Latest News
You are here: Home | Rokok | HM Sampoerna dan Philip Morris Bangun Pabrik Rokok US$ 174 Juta
HM Sampoerna dan Philip Morris Bangun Pabrik Rokok US$ 174 Juta

HM Sampoerna dan Philip Morris Bangun Pabrik Rokok US$ 174 Juta

Duniaindustri.com (Oktober 2013) — PT Philip Morris Indonesia dan anak usahanya, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), menggelontorkan investasi sebesar US$ 174 juta untuk membangun dua pabrik di Karawang, Jawa Barat. Dua pabrik ini memproduksi rokok kretek dan rokok putih.

Presiden Direktur HM Sampoerna Paul Norman Janelle dalam keterangan pers menyebutkan, Philip Morris Indonesia melakukan peningkatan kapasitas produksi Marlboro untuk pasar domestik dan ekspor, khususnya pasar Asia Pasifik, dengan investasi pabrik sekitar US$ 96 juta.

Pabrik baru yang berdampingan dengan pabrik kretek Sampoerna di Karawang ini dilengkapi dengan sarana fasilitas untuk mengolah daun tembakau. Dengan adanya pabrik baru itu, bahan baku Marlboro tak lagi menggunakan tembakau olahan impor.

Pabrik Sampoerna di Karawang diresmikan pada 2008 untuk memproduksi sigaret kretek mesin. Pada tahun 2011 kapasitas produksi ditingkatkan dengan investasi sekitar US$ 78 juta.

“Kami telah berinvestasi lebih dari US$ 390 juta di Karawang sejak 2006. Kami bangga bisa mendukung tujuan pemerintah Indonesia dalam menambah lapangan kerja dan meningkatkan kinerja ekspor,” kata Paul Janelle.

Di 2012, nilai ekspor produk tembakau dari Philip Morris Indonesia dan Sampoerna mencapai angka US$ 24 juta dan diharapkan akan meningkat sedikitnya dua kali lipat di tahun ini menyusul adanya penambahan kapasitas produksi.

“Kami yakin ada potensi besar untuk ekspor kretek. Untuk Marlboro, Indonesia akan menjadi pusat produksi dalam memenuhi kebutuhan ekspor untuk wilayah Asia Pasifik dalam beberapa tahun yang akan datang,” tambah Paul.

Fasilitas produksi rokok putih Philip Morris Indonesia di Karawang akan mempekerjakan sekitar 600 karyawan, pada saat beroperasi secara penuh di 2014.

HM Sampoerna merupakan pemimpin pasar rokok di Indonesia. Pada 2011, volume penjualan HM Sampoerna mencapai 91,7 miliar batang, naik 16,4% dibanding tahun sebelumnya. Rata-rata pertumbuhan volume HM Sampoerna sebesar 6,9% dari 2005-2011.

Menurut Nielsen, pangsa pasar Sampoerna mencapai 31,1% sementara PT Gudang Garam Tbk memegang pangsa pasar 20,7% dan PT Djarum 20,2%.
Penjualan sejumlah produsen rokok termasuk HM Sampoerna pada semester I 2013 tumbuh 13%-66%. HM Sampoerna dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) membukukan kenaikan pendapatan 13,53% dan 13,07%. PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) membukukan kenaikan pendapatan tertinggi 66,5% dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA) 17,6%.

Paul Norman Janelle mengatakan HM Sampoerna membukukan kenaikan pendapatan hingga Rp 36,1 triliun pada semester pertama tahun ini, dibanding pada periode yang sama tahun lalu (Rp 31,8 triliun). “Grup perusahaan memiliki segmen usaha, yaitu manufaktur dan perdagangan rokok, di mana penjualan dan aset segmen usaha tersebut masing-masing 99,7% dan 97,8%,” katanya.

Meski demikian, beban pokok penjualan HM Sampoerna naik 16,3%, atau lebih tinggi dibanding kenaikan nilai penjualan pada semester I. Akibatnya, laba kotor perseroan tergerus dan hanya tumbuh 6,24% menjadi Rp 9,4 triliun. Margin laba kotor HM Sampoerna turun menjadi 26%, lebih kecil dibanding pada semester I 2012 sebesar 27,8%.

