Duniaindustri.com (September 2015) – Kurang dari empat bulan lagi Indonesia akan memasuki perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai pada akhir 2015. Di tengah gelombang efisiensi dan layoff, industri manufaktur nasional harus menghadapi persaingan antarnegara ASEAN.
Secara umum pemerintah dan pelaku usaha mengakui, industri nasional belum siap menghadapi MEA. Kementerian Perindustrian membuat perhitungan, hanya 31% industri manufaktur yang punya kemampuan daya saing di pasar ASEAN. Sisanya 69% industri lainnya masih kurang berdaya saing saat bertarung di pasar bebas ini. Perhitungan tersebut belum memasukkan faktor perlambatan ekonomi nasional, kejatuhan harga komoditas, dan depresiasi rupiah.
Berdasarkan kajian Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, hanya 1.250 pos tarif atau 31,26% dari total 3.998 pos tarif produk industri manufaktur yang siap bertarung di MEA.
Kementerian Perindustrian mengklaim sudah punya strategi menghadapi perdagangan bebas ASEAN. Pertama, strategi ofensif, yakni strategi menyerang guna memperluas pasar industri ke luar negeri.
Strategi ini berlaku bagi 31% produk industri nasional yang memiliki daya saing di pasar ASEAN. Sektor industri ini antara lain industri karet, tekstil, makanan dan minuman serta otomotif.
Kedua, strategi defensif, strategi mempertahankan pasar industri dalam negeri. Strategi ini berlaku bagi 69% industri yang kesulitan bersaing dengan produk ASEAN.
Kelompok industri ini adalah garmen, alas kaki, semen dan keramik. Kelompok industri defensif adalah kelompok industri yang diandalkan agar bisa bertahan di pasar dalam negeri.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati menilai industri RI masih banyak didukung oleh impor.
Menurut Enny, perang mata uang hanya bisa dilakukan oleh negara yang manufakturnya tidak tergantung pada impor. “Indonesia penghasil karet alam terbesar. Bagaimana mungkin, struktur biaya produksinya dari dalam negeri hanya 15-17 persen? Ini kan artinya kita ekspor komoditas, lalu untuk membuat ban harus impor lagi,” ucap Enny.
Rata-rata 64%
Sekitar 64% dari total bahan baku, bahan penolong, serta barang modal dari industri nasional masih bergantung pada impor untuk mendukung proses produksi, menurut data Kementerian Perindustrian. Karena itu, mayoritas industri rentan terhadap fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian yang diperoleh Duniaindustri.com, rata-rata impor bahan baku, bahan penolong, serta barang modal itu berasal dari sembilan sektor industri yakni perrnesinan dan logam, otomotif, elektronik, kimia dasar, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil dan produk tekstil (TPT), barang kimia lain, serta pulp dan kertas.
Sekitar 64% industri itu mendominasi nilai produksi industri nasional sebesar 80% serta menyumbang 65% penyerapan tenaga kerja. Hal itu menunjukkan peran strategis dari sembilan sektor industri tersebut.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, neraca perdagangan enam dari sembilan industri itu ternyata defisit karena impor lebih besar dibandingkan ekspor. Total impor bahan baku dan bahan penolong dari 64% industri nasional itu mencapai sekitar 67,9%, impor barang modalnya mencapai 24,6%, dan impor barang konsumsinya 7,5%.(*/berbagai sumber)