Duniaindustri.com (Agustus 2015) – Tahun 2015 tampaknya tidak bersahabat dengan industri perkebunan kepala sawit. Harga CPO terus merosot sehingga mempengaruhi penjualan dan laba bersih. Hal itu diperparah dengan peningkatan beban serta penerapan pungutan baru oleh pemerintah.
Laba bersih sejumlah emiten perkebunan, seperti PT PP London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP), PT Salim Ivomas Tbk (SIMP), PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO), PT Dharmasatya Nusantara Tbk (DSNG), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) mencatat penurunan laba bersih signifikan sepanjang semester I 2015. Berdasarkan kinerja laporan keuangan masing-masing perusahaan menunjukan, penurunan kinerja tersebut disebabkan oleh turunnya volume penjualan cpo yang juga disertai dengan penurunan harga jual serta dampak pelemahan nilai tukar rupiah.
Dari enam emiten perkebunan yang disebutkan di atas, penurunan laba bersih terbesar dialami Salim Ivomas. Sepanjang semester I 2015, perseroan mencatat penurunan laba bersih hingga 75% menjadi Rp 127 miliar dari sebelumnya Rp 507 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan, pada semester I 2015 Salim Ivomas membukukan penjualan sebesar Rp 6,79 miliar atau turun 5% dari periode yang sama tahun lalu Rp 7,16 triliun seiring dengan turunnya kontribusi penjualan dari divisi minyak dan lemak nabati.
Menurut manajemen perseroan, divisi perkebunan mencatat kenaikan penjualan seiring dengana meningkatnya penjualan eksternal serta penurunan penjualan antar segmen. Kendati demikian, total penjualan divisi perkebunan sebelum eliminasi penjualan antar segmen mengalami penurunan seiring turunnya harga jual rata-rata yang dapat mengimbangi kenaikan volume penjualan produk sawit.
Penjualan Divisi minyak dan lemak nabati turun karena penurunan volume penjualan serta harga jual rata-rata produk minyak nabati. Adapun volume penjualan gula juga mengalami penurunan sebesar 35% menjadi 16 ribu ton akibat musim panen yang baru dimulai pada awal April tahun ini.
Hal tersebut mengakibatkan laba kotor dan laba usaha perseroan masing-masing turun 25% dan 36% pada semester I 2015. Turunnya laba usaha yang disertai dengan meningkatnya beban keuangan menjadikan laba bersih perseroan anjlok 75% menjadi Rp 127 miliar.
“Pelemahan harga komoditas telah mempengaruhi kinerja kami sepanjang 2015, namun demikian divisi minyak dan lemak nabati membukukan EBITDA yang lebih tinggi secara tahunan karena biaya bahan baku lebih rendah yang sebagian besar adalah CPO. Hingga Juni 2015, kami memiliki 57.000 hektar kebun kelapa sawit yang belum menghasilkan untuk mendukung pertumbuhan volume ke depan,” kata Mark Wakeford, Presiden Direktur perseroan dalam keterangan resmi.
Emiten perkebunan lain yang juga mengalami penurunan laba bersih signifikan adalah Astra Agro Lestari dan Dharma Satya Nusantara. Pelemahan nilai tukar rupiah dan penurunan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mengakibatkan laba bersih Astra Agro turun hingga 67,5% menjadi Rp 444 miliar hingga semester I 2015.
Berdasarkan laporan keuangan semester I 2015, Astra Agro membukukan pendapatan sebesar Rp 7,22 triliun, turun 9,7% dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 8 trilun. Penurunan tersebut diakibatkan oleh turunnya pendapatan dari penjualan minyak sawit mentah dan turunannya sebesar 8,5%, penjualan inti sawit dan turunannya merosot 17,3%, dan produk lainnya turun sebesar 82%.
Dari segi volume, penjualan CPO perseroan pada semester I lalu tercatat 551.418 ton atau turun 18,3% dibanding periode yang sama tahun lalu. Harga jual CPO perseroan juga mengalami penurunan 12,4% menjadi Rp 7.642 per kilogram dari sebelumnya Rp 8.728 per kilogram.
Turunnya pendapatan perseroan yang tidak diikuti dengan penurunan beban pokok pendapatan dengan persentase signifikan pada akhirnya menyebabkan laba bruto perseroan turun hingga 34,2% menjadi Rp 1,64 triliun dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 2,49 triliun.
Kinerja perseroan kian tertekan seiring dengan meningkatnya sejumlah komponen beban, seperti beban umum dan administrasi, beban penjualan, beban pendanaan, serta diperolehnya rugi kurs sebesar Rp 359 miliar dari sebelumnya memperoleh laba kurs Rp 26 miliar. Hal itu yang kemudian menyebabkan laba sebelum pajak penghasilan perseroan turun hingga 66,1% menjadi Rp 667 miliar dan pada akhirnya menjadikan laba yang diatribusikan kepada pemilik perusahaan tertekan hingga 67,5% menjadi Rp 444 miliar dari Rp 1,36 triliun.
Sementara Dharma Satya pada semester I 2015 membukukan penurunan laba bersih sebesar 52,5% menjadi Rp 174 miliar dari Rp 367 miliar. Djojo Boentoro, Direktur Utama perseroan mengatakan penurunan laba bersih itu sejalan dengan turunnya penjulan bersih perseroan sebesar 12,4% menjadi Rp 2,25 triliun akibat turunnya harga jual cpo tahun perseroan. rata-rata harga jual cpo perseroan per semester I 2015 hany mecnapai Rp 7,5 juta per ton atau turun 14,4% dari semester I tahun lalu sebesar Rp 8,8 juta per ton. Di sisi lain, produksi kelapa sawit perseroan juga mengalami penurunan akibat pengaruh musim kemarau sejak tahun lalu yang berlanjut hingga tahun ini.
“Namun jika melihat pertumbuhan per kuartal, di kuartal II ini produksi tandan buah segar (tbs) kami mulai meningkat signifikan dibadning kuartal I lalu. Kami berharap peningkatan produksi ini nantinya bisa dibarengu dengan membaiknya harga cpo di semester II sehingga dapat mendorong kinerja finansial perseroan,” ujar Djojo.
Sampoerna Agro juga mencatat penurunan laba bersih cukup signifikan pada semester I 2015 yakni sebesar 52,5% menjadi Rp 98 miliar dari semester I tahun sebelumnya Rp 185 miliar. Menurut manajemen perseroan, penurunan penjualan tersebut disebabkan oleh menurunnya penjualan cpo sebagai 83% kontributor penjualan perseroan.
“Kontribusi penjualan dari CPO pada semester I 2015 menurun sebesar 8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meskipun volume penjualan pada periode tersebut berhasil naik sebesar 5%, namun peningkatannya tidak sebanding dengan harga jual rata-rata yang turun 13% menjadi Rp7.755 per kilogram dari sebesar Rp 8.865 di semester I tahun lalu,” kata manajemen perseroan dalam keterbukaan informasi.
Sedangkan PP London Sumatera pada semester I 2015 mencatat penurunan laba bersih sebsar 35,7% menjadi Rp 308 miliar dari sebelumnya Rp 478 miliar. Penurunan laba bersih London Sumatera sejalan dengan menurunnya penjualan perseroan sebesar 12,3% menjadi Rp 2,08 triliun dibandingkan dengan periode sebelumnya Rp 2,37 triliun.
“Penurunan penjualan kami terutama disebabkan oleh turunnya harga jual rata-rata untuk produk sawit dan karet. Penurunan rata-rata harga jual tersebut terjadi akibat melemahnya harga jual minyak sawit dan karet di pasar global,” kata manajemen perseroan dalam keterbukaan informasi.
Dibanding emiten perkebunan lain, perusahaan yang mencatat penurunan laba bersih relatif kecil pada semester I lalu hanya Sawit Sumbermas. Laba bersih Sawit Sumbermas turun 6,14% menjadi Rp 351 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 374 miliar. Berdasarkan laporan keuangan perseroan, penurunan tersebut diakibatkan oleh menurunnya pendapatan serta meningkatnya beban perseroan.
Sepanjang semester I 2015, Sawit Sumbermas membukukan pendapatan sebesar Rp 1,30 triliun, turun tipis 0,76% dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp 1,31 triliun.
Menurut manajemen perseroan, pada semester I 2015 sawit Sumbermas mencatat kenaikan penjualan CPO sebanyak 10,8%. Namun perseroan memperoleh tekanan di harga jual sebesar 12% sehingga mengakibatkan pendapatan perseroan mengalami penurunan dan laba kotor tergerus sekitar 2,76% dari periode yang sama tahun lalu.
Sementara dari segi beban, meningkatnya beban penjualan dan beban keuangan mengakibatkan laba sebelum pajak perseroan melemah 12,5% menjadi Rp 447 miliar dari sebelumnya Rp 511 miliar dan laba bersih turun sebesar 6,14% menjadi Rp 351 miliar.(*)