengolahan daging ayam di Cikarang yang dioperasikan oleh entitas anak, PT Malindo Food Delight dengan kapasitas produksi 9.000 ton per tahun.
Pengolahan daging ayam akan dipasarkan dengan merek dagang “Sunny Gold” pada akhir tahun 2012 ini. Untuk menunjang pabrik pengolahan daging ayam ini, perusahaan mulai melakukan ekspansi pada 3 segmen hulu perusahaan. Segmen pengolahan daging ayam ini belum memberikan kontribusi terhadap pendapatan Malindo pada 2012.
FINANCIAL HIGHLIGHT
Kinerja penjualan dan laba bersih Malindo memiliki tren meningkat. Selama 2007-2011, Malindo membukukan pertumbuhan penjualan sebesar 22% compounded annual growth rate (CAGR).
Penjualan semester I 2012 mencapai Rp 1,6 triliun, atau naik 29,58% secara tahunan. Laba bersih semester I 2012 tumbuh dengan solid sebesar 135% menjadi Rp 184,5 miliar. Penjualan pakan ternak yang memberikan kontribusi terbesar bagi pendapatan Malindo tumbuh 29%. Pendapatan bersih segmen pakan ternak senilai Rp 1,01 triliun pada semester I 2012.
Profitabilitas selama enam bulan pertama tahun 2012 mulai membaik dibanding tahun 2011. Margin kotor naik 777 basis poin, margin EBITDA naik 707 basis poin, margin operasi naik 697 basis poin, dan margin bersih naik 502 basis poin.
Kenaikan margin yang signifikan didorong oleh lebih efesien dan efektifnya penggunaan bahan baku dalam menghasilkan penjualan, meski biaya bahan baku meningkat selama semester I 2012.
Beban penjualan dan beban umum serta administrasi juga mengalami kenaikan pada semester I 2012. Namun kenaikan beban usaha tersebut lebih efektif menghasilkan penjualan, sehingga margin usaha naik dengan signifikan.
Imbal hasil untuk pemegang saham atau Return on Equity (ROE) berhasil naik signifikan sebesar 7.255 basis poin. Kenaikan ROE didorong oleh kenaikan margin yang signifikan pada semester I 2012. Aset Malindo lebih produktif selama semester I 2012. Return on Asset (ROA) naik 1.030 basis poin menjadi 22,13%.
Malindo memiliki posisi likuiditas yang relatif stabil. Rasio lancar sebesar 1,42 kali yang berarti Malindo dapat melunasi pembayaran utang lancar dengan menggunakan aset lancar Perusahaan. Sementara rasio kas sebesar 0,32 kali, artinya 32% kewajiban lancar Malindo dapat diselesaikan dengan kas yang dipegang saat ini.
Penggunaan utang oleh Malindo tergolong besar. Rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio mencapai 3,28 kali, merupakan rasio utang terbesar sejak 2009. Malindo juga memiliki utang kena bunga atau interest bearing debt to equity Ratio mencapai 1,28 kali.
Arus kas perusahaan operasi tergolong sehat dengan nilai arus kas operasi yang selalu positif. Malindo sedang aktif melakukan investasi, ditunjukkan oleh arus kas aktivitas investasi yang negatif. Malindo berkerja dengan modal kerja yang positif.
INVESTMENT HIGHLIGHT
1. Demand from Poultry, Chicken Consumption
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), konsumsi pakan ternak nasional tumbuh 10% compounded annual growth rate (CAGR) 2007-2011. Tahun ini, konsumsi pakan ternak nasional diperkirakan mencapai 12,3 juta ton atau naik 9% dibanding 2011.
Sementara itu, pada sisi hilir dengan daya beli masyarakat yang meningkat, konsumsi daging ayam juga dapat meningkat. Di Indonesia yang penduduknya didominasi oleh masyarakat Muslim juga membuat ayam menjadi pilihan asupan daging utama. Daging ayam juga dianggap sebagai daging putih, yang lebih sehat untuk konsumsi dibandingkan dengan daging merah.
Per 2010 konsumsi daging ayam di Indonesia masih rendah, yakni hanya 5,5 kg per orang per tahun. Konsumsi tersebut masih lebih rendah dibanding Brunei (47 kg per tahun) dan Malaysia (38 kg per tahun).
2. Solid Financial Performance
Selama 5 tahun terakhir, kinerja penjualan Malindo menunjukkan tren meningkat. Malindo berhasil membukukan pertumbuhan penjualan sebesar 22% CAGR 2007-2011. Pada semester I 2012, pendapatan Malindo tumbuh 30% secara tahunan sebesar Rp 1,65 triliun.
