Duniaindustri.com (Agustus 2017) – PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP), produsen semen pemegang market share terbesar kedua di Indonesia, menghentikan sementara produksi di tiga pabrik yakni P1, P2, dan P6 di Citeureup, Bogor. Keputusan itu diterapkan lantaran kelebihan pasokan (over supply) semen di pasar domestik yang memicu penurunan harga jual sekitar 10%-12%.
Direktur Utama Indocement Christian Kartawijaya mengatakan akibat kelebihan pasokan, harga jual semen turun sekitar 10%-12%. “Harga jual turun 10%-12% year on year (yoy),” katanya kepada pers di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta.
Dia mengakui kelebihan pasokan (over supply) dan persaingan yang ketat memaksa perseroan untuk menurunkan harga jual produknya 10%-12%. Tidak hanya harga, perseroan juga mengurangi produksi semen sekitar 25%-30%. “Kapasitas yang kita gunakan sekitar 70%-75%, jadi yang standby sekitar 25%-30% dari pabrik kita. Kadang-kadang kita matikan, kadang-kadang kita jalankan, jadi standby,” paparnya.
Indocement mencatatkan volume penjualan domestik sebesar 7,8 juta ton pada semester I-2017, turun 1,4% atau 109 ribu ton dari penjualan periode yang sama tahun lalu. Akibatnya, pangsa pasar perseroan turun dari 26,5% di semester I 2016 menjadi 25,5% pada semester I 2017.
Bahkan konsumsi semen di home market seperti Jakarta turun 7,7 persen, sama halnya konsumsi di Jawa Barat yang turun 2,7 persen. “Perbedaan waktu Ramadan yang jatuh pada semester I tahun ini juga memengaruhi volume penjualan dibandingkan dengan tahun lalu di mana Ramadan jatuh di semester II,” kata dia.
Di sisi lain, perseroan mencatatkan penjualan klinker domestik sebesar 741 persen dibandingkan tahun lalu. Pada semester I-2017 penjualan klinker domestik tercatat 269 ribu ton sehingga keseluruhan total penjualan perseroan adalah 7,9 juta ton atau turun 2,4 persen periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, pendapatan neto Indocement mengalami penurunan sebesar 15,5 persen menjadi Rp6,54 triliun dari Rp7,74 triliun. Hal ini disebabkan penurunan harga jual domestik sebesar 12,6 persen dan volume penjualan domestik sebesar 1,4 persen dibandingkan tahun lalu.
Penurunan pendapatan ini tak diikuti dengan penurunan beban pendapatan yang hanya turun 4,5 persen menjadi Rp4,3 triliun. Sementara untuk laba kotor perseroan mengalami penurunan sebesar 30,7 persen dari Rp3,23 triliun menjadi Rp2,24 triliun pada semester I-2017.
Dengan kondisi tersebut, Indocement mencatatakan penurunan laba yang cukup drastis hingga 62,9 persen menjadi Rp901,8 miliar. Selain dikarenakan penjualan yang belum optimal, kondisi ini disebabkan oleh program revaluasi aset untuk tujuan perpajakan yang diprakarsai oleh pemerintah.
Kelebihan Pasokan
Aroma persaingan industri semen di Indonesia makin panas dan kritis. Bayangkan saja, kelebihan pasokan (oversupply) semen di Indonesia pada awal Maret 2017 diestimasi mencapai 50%, melampaui proyeksi awal dari Kementerian Perindustrian yang memperkirakan level oversupply hanya 38% pada 2018.
Menurut data yang diperoleh tim duniaindustri.com, kapasitas produksi semen saat ini telah menembus 93 juta ton, padahal demand hingga akhir 2016 hanya sebesar 62 juta ton. Itu berarti, separuh dari total kapasitas semen nasional berpotensi idle atau tidak terserap pasar domestik, jika tidak diekspor.
“Persaingan makin sengit. Oversupply ini terjadi karena kita terlambat investasi pada periode (pemerintahan lalu). Nah pas sekarang investasi, perekonomian melambat dan pemain baru bermunculan,” kata sumber duniaindustri.com dari kalangan pelaku industri semen.
Sebagai perbandingan, Kementerian Perindustrian memperkirakan kelebihan pasokan semen di Indonesia baru mencapai 38% pada 2018, meningkat dari level 37% pada 2016. Menurut Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono, kelebihan pasokan semen terjadi karena pertumbuhan kapasitas produksi melampaui kebutuhan dalam negeri.
“Persaingan industri semen akan semakin ketat, mengingat kapasitas produksi semen di Indonesia pada 2018 diperkirakan mencapai 106,3 juta ton, atau melebihi 38% dari kebutuhan nasional sebesar 66,2 juta ton,” ujar Achmad Sigit.
Kondisi kelebihan pasokan ini akan berdampak luas terhadap utilisasi pabrik, strategi pemasaran, strategi diversifikasi produk (ready mix and concrete products), efisiensi, kebijakan harga jual (pricing strategy), hingga mengarah pada isu konsolidasi pemain. Terbukti, tren penurunan harga telah mencapai dua digit terutama di daerah dengan permintaan besar dan tingkat persaingan tinggi, menurut pemantauan duniaindustri.com.
Untuk informasi dan data lebih spesifik, silakan dicermati analisis dan database duniaindustri.com yang terangkum secara lengkap dalam indeks data industri di pojok kanan atas website ini.(*/tim redaksi 07)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: