Duniaindustri (Juni 2012) – Pertumbuhan industri baja nasional semakin terpuruk dengan kenaikan harga gas dan penahanan impor bahan baku baja berupa scrap. Akibat penahanan impor bahan baku di pelabuhan, harga scrap meroket 100% menjadi US$ 800 per ton dibanding sebelumnya US$ 400 per ton.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISA) Edward R Pinem mengatakan kenaikan harga gas akan untuk sektor industri sebesar 55% yang ditetapkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) membuat target pertumbuhan baja turun dari 5% menjadi 0%. Kondisi tersebut diperparah dengan masalah ditahannya impor bahan baku ‘scrap’ yang dituding membawa limbah berbahaya.
Menurut Edward, penahanan bahan baku seperti “scrap” akan meningkatkan impor bahan baku setengah jadi (billet). “Akibat kelangkaan bahan baku di Indonesia, eksportir ‘billet’ di luar negeri cenderung meningkatkan harga jualnya, ” katanya. Saat ini harga baja setengah jadi berupa ‘billet’ meningkat tajam hingga US$ 700 per ton.
Kelangkaan bahan baku baja di dalam negeri akan mendongkrak harga produk baja di pasar lokal. Secara global, harga bahan baku baja saat ini dalam tren meningkat. Harga baja dunia pernah menembus titik tertinggi hingga US$ 1.250 per ton pada Juli 2008, dan merosot dengan cepat hingga hanya US$ 450 per ton awal 2009.
Merosotnya harga baja HRC tersebut bertahan hampir di sepanjang tahun 2009, bahkan pada Mei 2009 mencapai titik terendah hanya US$ 395 per ton. Dengan demikian, kinerja produksi dan penjualan industri baja di dalam negeri merosot drastis sepanjang 2009, rata-rata turun 27,5%. Tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang (utilisasi) produsen baja juga anjlok menjadi hanya 35%-40% dari kondisi normal yang berkisar 60%.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sepanjang 2009 pertumbuhan industri logam dasar besi dan baja merosot ke titik terendah sepanjang 5 tahun terakhir menjadi -7,19% dibandingkan dengan 2008 yang masih tumbuh sebesar 1,3%.
Kondisi harga baja dunia baru pulih mengalami peningkatan yang cukup signifikan di penghujung tahun 2009. Pada Desember 2009, harga baja dunia (yang ditunjukkan oleh baja canai panas/HRC sebagai patokan perdagangan baja dunia) menyentuh US$ 585 per ton dan Februari 2010 meningkat menjadi US$ 620 per ton.
Di tengah resesi global, China justru memacu produksi baja secara besar-besaran hingga melonjak 13,5% menjadi 567,8 juta ton. Karena itu, kalangan pengusaha mengkhawatirkan dampak implementasi liberalisasi pasar ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) dapat memacu impor baja secara besar-besaran dari China.
Bahkan, Kementerian Perindustrian memprediksikan implementasi ACFTA dapat menyebabkan impor baja asal China pada 2010 meroket 170,76% dibandingkan dengan realisasi pada 2009, dari 554.000 ton menjadi 1,5 juta ton.
Di sisi lain, harga baja dunia terus meningkat seiring pemulihan ekonomi global pasca krisis finansial. Pada Juli 2010, harga baha dunia telah mencapai US$ 640 per ton, meningkat dibandingkan Februari 2010 sebesar US$ 620 per ton. Kenaikan itu tidak berhenti sampai di situ. Pada Desember 2010, harga baja dunia naik lagi menjadi US$ 700 per ton.
Pada April 2011, harga baja dunia bahkan mencapai US$ 770-780 per ton, naik lebih dari 10% dibandingkan April 2010 sebesar US$ 700-720 per ton. Kenaikan harga baja dunia berbanding lurus dengan pemulihan ekonomi global sehingga memicu peningkatan konsumsi.
Namun, dilihat dari tingkat konsumsi baja per kapita, Indonesia baru mencapai 32 kilogram/kapita/tahun (data 2010). Tingkat konsumsi ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga Asia lain yang rata-rata lebih dari 100 kilogram/kapita/tahun, seperti Singapura 665 kilogram/kapita/tahun, China 508 kilogram/kapita/tahun, Malaysia 290 kilogram/kapita/tahun, dan Thailand 199 kilogram/kapita/tahun. Bahkan, Vietnam konsumsi bajanya sudah mencapai 115 kilogram/kapita/tahun.
Pasar Baja Indonesia
Pasar baja di Indonesia diperkirakan naik 7,9% di 2012 menjadi 10,25 juta ton dibanding 2011. Jika harga baja dunia—menurut Middle East Steel—mencapai US$ 690-720 per ton di Januari 2012, maka pasar baja di Indonesia ditaksir senilai US$ 7,38 miliar atau Rp 66,4 triliun pada tahun ini.
Nilai pasar baja di Indonesia dihitung tim redaksi duniaindustri.com berdasarkan data World Steel yang disesuaikan dengan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA). Harga baja yang digunakan merujuk pada data Middle East Steel—lembaga riset baja—yang menyebutkan harga baja canai panas (hot rolled coils/HRC) yang menjadi patokan harga baja dunia mencapai US$ 690-720 per ton.
Nilai pasar baja di Indonesia di 2012 diperkirakan naik 4,2% dibanding 2011 sebesar Rp 63,7 triliun. Peningkatan dipicu oleh konsumsi baja di sektor konstruksi dan manufaktur yang diperkirakan naik sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diramalkan bisa mencapai 6,5%. Sektor konstruksi diperkirakan tumbuh 7,3%, sedangkan dan sektor manufaktur ditargetkan tumbuh di atas 6,5%.
Khusus kebutuhan baja di dalam negeri, selain ditopang pertumbuhan ekonomi, konsumsi baja juga didorong oleh peningkatan produksi otomotif. Indonesia termasuk salah satu konsumen sekaligus produsen baja yang besar. Namun yang terjadi saat ini, produksi baja nasional tidak pernah seimbang dengan konsumsi kebutuhan dalam negeri.(Tim redaksi 03)