Duniaindustri.com (Oktober 2015) – Harga produk impor ilegal tekstil diduga lebih murah 40% dibanding produk tekstil lokal. Alasannya, produk impor ilegal tekstil itu tidak membayar pajak dan merupakan kelebihan produksi dari negara asal.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bahwa masuknya barang-barang tekstil impor ilegal merupakan ulah dari oknum nakal yang memanfaatkan pasar Indonesia yang besar. Pelaku penyelundupan tersebut, ditegaskan Jokowi sudah ditetapkan menjadi tersangka.
“Sudah diurus Direktorat Jenderal Bea Cukai. Direksi sudah dicopot dan menjadi tersangka. Saya kira ini produk impor ilegal sangat besar bagi industri nasional,” ujar dia.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro membeberkan kronologi terbongkarnya kasus penyelundupan 4 kontainer produk tekstil impor ilegal dari China ke Indonesia.
Pada Jumat (2/10/2015), Direktorat P2 Kantor Pusat DJBC, Kanwil DJBC Jawa Barat dan KPU Bea Cukai Tanjung Priok mendapat informasi bahwa ada 4 kontainer kawasan berikat PT KYH di Purwakarta, Jawa Barat yang diduga melanggar ketentuan kepabeanan.
Setelah dilakukan analisa mendalam, berdasarkan profil importir dan profil barang, dilakukan penelusuran terhadap keberadaan kontainer yang dilakukan bekerjasama dengan kepolisian dan ditemukan barang tersbeut disalahgunakan peruntukkannya.
Modusnya membongkar produk impor di luar kawasan berikat PT KYH (di area pergudangan Marunda Jakarta Utara) untuk langsung diangkut ke tempat lain dan dijual ke pembeli akhir tanpa membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
“Tapi sampai di Tanjung Priok, ini tidak langsung ke Purwakarta. Satu ke gudang Marunda dan satu lagi ke jalan Cikampek Palimanan. Disitu di tangkap karena tidak sesuai tujuan awal, jadi ada indikasi mereka langsung jual ke ritel di sini,” papar Bambang.
Adapun tersangkanya berinisial AI dengan temuan kain gulungan roll berjumlah 3.519 roll atau 376 ribu yard senilai US$ 1,028 juta atau setara Rp 14 miliar. Total potensi kerugian negara mencapai Rp 2,21 miliar karena tidak setor bea masuk.
“AI diduga melanggar UU Kepabeanan Pasal 102 (huruf d) tentang penyelundupan dan pasar 103 (huruf a) tentang pemalsuan. Tindak lanjut penangkapan produk tekstil impor ilegal ditingkatkan pada tahap penyidikan untuk diproses hukum lebih lanjut,” tandas Bambang.
Produk Impor
Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) menyatakan bahwa terpuruknya kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) seperti saat ini bukan hal yang mengejutkan karena hal ini sudah terprediksikan sejak 2 tahun lalu.
Menurut Sekretaris Jendral APSyFI, Redma Gita Wirawasta, tahun 2013 pihaknya sudah mengajukan petisi anti dumping benang filament dan merekomendasikan pengenaan safeguard terhadap seluruh produk tekstil dari hulu ke. Namun pihak yang berkepentingan dalam praktik impor menolak usulan ini, bahkan upaya pengenaan anti dumping benang filament pun kandas ditengah jalan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam 5 tahun terakhir, rata-rata impor TPT naik 19,9%, ekspor naik 6,8%, sedangkan konsumsi masyarakat naik 18,3%. Kondisi ini dapat bahwa pasar pertumbuhan dipasar domestik digerogoti barang impor, sedangkan ekspor tidak tumbuh signifikan.
Redma menjelaskan bahwa perlambatan ekonomi dunia menyebabkan kondisi over supply, produsen di negara prosen lain banting harga hingga menjadi salah satu sebab utama keterpurukan industri TPT saat ini, namun jika pemerintah antisipatif, mengontrol impor dan memberikan pasar domestik pada produsen lokal, kondisinya akan jauh berbeda. “Minimal kita punya tempat untuk jualan dan industri masih bisa terus berproduksi” tegas Redma.
Berdasarkan data kalkulasi APSyFI yang bersumber dari Bank Indonesia, daya beli masyarakat dalam 5 tahun terakhir terus meningkat dimana konsumsi tekstil naik dari 1,21 juta ton ditahun 2009 menjadi 1,75 juta ton ditahun 2014. Selain didorong oleh peningkatan jumlah penduduk, konsumsi masyarakat juga disebabkan oleh peningkatan konsumsi perkapita yang naik dari 5,03 kg ditahun 2009 menjadi 6,82 kg ditahun 2014. “Pelemahan konsumsi masyarakat dikuartal pertama tidak signifikan berpengaruh pada industri TPT karena pada dasarnya trend pertumbuhan ekonomi dan kenaikan upah yang signifikan telah mendorong penguatan daya beli” jelas Redma.
“Kalau daya beli kita lemah, nggak mungkin Uniqlo, H&M dan merk dunia lainnya buka toko di Indonesia, tahun ini saja mereka masih tambah terus outlet-nya” tegasnya. “Yang jadi masalah kan peningkatan konsumsi masyarakat ini diisi oleh barang impor atau bahan bakunya impor, jadi setiap tahunnya devisa kita terkuras dan pangsa pasar produk lokal mengecil” tambahnya.
Untuk itu pihaknya kembali mengusulkan agar pemerintah segera mengambil langkah untuk membatasi dan mengontrol impor TPT melalui mekanisme Trade Remedies, baik Anti Dumping, Anti Subsidi maupun Safeguard. Hal ini perlu segera dilakukan untuk merebut kembali pasar domestik dari hulu ke hilir.
“Kalau mau terus cari yang murah, kita semua jadi importir saja. Yang perlu dibangun sekarang adalah Value Chain dari hulu ke hilir biar semua perusahaan TPT bisa berproduksi, ngga perlu ngomong harga, lewat kenaikan upah kita sudah berkontribusi menaikan daya beli masyarakat, wajar kalau kita minta balik agar masyarakat konsumsi produk lokal yang berbahan baku lokal” jelas Redma.(*/berbagai sumber)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: