Duniaindustri.com (November 2017) – Skema pengadaan dan distribusi obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dinilai perlu ditata ulang. Hal ini mendesak dilakukan mengingat berbagai permasalahan timbul selama dijalankannya program JKN, dari mulai kualitas pelayanan relatif rendah, kekosongan stok obat tertentu, perlakuan diskriminatif, ketidaktransparan penentuan harga obat, ketidakmerataan layanan, hingga masalah defisit keuangan yang terus membengkak.
Luthfi Mardiansyah, Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (CHAPTERS), menjelaskan permasalahan seputar pengadaan dan distribusi obat dalam program JKN menimbulkan persepsi publik bahwa kualitas program itu rendah. “Banyak muncul keluhan di masyarakat tentang kekosongan pasokan obat tertentu karena perencanaan yang kurang baik dari program JKN,” katanya dalam sebuah diskusi dengan topik “Perlukah ditata ulang skema pengadaan obat JKN dan distribusi obat” di Jakarta.
Selain itu, menurut dia, defisit pendanaan di program JKN membuat pembayaran klaim di rumah sakit jadi mundur, dan dampak lanjutannya pembayaran ke distributor obat menjadi tertunggak. “Ini seperti lingkaran setan yang perlu diputus agar dapat diperbaiki secara menyeluruh,” paparnya.
Dono Widiatmoko, Tim Market Access International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), menambahkan secara umum sejumlah tantangan dalam pelaksanaan program JKN antara lain penghitungan kebutuhan obat tidak akurat. Dampaknya, industri farmasi kesulitan untuk menghitung harga dan menyiapkan produksi. “Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan pemerintah tidak transparan dan nilainya terlalu rendah. Di sisi lain, disinyalir ada perusahaan yang sengaja menurunkan harga obatnya agar menang tender namun kemudian tidak dapat memenuhi kebutuhan program JKN,” katanya.
Dono juga menyoroti perencanaan proses lelang yang tidak terencana baik. Idealnya lelang obat dilaksanakan jauh hari sebelum masa tayang e-catalog dimulai. Tahun lalu saja proses lelang hingga kontrak pengadaan obat di program JKN mundur dari Januari hingga April, ini menyebabkan kekosongan stok obat di rumah sakit. “Kekosongan pasokan obat dapat sewaktu-waktu terjadi di daerah karena pemenang tendernya hanya 1 perusahaan. Di sisi lain, jadwal tender juga tidak tepat waktu,” paparnya.
Selain itu, lanjut dia, tidak semua obat dalam formularium nasional (Fornas) tercantum dalam e-catalog. Akses pada e-katalog/e-purchasing juga terbatas pada RS milik pemerintah. Obat-obatan untuk JKN dijual kembali oleh RS/Satker untuk pasien reguler. “Itu tantangan-tantangan yang perlu kita tata ulang secara bersama-sama,” ucapnya.
Parulian Simandjuntak, Direktur Eksekutif IPMG, mengakui skema pemenang tunggal dalam proses pengadaan lelang sistem e-catalagoue dapat menimbulkan permasalahan kelangkaan obat. “Kami menyarankan dibuatnya multiple winner, guna memastikan ketersediaan obat di program JKN,” kata Parulian.
Dia juga menilai bujet pendanaan pemerintah yang terbatas juga menimbulkan permasalahan tersendiri ke dunia bisnis. Karena bujet terbatas, pemerintah hendak mengefisienkan harga obat sehingga akhirnya pembayaran ke rumah sakit dan distributor obat menjadi tertunggak. “Perlu disadari obat dengan harga murah tidak selalu menjadi solusinya, apalagi kalau pasokannya tidak ada. Padahal masih ada obat lain dengan harga yang berbeda sedikit, tapi penyembuhannya lebih cepat,” katanya.
Menurut Parulian, perlu dihadirkan pilihan pengobatan yang lebih baik kepada pasien, khususnya obat-obatan baru menggantikan obat-obatan terdahulu. Juga, perlunya terus-menerus dilakukan riset dan pengembangan dalam penemuan teknologi pengobatan penyakit baru.
Saat ini skema pengadaan obat JKN dilakukan dengan kebijakan dari Kementerian Kesehatan dan proses pengadaan lelang sistem e-catalagoue dilakukan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Skema pengadaan obat dimulai dari penetapan daftar obat yang dibutuhkan (formularium nasional), dibuatnya rencana kebutuhan obat (RKO), proses lelang di LKPP kemudian diumumkan pemenangnya dalam daftar e-catalagoue. Fasilitas kesehatan (faskes) di semua daerah, termasuk klinik, puskesmas, rumah sakit kemudian melakukan pembelian melalui e-procurement ke perusahaan farmasi.
Luthfi mengatakan, permasalahan obat saat ini bukan hanya masalah pengadaan, tetapi yang sangat krusial saat ini adalah masalah distribusi obat. “Kasus ditemukannya obat keras ilegal baru-baru ini, terus-menerusnya ditemukan obat palsu yang merugikan dan membahayakan pasien, merupakan alarm bagi kita semua,” katanya.
Ditambah lagi, lanjut dia, tidak jelasnya cara pengiriman dan distribusi obat-obatan, baik yang merupakan obat resep atau obat bebas, dari transaksi on-line. Setiap orang bisa membeli obat-obatan yang seharusnya menggunakan resep dokter dibeberapa laman on-line, tidak mendapatkan informasi yang tepat tentang dosis dan penggunaannya. “Dan yang paling miris adalah apakah pengiriman obat ke pemesan menggunakan tata cara distribusi obat sesuai dengan aturan BPOM atau tidak,” ucapnya.(*/tim redaksi 05)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: