Duniaindustri.com (September 2015) – Penurunan harga semen dan baja menguntungkan industri konstruksi di Indonesia, meski ikut terdampak pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan pelemahan rupiah bisa diseimbangkan dengan harga bahan baku bangunan seperti baja dan semen yang juga mengalami penurunan.
Namun, menurut dia, pelemahan rupiah itu bisa saja berpengaruh jika proyek pembangunan infrastruktur itu menggunakan dana pinjaman luar negeri. “Karena harga-harga juga turun, harga baja juga turun, semen juga turun, jadi mungkin ada balance di situ, kecuali nanti kalau pakai loan (pinjaman), tapi sampai saat ini belum ada klaim (pengaruhnya), kalau pakai rupiah murni belum ada (pengaruh) apa-apa,” kata Basuki.
Basuki menjelaskan bahwa untuk proyek single years (kontrak satu tahun) belum ada dampak yang terlihat, sedangkan untuk proyek multiyears tentu akan dilihat bagaimana perkembangan nilai rupiah nantinya. “kalau yang single years kan hampir selesai, nah multiyears mungkin, pada tahun kedua, tapi sampai saat ini belum ada klaim, mungkin sesuai dengan yang disampaikan Presiden, ini bukan krisis, tapi ini perlambatan,” tuturnya.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Dirjen Bina Marga Kementerian PUPR Hedianto W Husaini mengatakan, kondisi pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini masih bisa terkelola dengan baik oleh para kontraktor. Sebagian besar dari para kontraktor tersebut, kata Hedianto, telah memiliki stok bahan baku yang dibeli sebelum rupiah melemah.
“Kita juga masih punya stok rangka baja yang sudah kita siapkan oleh pabrik-pabrik kita waktu dolar belum naik. Jadi sampai sekarang masih belum ada pengaruhnya,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, proyek-proyek konstruksi itu tidak terlalu terdampak pelemahan rupiah lantaran sebagian besar bahan baku memang berasal dari dalam negeri. “Karena komponen-komponen dalam negeri kita banyak. Batunya sebagian besar dari kita, semen gak ada impor, aspal sebagian impor, baja ini yang khususnya baja kualitas tinggi kita masih impor, tapi untuk yang baja mutu biasa tidak impor. Sampai dengan hari ini kita belum terima (laporan) mengenai kenaikan dolar yang berimplikasi terhadap konstruksi Indonesia,” paparnya.
Berdasarkan data duniaindustri.com, harga baja dunia pada September 2015 anjlok 38% menjadi US$ 340-US$ 350 per ton dibanding periode yang sama tahun lalu, menurut data Midle East Steel (mesteel.com). Harga baja dunia itu mengacu pada harga baja canai panas (hot rolled coils/HRC) dari China untuk pengiriman September. Sedangkan harga baja dunia pada September 2014 berada di kisaran US$ 545-US$ 555 per ton.
Penurunan harga baja dunia itu disebabkan kelebihan pasokan baja di China sebagai produsen terbesar, sementara konsumsi baja global melambat seiring perlambatan perekonomian dunia.
Di China sendiri, perlambatan perekonomian negeri ini dalam lima tahun terakhir menjadi 7,4% pada 2014 telah memangkas konsumsi baja sebesar 6,62% menjadi 54,34 juta ton tahun lalu. Padahal, produksi baja China tetap tumbuh 1,52% menjadi 63,3 juta ton pada periode yang sama.
Dampaknya, China mengalami kelebihan pasokan sekitar 8,96 juta ton pada 2014, lebih tinggi dibanding posisi 2013 sebesar 4,16 juta ton. Kelebihan pasokan dari China itu kemudian diekspor dan berpotensi membanjiri pasar di Asia, terutama negara dengan aktivitas infrastruktur tinggi seperti Indonesia.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: