Duniaindustri.com (Januari 2014) — Pengusaha Hary Tanoesoedibjo, pemilik MNC Group, melalui PT MNC Kapital Indonesia Tbk (BCAP) resmi memiliki 24% saham PT Bank ICB Bumiputera Tbk. Tingginya potensi keuntungan di sektor perbankan di Indonesia kemungkinan besar mendasari akuisisi tersebut.
Sinbad Rijadi Hardjodipuro, Plt Presiden Direktur Bank ICB Bumiputera, melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas perubahan komposisi pemegang saham perseroan. Dia menjelaskan sesuai dengan informasi yang diperoleh dari ICB Financial Group Holdings AG (ICBFGH) dalam surat tertanggal 27 Januari 2014, telah terjadi peralihan kepemilikan saham Bank ICB Bumiputera dari ICBFGH kepada MNC Kapital. “MNC Kapital menjadi pemegang 24% saham Bank ICB Bumiputera,” ungkapnya dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia.
Untuk itu, ICBFGH saat ini memiliki 45,9% saham dari sebelumnya sebanyak 69,90% saham. Sedangkan MNC Kapital memiliki 24% saham dari sebelumnya tidak memiliki saham perseroan. Adapun saham AJB Bumiputera 1912 tetap sebesar 5,46% dan saham publik sebesar 24,64%.
Sebagai informasi, manajemen PT MNC Kapital Tbk telah melakukan perjanjian jual beli saham bersyarat atau conditional sell and purchase agreement (CSPA) dengan ICB Financial Group Holdings untuk mengambil alih 30% saham ICB Bumi putera pada 2 April 2013.
MNC Group gencar untuk memperkuat bisnis di bidang keuangan. Saat ini MNC Kapital telah memiliki PT MNC Asset Management, PT MNC Finance, PT MNC Securities, PT MNC Life Assurance, dan PT MNC Asuransi Indonesia.
Langkah pembelian saham Bank ICB Bumiputera untuk memperkuat jasa layanan keuangan PT MNC Kapital Indonesia Tbk dan memperkuat sinergi yang telah terbentuk antara entitas anak usaha yaitu MNC Asset Management, MNC Finance, MNC Insurance, MNC Life, dan MNC Securities.
MNC Kapital tidak menyebut nilai akuisisi tersebut. Namun, jika berpatokan pada nilai kapitalisasi pasar saham ICB Bumiputera pada Jumat (5/4) yang sebesar Rp 910,69 miliar, nilai saham yang dibeli MNC Kapital itu mencapai sekitar Rp 273 miliar.
Laba Bank di Indonesia Rp 124 Triliun
Industri perbankan di Indonesia mampu meraup laba bersih hingga Rp 124,7 triliun hingga November 2013, tumbuh 14% dari November 2012 sebesar Rp 108,7 triliun. Laporan Statistik Perbankan yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, laba industri perbankan ini ditopang oleh pendapatan bunga bersih yang sampai November 2013 mencapai Rp 220,1 triliun atau tumbuh dari Rp 188,1 triliun pada November 2012. Total aset perbankan pada November 2013 mencapai Rp 4.643 triliun. Sementara, total kredit yang diberikan mencapai Rp 3.241 triliun dan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp 3.563 triliun.
Sayangnya dari total kredit yang disalurkan masih terdapat Rp 312,4 triliun undisbursed loan (commited) atau komitmen kredit yang belum dicairkan. Angka ini naik drastis dari November 2012 yang hanya sebesar Rp 274,9 triliun.
Kenaikan laba perbankan juga dipengaruhi tingginya belanja iklan yang memungkinkan perbankan menyedot dana dari publik dan menyalurkannya sebagai kredit. Perusahaan riset Nielsen menyatakan belanja iklan perbankan di Indonesia mencapai Rp 1,85 triliun di 2010, naik 46% disbanding 2009 yang mencapai Rp 1,27 triliun. Padahal, berdasarkan data belanja iklan perbankan yang dirilis oleh Nielsen, total belanja iklan yang dilakukan oleh bank-bank di Indonesia pada 2007 mencapai Rp1,03 triliun.
Nielsen memperkirakan pada masa mendatang institusi perbankan di Indonesia akan cenderung semakin memperkuat aspek branding. “Selama empat tahun terakhir, belanja ikan di televisi, radio, koran atau majalah untuk kepentingan branding perusahaan bank terus meningkat,” kata Director for Financial Services Nielsen Indonesia Dena Firmayuansyah.
Penguatan branding ini sejalan dengan perubahan tren perbankan di Indonesia. Pada tahun 1970-an, masyarakat hanya memanfaatkan bank sebagai tempat untuk menabung. Kemudian, pada 1990-an masyarakat mengenal fungsi bank sebagai service contact point, yang ditandai dengan menjamurnya layanan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di berbagai tempat.
Selanjutnya, pada tahun 2000-an masyarakat mengenal bank sebagai one stop solution yang juga menawarkan jenis produk lainnya, seperti asuransi. “Saat ini produk bank semakin bervariasi, sehingga aspek branding menjadi faktor kunci bagi bank untuk meningkatkan jumlah pelanggan,” kata Dena. Dena menambahkan penguatan branding sangat dibutuhkan dalam persaingan, baik dengan kompetitor sejenis maupun yang tidak sejenis.(*/berbagai sumber)