HM Sampoerna (HMSP) merupakan pencetus rokok mild–rokok rendah tar rendah nikotin–pertama di Indonesia dengan meluncurkan merek A Mild pada 1989. HM Sampoerna menguasai 31,1% pangsa pasar rokok Indonesia dengan volume penjualan tahun lalu mencapai 91,7 miliar batang rokok. Nilai penjualan 2011 mencapai Rp 53 triliun, dan laba bersih yang dihasilkan mencapai Rp 8 triliun.
CIGARETTE INDUSTRY OUTLOOK
Indonesia merupakan salah satu negara pengkonsumsi rokok terbesar di dunia. Menurut data dari Phillip Morris, tanpa memasukkan Amerika Serikat dan China, Indonesia merupakan pasar rokok terbesar ke-2 di dunia, setelah Rusia, dengan volume industri rokok yang mencapai 270,3 miliar batang pada 2010.
Jumlah perokok Indonesia menunjukkan kenaikan cukup signifikan dalam 15 tahun terakhir. Jumlah perokok mencapai 65,1 juta jiwa, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional dan data Riset Kesehatan Dasar. Jumlah perokok Indonesia naik rata-rata 13,3% compounded annual growth rate (CAGR) 1995-2010. Kementerian Kesehatan mengestimasi jumlah perokok di Indonesia merupakan ketiga terbanyak di dunia.
Konsumsi rokok yang dicerminkan oleh konsumsi tembakau dan sirih memiliki porsi yang cukup besar dari sisi pengeluaran rata-rata yang dikeluarkan oleh masyarakat Indonesia. Konsumsi rokok mencapai 5% terhadap total pengeluaran untuk kebutuhan makanan.
Untuk tujuan kesehatan bagi masyarakat, Pemerintah melalui sejumlah peraturan melakukan restriksi untuk menahan laju konsumsi serta menahan laju produksi oleh produsen. Restriksi paling utama yang dilakukan oleh Pemerintah adalah kenaikan cukai dan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk setiap rokok yang diproduksi.
Pengenaan cukai tahun 2011 dilakukan melalui pemberlakuan PMK 190/PMK.011/2010 mengenai kenaikan cukai rokok. Tahun lalu tarif cukai dinaikkan dalam kisaran antara 4,8%-30,0% dibandingkan dengan tarif 2010. Sementara tarif cukai yang berlaku tahun 2012 ditetapkan melalui PMK No. 167/PMK. 011/2011, dengan kenaikan tarif antara 8,3%-48,9% dibanding tarif 2011.
Meski cukai secara aktif dinaikkan oleh pemerintah, volume produksi rokok di Indonesia terus meningkat. Permintaan rokok di Indonesia tergolong ke dalam permintaan yang cenderung inelatis, yakni besaran penurunan konsumsi rokok lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan harga jual rokok oleh produsen karena kenaikan cukai.
Produksi rokok di Indonesia tumbuh rata-rata 5,6% secara volume. Volume produksi mencapai 270 miliar batang pada 2010. Gabungan Perserikatan Produsen Rokok Indonesia mengestimasi tahun lalu produksi rokok bahkan mencapai 300 miliar batang. Nilai pasar rokok Indonesia tercatat mencapai Rp 177 triliun pada 2010. Tahun lalu, Asosiasi Rokok memperkirakan nilai pasar akan senilai Rp 186 triliun. Sementara nilai pasar tahun ini diestimasi akan menembus Rp 200 triliun.
Sebesar 90% konsumsi rokok di Indonesia merupakan jenis kretek, yakni rokok dengan bahan baku yang memasukkan cengkeh ke dalam campuran tembakau. Sebesar 10% lainnya merupakan konsumsi pada rokok putih, tembakau tiris, klobot, dan cerutu. Struktur industri rokok Indonesia saat ini dikuasai oleh 6 perusahaan besar. Selain itu, terdapat sekitar 18 perusahaan menengah, dan terdapat 2.941 perusahaan kecil di dalam industri.