Kinerja laba juga mengalami pertumbuhan yang solid. Laba usaha tumbuh solid sebesar 65% CAGR 2007-2011. Semester I 2012, Malindo berhasil meningkatkan laba usaha yang tumbuh signifikan mencapai 98% dibanding periode yang sama sebelumnya.
Pertumbuhan kinerja keuangan Malindo yang solid ditopang oleh permintaan industri menunjukkan kemampuan Malindo untuk mempertahankan posisinya di pasar.
3. Expanding Feedmill and Breeding Segments
Malindo mulai melakukan ekspansi melihat tren meningkat pada konsumsi pakan ternak dan produksi daging ayam nasional selama 5 tahun terakhir. Malindo melakukan ekspansi di wilayah Kalimantan, Jawa Timur dan Jawa Barat.
Ekspansi yang dilakukan berupa ekspansi pembangunan pabrik pakan ternak dengan kapasitas produksi 525.000 metrik ton per tahun dan peternakan pembibitan anak ayam usia sehari dengan kapasitas produksi mencapai 20 juta DOC per tahun.
Kapasitas produksi yang lebih tinggi memberi peluang bagi Malindo untuk membukukan pertumbuhan dengan agresif secara berkelanjutan, sebagaimana yang terjadi dalam 5 tahun terakhir.
4. Building Vertical Intregration
Selain ekspansi, Malindo juga mulai mengembangkan bisnis yang terintegrasi vertikal dengan melakukan bisnis hilir, yaitu pengolahan daging ayam. Bisnis hilir dijalankan oleh anak usaha, PT Malindo Food Delight dengan membangun pabrik pengolahan daging dalam bentuk sosis dan nugget yang dipasarkan dengan merek “Sunny Gold” di Cikarang.
Pengolahan daging ayam memiliki kapasitas produksi sekitar 9.000 metrik ton per tahun. Kontribusi diperkirakan akan sebesar 2% terhadap total penjualan Perusahaan. Segmen usaha pengolahan daging ayam ditargetkan akan mulai berkontribusi terhadap pendapatan 2013.
Integrasi vertikal juga dapat memberi profitabilitas yang lebih tinggi bagi Malindo. Biaya produksi dapat lebih murah karena dapat dipasok sendiri, sementara pengolahan daging ayam merupakan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
Ekspansi bisnis hilir ini juga dapat memberikan keuntungan diversifikasi bagi Malindo. Penurunan penjualan pada segmen satu berpeluang tertutupi oleh pertumbuhan penjualan segmen lainnya.
INVESTMENT RISK
1. Raw Material Price and Supply
Bahan baku, khususnya jagung yang hampir 50% digunakan untuk bahan baku pakan ternak ketersediaannya sangat tergantung pada kondisi cuaca, musim panen, serta tingkat permintaan dan penawaran. Faktor ketidakpastian ketersediaan bahan baku menjadi risiko operasional utama bagi Malindo. Kenaikan harga baku seperti Jagung di pasar internasional juga dapat meningkatkan biaya produksi dan menekan profitabilitas Perusahaan.
2. Risk to Epidemic
Wabah penyakit yang berbahaya bagi hewan ternak, seperti flu burung dapat mengakibatkan kematian pada unggas, sehingga ketersediaan pasokan produksi ternak sektor perunggasan dapat terganggu.
Selain mengakibatkan lemahnya pada sisi pasokan bahan baku, epidemik penyakit hewan unggas juga dapat mengakibatkan menurunnya permintaan makanan daging maupun telur ayam dari masyarakat.
3. Risk from Highly Debt Use
Rasio utang terhadap ekuitas Malindo tergolong besar dengan rasio utang terhadap ekuitas mencapai 3,28 kali, dan rasio utang kena bunga terhadap ekuitas sebesar 1,28 kali.
Malindo saat ini memiliki utang obligasi tahun 2008 senilai Rp 300 miliar yang akan jatuh tempo 6 Maret 2013 dengan tingkat suku bunga sebesar 11,8% per tahun.
Beban bunga Malindo pada 2011 menggerus laba sebelum pajak sebesar 20%. Pada semester I 2012, beban bunga menggerus laba sebelum pajak mencapai 12% senilai Rp 23 miliar.
4. Risk from Financial Statement Submission Delay
Dalam periode 3 tahun terakhir Malindo telah dua kali terlambat dalam menyampaikan laporan keuangan. Menjadi risiko tersendiri bagi investor mengenai laporan keuangan yang disampaikan tidak tepat pada waktunya, sehingga harga saham tidak dapat secara langsung memfaktorkan pertumbuhan atau penurunan kinerja yang dibukukan oleh Perusahaan.(*/compilation data by duniaindustri.com)