Pada semester I 2013, HM Sampoerna membukukan laba periode berjalan Rp 5 triliun, atau naik tipis 2,1% dibanding pada periode saham tahun lalu.
Sementara itu, Gudang Garam membukukan kenaikan pendapatan pada semester I 2013 menjadi Rp 26,6 triliun, lebih besar dibanding pada semester I 2012 (Rp 23,5 triliun).

Presiden Direktur Gudang Garam, Susilo Wonowidjojo, mengatakan pendapatan perseroan ditopang oleh penjualan di pasar lokal, yang tumbuh 13,1% menjadi Rp 25,5 triliun, sedangkan angka ekspor tumbuh 12% menjadi Rp 1,1 triliun. “Total penjualan sigaret kretek mesin Rp 23 triliun, kretek tangan Rp 3 triliun, rokok klobot Rp 15,6 miliar, kertas karton Rp 442 miliar, dan lainnya Rp 137 miliar,” kata Susilo, dalam keterangan tertulis untuk PT Bursa Efek Indonesia.

Pada semester I 2013, Gudang Garam membukukan kenaikan laba kotor 16,5% menjadi Rp 5,29 triliun. Margin laba kotor naik menjadi 19,9% pada semester I 2013, dibanding 19,3% pada semester I tahun lalu. Adapun perseroan membukukan kenaikan laba bersih 4,8% menjadi Rp 2,2 triliun pada semester I 2013.

Direktur Wismilak Inti Makmur, Krisna Tanimhardja, mengatakan angka penjualan perseroan pada semester I 2013 melonjak menjadi Rp 806 miliar dibanding pada semester I 2012 (Rp 484 miliar). Angka penjualan perseroan pada semester I 2013 kepada pihak ketiga mencapai Rp 810 miliar, dikurangi retur penjualan Rp 4,4 miliar.

“Pada semester I 2013, kami membukukan kenaikan laba kotor sebesar 61,4% menjadi Rp 218,8 miliar,” ujar Krisna dalam keterangan tertulisnya kepada PT Bursa Efek Indonesia.

Pada semester I 2013, Wismilak Inti Makmur membukukan kenaikan laba bersih 103,3% menjadi Rp 79,1 miliar dibanding pada periode yang sama tahun lalu (Rp 38,9 miliar). Kenaikan nilai penjualan dan laba Wismilak Inti Makmur merupakan yang tertinggi dibanding yang dicatat emiten lain.

Sekretaris Perusahaan Wismilak, Surjanto Yasaputra, sebelumnya mengatakan perseroan menargetkan penjualan bersih sebesar Rp 1,6 triliun dan laba bersih Rp 128 miliar pada 2013. Tahun lalu, perseroan membukukan angka penjualan Rp 1,1 triliun dan laba bersih Rp 77 miliar.

Adapun Bentoel Internasional, meski membukukan kenaikan angka pendapatan sebesar 17,6% (menjadi Rp 5,63 triliun), mencatatkan lonjakan angka kerugian bersih menjadi Rp 536 miliar pada semester I 2013. Kerugian tersebut tercipta karena beban operasi perseroan pada semester I 2013 melonjak 82% menjadi Rp 1,13 triliun.(*tim redaksi)

Rekomendasi
Investasi yang dilakukan HM Sampoerna dan Philip Morris Indonesia senilai US$ 174 juta ditujukan untuk menggantikan bahan baku impor dengan mengolah produk lokal. Hal itu bertujukan untuk meningkatkan efisiensi perusahaan, sehingga laba dapat tumbuh lebih tinggi. Selain itu, nilai investasi yang cukup besar tersebut mengindikasikan keyakinan HM Sampoerna dan Philip Morris bahwa pasar rokok Indonesia akan terus tumbuh. Menurut data duniaindustri.com, Nilai pasar rokok di Indonesia pada 2013 ditaksir mencapai Rp 214,9 triliun atau enam kali dari penerimaan cukai negara. Prediksi itu mengacu pada taksiran dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri).

DIVESTAMA2 (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top