Duniaindustri.com (Agustus 2015) – Kabar menyedihkan tersiar dari bursa saham Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mendapat banyak sentimen negatif sejak awal pekan ini harus tumbang 3,2% (-148 poin) ke level 4.474 poin. Hal itu terjadi seiring dengan pelemahan rupiah yang sempat menyentuh Rp 13.825/US$.
Hanya dalam waktu tiga hari, IHSG sudah kehilangan 300 poin lebih. IHSG saat ini menyentuh 4.478. Sentimen pertama yang hinggap di pelaku pasar adalah melemah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Dolar AS awal pekan sudah mencapai Rp 13.500. Sementara hari ini dolar AS sudah menembus Rp 13.825 hingga siang ini. Pemicunya adalah sentimen negatif juga, datangnya dari China.
Kemarin bank sentral China, yaitu People’s Bank of China (POBC) dengan sengaja melemahkan mata uang yuan terhadap dolar AS. Yuan turun hingga ke titik terendah dalam 3 tahun terakhir. Dalam satu hari yuan mengalami koreksi harian terparahnya dalam dua puluh tahun terakhir.
Sentimen ini juga menggerus kepercayaan pelaku pasar saham terhadap negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia itu. Alhasil IHSG kembali anjlok.
Senin lalu, IHSG ditutup turun 47 poin, sedangkan Selasa kemarin anjlok 126 poin. Nah, siang ini, seperti dikutip dari data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (12/8/2015), IHSG jatuh sekitar 144 poin. Jika dikalkulasi, IHSG sudah terpangkas lebih dari 300 poin hanya dalam tiga hari.
Saham-saham blue chip juga rontok pada perdagangan sore hari ini yang menyebabkan indeks turun paling dalam di antara bursa-bursa di kawasan Asia Pasifik.
Selain itu, langkah devaluasi yuan turut mempengaruhi pergerakan bursa di regional, di mana IHSG masuk di dalamnya. Pukul 16.00, indeks ditutup turun sebesar 125,35 poin atau 2,66 persen di posisi 4.622,59.
Hanya terdapat 58 saham yang diperdagangkan menguat, 241 saham melemah dan 86 saham stagnan. Volume perdagangan mencapai 5,43 miliar lot saham senilai Rp 4,45 triliun. Saham-saham yang menekan pergerakan indeks adalah BMRI (Rp 9.150), BBNI (Rp 4.665), ASII (Rp 6.175), TLKM (Rp 2.940) dan BBRI (Rp 10.150).
Seluruh indeks sektoral juga melemah pada perdagangan hari ini, yang dimotori oleh industri dasar (-4,89 persen) dan aneka industri (-4,85 persen). Lainnya adalah agribisnis (-2,87 persen), pertambangan (-1,42 persen), konsumer (-2,82 persen), properti (-2,36 persen), infrastruktur (-1,78 persen), keuangan (-2,81 persen), perdagangan (-1,56 persen) dan manufaktur (-3,76 persen).
Bursa di kawasan Asia Pasifik pada perdagangan sore hari ini memerah seluruhnya, merespon langkah China menurunkan nilai tukar mata uangnya, yuan. Investor khawatir langkah tersebut mempengaruhi performa ekspor dari negara di luar China. Bahkan, bursa Shanghai juga ikut melemah atas langkah tersebut.
Bursa Tokyo ditutup melemah sebesar 0,42 persen menjadi 20.720,75. Sementara itu bursa Hong Kong melemah 0,09 persen di level 24.498,21. Adapun bursa Shanghai ditutup turun tipis 0,01 persen menjadi 3.927,91 dan bursa Seoul berakhir turun 0,82 persen di level 1.986,65.
Pada sore hari ini, nilai tukar rupiah kembali melemah. Bahkan mengutip Bloomberg, nilai tukar mata uang Garuda terhadap dollar AS turun hingga 0,42 persen atau 56,9 poin menjadi Rp 13.607 per dollar AS. Sementara itu mengutip situs Bank Indonesia, nilai kurs tengah rupiah berada di Rp 13.541 per dollar AS.
Tekanan Rupiah
Bank Indonesia sebagai stabilisator rupiah memberikan penjelasan mengapa nilai tukar mata uang Garuda itu melemah cukup dalam hari ini. Menurut BI, melemahnya rupiah disebabkan tekanan eksternal, terutama karena keputusan Tiongkok melemahkan mata uangnya.
“Pergerakan rupiah hari ini terjadi karena keputusan Pemerintah Tiongkok melakukan depresiasi dengan melebarkan currency band,” ujar Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara.
Menurut Mirza, keputusan Tiongkok tersebut dilakukan dalam rangka mendorong ekspor negeri Tirai Bambu itu sehingga lebih kompetitif. Saat ini, negara pesaing dagang Tiongkok, yaitu Jepang, Korea, dan dari negara Eropa, mengalami depresiasi mata uang yang cukup besar sehingga barang ekspor mereka menjadi lebih murah.
Dampak kebijakan Tiongkok itu tak hanya menekan rupiah. “Pengaruh dimaksud terhadap rupiah tidak sebesar pengaruh yang terjadi pada dollar Singapura, won Korea, dollar Taiwan, dan bath Thailand,” kata Mirza.
Meski begitu, BI menyakini bahwa tekanan dari Tiongkok itu hanya bersifat sementara. Bank sentral Indonesia itu pun mengatakan akan terus ada di pasar untuk memantau pergerakan rupiah.
“Kami melihat saat ini rupiah sudah undervalue dan kompetitif terhadap ekspor manufaktur dan mendorong turis masuk ke Indonesia. Bank Indonesia akan selalu ada di pasar dalam rangka menjaga volatilitas rupiah,” kata Mirza.(A1)