Duniaindustri.com (Juli 2016) – Harga baja dunia pada awal Juli 2016 kembali melanjutkan penurunan tipis sekitar 1,3% menjadi kisaran US$ 375-380 per ton dibanding bulan sebelumnya di kisaran US$ 380-390 per ton, menurut data yang diperoleh duniaindustri.com. Penurunan tersebut dipengaruhi pelemahan harga bahan baku terutama scrap yang diperparah dengan rendahnya permintaan baja secara global.
Penurunan harga baja dunia pada awal Juli melanjutkan pelemahan pada Juni 2016 yang terkoreksi hingga 20,8% menjadi US$ 380-390 per ton, dari bulan sebelumnya US$ 480-490 per ton. Ekskpektasi berlebihan tentang perbaikan ekonomi global, sentimen suku bunga Amerika Serikat, dan fluktuasi harga minyak mentah ikut mempengaruhi pergerakan harga baja global pada Juni 2016.
Pelemahan harga baja dunia dalam dua bulan terakhir mengindikasikan berakhirnya tren rebound yang sempat terjadi hingga Mei 2016. Sebelumnya, harga baja global makin menggila setelah pada Mei 2016 diperdagangkan di kisaran US$ 480-490 per ton, atau meroket 59% dari titik terendah pada akhir tahun lalu di kisaran US$ 300-310 per ton. Secara tahunan (year on year), harga baja dunia pada Mei 2016 naik hingga 20% dibanding Mei 2015 di kisaran US$ 400-410 per ton, berdasarkan data duniaindustri.com.
Hal itu terlihat dalam riset duniaindustri.com berdasarkan data Middle East Steel untuk harga baja dengan patokan HRC ukuran >=2 milimeter dari China. Pengaruh penurunan harga bahan baku scrap asal Turki cukup signifikan menggiring harga baja dunia terkoreksi dalam dua bulan terakhir.
Harga scrap asal Turki anjlok hingga 27% pada awal Mei 2016 hingga awal Juni 2016, dari US$ 315-330 per ton menjadi US$ 220-240 per ton, mengakhiri tren rebound harga baja dunia.
Pada akhir 2015, harga baja dunia sempat bergejolak di tataran terendah sebelum akhirnya jatuh kembali pada Desember 2015. Pada November 2015, harga baja terutama HRC impor kembali turun ke level US$ 317 per ton, anjlok 12% dibanding September 2015 di posisi US$ 360 per ton. Menurut data duniaindustri.com yang dikompilasi dari beberapa produsen, harga baja HRC lokal dan HRC impor anjlok cukup dalam sejak awal 2015.
Konsumsi Baja Indonesia
Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (Indonesian Iron and Steel Industry Association/IISIA) memperkirakan permintaan baja nasional pada 2016 tumbuh dua kali lipat menjadi 28 juta ton dibanding 2015 yang mencapai 14 juta ton. Proyeksi tersebut disesuaikan dengan program percepatan proyek infrastruktur pemerintah dan pemulihan ekonomi nasional.
Dengan pertumbuhan permintaan baja lokal, IISIA menargetkan, utilisasi industri baja nasional pada 2016 mencapai 80%, meningkat dari realisasi tahun ini sekitar 50%.
“Kami optimistis, target tersebut bisa tercapai seiring masifnya proyek infrastruktur yang bergulir. Kalau proyek infrastruktur diwajibkan memakai produk dalam negeri, utilisasi industri baja nasional bisa mencapai 80% pada tahun depan, bahkan maksimal,” kata Direktur Eksekutif IISIA, Hidayat Triseputro kepada pers.
Hidayat menilai, geliat industri baja lokal belum maksimal meski proyek infrastruktur telah bergulir sejak pertengahan tahun. Pasalnya, industri baja dalam negeri masih kalah saing secara harga dengan baja impor asal Tiongkok.
“Pemerintah harus menerbitkan kebijakan yang pro industri dalam negeri untuk bisa mendorong perkembangan industri baja lokal. Selain itu, pemerintah juga diminta untuk konsisten dalam penerapan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) agar dapat mendongkrak utilisasi industri baja lokal,” papar dia.
Permintaan baja pada tahun depan, lanjut Hidayat, akan meningkat dua kali lipat menjadi 28 juta ton dengan masifnya pembangunan infrastruktur. Sementara untuk tahun ini, realisasi kebutuhan baja diperkirakan hanya mencapai 14 juta ton.
“Diharapkan pemerintah mampu membendung perdagangan tidak adil (unfair trade) untuk baja-baja impor, terutama asal Tiongkok. Industri baja dari Tiongkok tidak segan membanting harga jual ekspor,” ujarnya.
Hidayat menambahkan, sebagai kompensasi, harga jual baja untuk pasar domestik dinaikkan. Saat ini, tidak ada satu pun negara di Asean yang sanggup menandingi harga baja Tiongkok.
“Keadaan itu mendorong industri baja hilir lokal memilih menggunakan baja impor lantaran harganya lebih murah. Bahkan, jika Tiongkok memasok 10 juta ton baja ke Indonesia, jumlah itu mampu diserap pasar,” tutur Hidayat.
Pasar Baja Indonesia
Pasar baja Indonesia pada 2015 ditaksir mencapai US$ 5,35 miliar atau Rp 76,5 triliun, turun dari posisi 2014 sebesar US$ 7,88 miliar atau Rp 112,6 triliun (kurs Rp 14.300/US$). Tim duniaindustri.com memperhitungkan nilai pasar baja Indonesia di 2015 dari prediksi volume pasar baja di Indonesia dengan harga rata-rata di dunia.
Volume pasar baja di Indonesia pada 2015 diperkirakan mencapai 15,3 juta ton, naik 7,7% dibanding tahun lalu 14,2 juta ton, menurut data Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA), Kementerian Perindustrian, dan PT BNI Securities.
Sedangkan harga baja dunia (baja canai panas/HRC yang menjadi patokan harga baja dunia) pada awal September 2015 mencapai US$ 340-US$ 350 per ton, menurut data Midle East Steel (mesteel.com). Harga baja dunia pada September 2015 turun 37%-38% dibanding periode yang sama tahun 2014 di kisaran US$ 545-US$ 555 per ton.
Duniaindustri.com menilai penurunan nilai pasar baja di Indonesia disebabkan pelemahan harga baja dunia. Meski secara volume penjualan baja di Indonesia naik, penurunan harga membuat nilai pasar menjadi lebih kecil.
World Steel Association menyatakan produksi baja di Indonesia berkisar antara 3,5–4,2 juta ton per tahun sepanjang 2005-2010. Dengan produksi sebesar itu, Indonesia menempati urutan ke-34 produsen baja terbesar di dunia.
Asosiasi Baja Dunia merekap data produksi baja dari 170 perusahaan baja skala besar, termasuk 18 dari 20 perusahaan baja terbesar di dunia. Data produksi baja dari Asosiasi Baja Dunia merepresentasikan 85% produksi baja global.
Pada tahun lalu, Kementerian Perindustrian memperkirakan produksi baja nasional diperkirakan mencapai 6-6,5 juta ton. Sehingga masih terjadi defisit pasokan baja di dalam negeri mencapai 3-3,5 juta ton. Defisit pasokan itu terpaksa harus dipenuhi dari impor.(*/berbagai sumber/tim redaksi 02)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: