Duniaindustri (Desember 2012) – Produsen makanan olahan dan minuman yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) bakal menaikkan harga jual sekitar 5%-10% pada 2013 menyusul kenaikan biaya energi gas, tarif listrik, serta upah pekerja. Kenaikan harga jual juga dipengaruhi kekhawatiran naiknya harga komoditas bahan baku, khususnya kedelai.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman mengutarakan, harga produk makanan dan minuman (Mamin) secara keseluruhan bakal meningkat 5%-10% di tahun depan menyusul hambatan yang dialami sektor industri ini. “Kami menyiasati dari naiknya harga energi gas yang telah efektif pada September sebesar 35%. Kemudian tarif tenaga listrik di tahun depan sebesar 15%, sampai kenaikan upah buruh,” katanya.
Kenaikan harga jual itu merupakan prediksi awal terhadap semua hambatan. Potensi kenaikan diprediksi bisa bertambah menyusul rendahnya kinerja produksi sektor industri makanan dan minuman di tahun ini. “Kami perkirakan naiknya hanya sebatas 5%-10%. Namun itu pun masih proyeksi awal. Bisa saja akan naik 10% bila muncul hambatan lain,” ujarnya.
Di samping itu dia juga mengkhawatirkan naiknya beberapa komoditas bahan baku, khususnya kedelai, yang masih bergantung pada tren harga global. “Resesi Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) saat ini masih berlangsung. Tentunya harga beberapa komoditas yang masih kerap diimpor berpengaruh pada hal itu,” tutur dia.
Karena itu Adhi mengharapkan, bahwa pemerintah mendukung kegiatan sektor manufaktur yang juga berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi nasional. Sektor industri menurutnya, perlu diberikan insentif guna menunjang kegiatan sektor industri makanan dan minuman di dalam negeri.
Kenaikan harga jual dilakukan untuk mengimbangi margin keuntungan produsen yang kerap tertekan naiknya harga bahan baku. Adhi memperkirakan margin keuntungan produsen makanan dan minuman bisa dijaga di level 30%-40%.
Sepanjang 2010, omzet penjualan makanan minuman di Indonesia mencapai Rp 605 triliun. Itu berarti, omzet penjualan makanan minuman di negeri ini dalam satu bulan mencapai Rp 50,4 triliun. Lebih kecil lagi, omzet penjualan makanan minuman di Indonesia dalam satu hari mencapai Rp 1,68 triliun. Angka yang fantastis untuk negeri dengan penduduk 235 juta jiwa.
Data Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) menunjukkan, tren pertumbuhan industri makanan dan minuman dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun. Volume penjualan di tahun 2007 mencapai Rp 383 triliun, di tahun 2008 mencapai Rp 505 triliun, di tahun 2009 mencapai Rp 555 triliun dan di tahun 2010 mencapai Rp 605 triliun.
Industri makanan, minuman, dan tembakau masih menjadi cabang yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan industri nasional. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa di tahun 2010 industri makanan minuman dan tembakau memberikan kontribusi sebesar 34,35% atas pertumbuhan industri nasional non-migas.
Ironisnya, meski industri makanan dan minuman merupakan salah satu kontributor terbesar dalam pertumbuhan, masih banyak faktor termasuk kebijakan pemerintah yang masih belum sepenuhnya mendukung perkembangan industri makanan dan minuman itu sendiri. Sementara ancaman dari produk impor terus bertambah sejalan dengan integrasi perekonomian Indonesia dengan perekonomian regional dan global.
Total nilai impor produk makanan minuman periode Januari – November 2010 menunjukkan peningkatan sebesar 22,95% dibanding periode yang sama di tahun 2009, dengan negara asal impor terbesar dari Malaysia, Cina, Thailand, Singapura, dan Amerika Serikat.
Tantangan industri makanan dan minuman di tahun 2011 antara lain belum sinerginya peraturan perpajakan dan retribusi terkait dengan dukungan terhadap pertumbuhan industri makanan dan minuman. Dengan masuknya Indonesia menjadi bagian integral perekonomian regional dan dunia melalui berbagai perjanjian bilateral dan multilateral, produk-produk jadi makanan dan minuman dari negara-negara mitra hanya dikenakan bea masuk yang relatif kecil yaitu antara 0%-5%.
Selain itu, kebijakan energi nasional masih belum mendukung pertumbuhan industri domestik, khususnya terkait tarif dasar listrik dan kesediaan pasokan gas. Pemanfaatan gas bumi untuk dalam negeri hanya 53%, dan ekspor 47%. Sedangkan penggunaan gas pada industri makanan dan minuman adalah sebesar 7% dari kebutuhan nasional. Kebutuhan gas untuk industri mencapai 801 MMSCFD, sementara pemerintah hanya mengalokasi sebesar 583 MMSCFD.
Salah satu tantangan lainnya adalah minimnya infrastruktur jalan, dilihat dari jumlah dan kualitasnya, pelabuhan, jaringan listrik atau pipa gas sehingga menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi para pelaku industri di Indonesia. Tidak seimbangnya pertumbuhan infrastruktur jalan dengan pertumbuhan kendaraan menyebabkan kemacetan di seluruh daerah yang berakibat menyebabkan distribusi menjadi terhambat dan menimbulkan biaya tinggi.
Hal itu mengakibatkan tingginya biaya tranportasi di Indonesia yang diperparah dengan terus adanya pungutan liar. Sebagai contoh, untuk mengangkut barang dari Warsawa (Polandia) ke Hamburg (Jerman) dengan jarak 750 km, biayanya adalah ½ dari ongkos pengiriman barang dari Makassar ke Enrekang di Sulawesi yang hanya berjarak 240 km. Dari hasil penelitian Olken dan Barron, 2007 ditemukan bahwa truk yang menempuh rute Banda Aceh-Medan harus mengeluarkan US$ 40 sekali jalan, atau sekitar 13% dari total biaya perjalanan, untuk suap dan uang keamanan.(Tim redaksi/03)