Lima pemimpin pasar rokok Indonesia, adalah: HM Sampoerna (HMSP) dengan pangsa pasar sebesar 31,1% pada 2011, diikuti oleh Gudang Garam (GGRM) dengan pangsa 20,7%, Djarum dengan pangsa 20,2%, Bentoel Internasional (RMBA) dengan pangsa 8,0%, dan Nojorono dengan pasar sebesar 5,8%.
HM SAMPOERNA’S BUSINESS MODEL
HM Sampoerna merupakan pencetus rokok mild- rokok rendah tar rendah nikotin pertama di Indonesia. Pada tahun 1989 HM Sampoerna meluncurkan produk rokok mild pertama dengan merek A Mild.
Komposisi produk HM Sampoerna mencakup: (1) sigaret kretek mesin yang mengontribusi 47,6% terhadap nilai penjualan pada 2011, yang mana didalamnya juga termasuk kategori produk rokok mild; (2) sigaret kretek tangan yang menyumbang 39,8% terhadap penjualan; dan (3) rokok putih yang menyumbang 12,6% terhadap penjualan.
Seiring dengan pasar rokok yang membesar pada segmen konsumen kelas menengah bawah, HM Sampoerna juga mulai memasuki pasar ini, sebagai pengembangan pasar konsumen kelas premium yang menjadi fokus selama ini.
Sejumlah produk HM Sampoerna yang ditujukan untuk segmen konsumen daya beli menengah kebawah adalah Sampoerna Kretek, yakni rokok kretek buatan tangan. Kemudian untuk segmen rokok mild, Sampoerna menyediakan U Mild serta dua produk lainnya, Vegas Mild dan Trend Mild yang masing-masing baru diluncurkan pada 2010 dan 2011.
Tahun lalu HM Sampoerna memproduksi 91,7 miliar batang rokok, dan memimpin pasar rokok Indonesia dengan penguasaan pangsa pasar sebesar 31,1%. Pangsa pasar rokok HM Sampoerna terus meningkat dari posisi 25,4% pada 2008 menjadi 31,1% pada 2011.
Dalam kegiatan produksi, HM Sampoerna mengoperasikan 6 pabrik rokok di Indonesia. Keenam pabrik tersebut terdiri dari 2 pabrik sigaret kretek mesin yang berlokasi di Pandaan dan Karawang; 3 pabrik sigaret kretek tangan yang berlokasi di Surabaya; dan 1 pabrik sigaret kretek tangan yang terletak di Malang.
Selain itu, dalam memproduksi HM Sampoerna juga bekerja sama dengan 38 unit Mitra Produksi Sigaret yang berada di berbagai lokasi di Pulau Jawa. Kantor penjualan Sampoerna tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan di wilayah Indonesia bagian Timur.
HM Sampoerna memiliki 11 anak usaha per semester I 2012. Kegiatan usaha anak perusahaan bervariasi, mulai dari yang mendukung bisnis inti produksi rokok, seperti manufaktur dan perdagangan rokok, hingga kegiatan lain, seperti pengembangan properti dan jasa golf.
FINANCIAL HIGHLIGHT
Penjualan HM Sampoerna menembus Rp 50 triliun tahun lalu, yakni mencapai Rp 52,9 triliun. Laba bersih yang dihasilkan mencapai Rp 8,1 triliun. Secara konsisten dalam 5 tahun terakhir selama 2007-2011, penjualan HM Sampoerna tumbuh rata-rata 15% per tahun compounded annual growth rate (CAGR). Laba bersih 2011 nilainya telah dua kali lipat laba bersih pada 2007.
Pada semester I 2012 penjualan tercatat tumbuh 29,18% secara tahunan menjadi Rp 31,9 triliun. Dengan profitabilitas yang sedikit tertekan, laba bersih yang dihasilkan oleh HM Sampoerna senilai Rp 4,9 triliun, tumbuh 28,66%.
Profitabilitas HM Sampoerna menurun, khususnya pada margin kotor. Biaya bahan baku yang harus dibayarkan oleh HM Sampoerna naik 22% selama semester I 2012. Biaya lain yang meningkat lebih tinggi, yakni pada pembelian pita cukai dan pajak pertambahan nilai (PPN). Beban cukai dan PPN naik 45% secara tahunan pada semester I 2012.
Posisi likuditas cukup baik, dengan aset lancar mampu menutupi seluruh kewajiban lancar. Perusahaan menyimpan kas senilai Rp 2,5 triliun per Juni 2012.
Rasio utang membesar pada semester I 2012. Rasio utang terhadap ekuitas sebesar 1,31 kali, dari posisi 0,90 kali pada periode yang sama tahun 2011. Kenaikan rasio utang karena terdapat utang cukai senilai Rp 4,1 triliun yang belum dibayar Perusahaan.
Rasio utang juga meningkat karena utang dividen senilai Rp 2,2 triliun yang belum dibayarkan oleh HM Sampoerna kepada pemegang saham. HM Sampoerna membagi 157% laba bersih tahun buku 2011 sebagai dividen, sehingga imbal hasil untuk pemegang saham yang tercermin dalam Return on Equity (ROE) naik 4.304 basis poin menjadi 117,38%. Modal kerja yang disediakan oleh HM Sampoerna setiap periodenya berkisar antara Rp 4 triliun-Rp 6 triliun.
INVESTMENT HIGHLIGHT
1. Inelastic Demand
HM Sampoerna berada dalam industri yang permintaan produknya cenderung inelastik, yakni kenaikan harga produk tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan volume konsumsi oleh konsumen.
Meski cukai secara aktif dinaikkan oleh Pemerintah, namun volume produksi rokok di Indonesia terus meningkat, sekaligus mencerminkan konsumsi yang juga meningkat.
Tahun lalu tarif cukai dinaikkan dalam kisaran antara 4,8%-30,0% dibandingkan dengan tarif 2010. Sementara tarif cukai yang berlaku tahun 2012 naik antara 8,3%-48,9% dibanding tarif 2011.
Namun, produksi rokok Indonesia meningkat mencapai 300 miliar batang tahun lalu, sementara jumlah perokok mencapai 65,1 juta orang. Alokasi belanja rokok oleh masyarakat Indonesia stabil berkisar antara 4,9%-6,1% dari pengeluaran bulanan rata-rata.
2. Market Leader
HM Sampoerna merupakan pemimpin pasar rokok Indonesia, sehingga memberi keuntungan bagi HM Sampoerna dalam hal daya tawar ketika pembelian bahan baku, juga memberikan kekuatan terhadap daya tawar konsumen, bahkan dapat mempengaruhi penentuan harga jual produk dalam industri.
HM Sampoerna juga memiliki modal merek yang telah tercipta dengan kuat di pasar. Merek Dji Sam Soe merupakan merek utama yang juga pemimpin pasar pada segmen kretek tangan. Sementara dalam rokok mild, merek A merupakan pemimpin pasar dalam segmennya.
Dengan merek yang kuat, HM Sampoerna semakin mengukuhkan posisi sebagai pemimpin pasar rokok. Pada 2005 ketika baru saja diakuisisi oleh Phillip Morris, HM Sampoerna hanya menguasai 15% pasar rokok nasional, dan dalam periode 5 tahun kemudian, pada 2010 pangsa pasar HM Sampoerna telah mencapai 21,1% pasar rokok.
3. Expansion to Mid Low Consumers, a New Growth Driver
Ekspansi yang dilakukan oleh HM Sampoerna dalam 2-3 tahun terakhir kepada segmen konsumen berdaya beli menengah kebawah mulai memberikan hasil. Penjualan merek U Mild yang relatif baru diluncurkan tumbuh 84% secara volume pada tahun lalu.
Sementara penjualan merek Vegas Mild dan Trend Mild telah menyumbang 3,1% terhadap volume penjualan pada 2011.
4. Support from Phillip Morris as Shareholder
Kekuatan HM Sampoerna lainnya adalah hubungan afiliasinya dengan Phillip Morris, pemimpin pasar rokok global, sekaligus pemegang 97% saham HM Sampoerna.
Pengakuisisian HM Sampoerna oleh Phillip Morris Indonesia, membuat HM Sampoerna dapat mendistribusikan merek rokok Marlboro milik Phillip Morris. Marlboro merupakan spesifikasi rokok putih mesin, dan di Indonesia pangsa pasar rokok merek Marlboro menguasai 64% dalam segmen rokok putih. Rokok putih tercatat menyumbangkan 12,3% terhadap nilai penjualan HM Sampoerna pada 2011.
HM Sampoerna juga dapat menikmati transfer teknologi serta proses produksi yang dimiliki oleh Phillip Morris.
INVESTMENT RISKS
1. Limited Information
HM Sampoerna memiliki informasi yang relatif terbatas dalam laporan keuangan. Berbeda dengan emiten rokok lain yang memberikan rincian penjualan berdasarkan jenis produk untuk setiap periode, HM Sampoerna hanya membagi pendapatan menjadi aktivitas umum, yakni antara manufaktur dan perdagangan.
Juga tidak terdapat catatan mengenai utang bank yang beban keuangannya muncul dalam catatan laporan keuangan pada semester I 2012.
2. Low Public Share Emerges Liquidity Risk
Jumlah saham publik HM Sampoerna hanya sejumlah 79,83 juta lembar saham, atau setara dengan 1,82% dari jumlah saham beredar per Juni 2012. Dengan jumlah saham masyarakat yang sangat kecil jumlahnya, investasi pada saham HM Sampoerna memiliki risiko likuiditas yang tinggi.
3. Raw Material Price Volatility
Gangguan cuaca dapat mengakibatkan berfluktuasinya harga bahan baku rokok, seperti tembakau. Perubahan cuaca dapat mengakibatkan gagal panen, sehingga persediaan tambakau dapat berkurang dan harganya menjadi lebih mahal.
Selain itu, turunnya harga tembakau di sejumlah wilayah telah mengakibatkan petani meminta adanya harga patokan pembelian tembakau. Adanya harga patokan dapat mempengaruhi kinerja margin produsen rokok, seperti HM Sampoerna.
Sementara itu, di pasar internasional, harga cengkeh rata-rata meningkat 50% secara tahunan pada semester I 2012. Pada Juli-September 2012, harga rata-rata cengkeh menurun dibanding periode yang sama tahun lalu, namun harga kembali membentuk tren peningkatan sejak September. Ketersediaan cengkeh juga memiliki risiko terhadap gangguan panen.
4. Tighter Competition
Meski dikuasai oleh hanya beberapa pemain besar, pemain dalam industri rokok menghadapi persaingan yang sangat ketat. Merespon persaingan yang sangat ketat ini, produsen bahkan bersaing dalam hal harga jual serta peluncuran produk dengan berbagai varian.
5. Government Restrictions
Peraturan-peraturan Pemerintah yang semakin ketat dapat menahan laju pertumbuhan industri industri rokok yang digeluti oleh HM Sampoerna. Restriksi pemerintah yang ketat, termasuk juga adanya restriksi industri rokok dalam skala global, membuat beberapa produsen mendiversifikasi usaha ke dalam bisnis di luar rokok.
Regulasi pemerintah yang makin ketat mencakup pembatasan produksi hanya sejumlah 260 miliar batang per tahun, pembatasan promosi rokok, penerapan kebijakan kemasan, pembatasan peredaran, pembatasan konsumsi, serta kenaikan tarif cukai setiap tahun.
Terdapat wacana mulai tahun 2014 pengenaan cukai rokok tidak hanya akan dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi juga terdapat tarif cukai yang akan dikenakan oleh pemerintah daerah.
6. Risk to Decline in Long Term Demand
Ancaman dalam industri juga adalah potensi penurunan permintaan dalam jangka panjang karena konsumsi rokok memiliki risiko kesehatan yang tinggi. Meski hingga saat ini sifat permintaan rokok cenderung inelastis, meningkatnya kesadaran masyarakat serta gaya konsumsi generasi baru yang semakin sadar akan kesehatan dapat menurunkan permintaan rokok dalam jangka panjang.(*/berbagai sumber, diolah duniaindustri.com)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: