Duniaindustri.com (September 2016) – Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menyatakan sekitar 80% zat tambahan pangan (food additive) masih diimpor. Karena itu, pemerintah perlu mendorong investasi masuk di sektor industri tersebut.
Wakil Ketua Umum Bidang Promosi dan Kerja Sama Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Lena Prawira mengatakan, food additive seperti pemanis, pewarna, perisa makanan selama ini 80 persen masih impor. Menurutnya, dulu sempat ada investasi untuk industri pemanis buatan siklamat, tapi lantas pemerintah memasukannya ke dalam daftar negatif investasi (DNI) sehingga pengusaha makanan dan minuman tetap saja harus mengimpor siklamat dari China.
”Kami lebih senang kalau bisa membeli dari lokal karena dari sisi harga juga bisa lebih stabil, tidak terpengaruh fluktuasi dolar. Pemerintah harus giat menarik investor supaya berinvestasi di bidang zat tambahan pangan di sini yang masih sangat kurang,” katanya di sela-sela jumpa pers terkait penyelenggaraan Food ingredients (Fi) Asia 2016 di Jakarta. Menurut Lena, Indonesia dengan alamnya yang subur punya banyak bahan yang bisa diekstrak dan diolah.
Sangat disayangkan jika bahan-bahan mentah atau rempahnya diekspor ke luar negeri seperti ke Prancis lalu diolah di sana dan dijual lagi di Indonesia dengan harga mahal. Senada, Direktur South East Asian Food and Agricultural Science and Technology- SEAFAST Center Institut Pertanian Bogor (IPB) Nuri Andarwulan mengatakan, Indonesia merupakan produsen rempah-rempah, tapi umumnya dijual atau diekspor dalam bentuk komoditas primer.
”Seharusnya rempah bisa diolah jadi bahan bernilai tinggi. Industri harus jadi pionir untuk menghasilkan produk sekunder dan tersiernya. Misalnya yang sudah ada di sini itu ekstrak vanila, minyak cengkeh, dan minyak pala,” tuturnya. Nuri menambahkan, dengan era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan pada saat bersamaan bersaing dengan negara- negara ASEAN lain.
Persoalan ini akan dibahas dalam pertemuan tahunan para ahli teknologi pangan yang akan mengetengahkan tema inovasi pangan. Sementara itu, pada Food ingredients (Fi) Asia 2016 yang akan digelar pada 21-23 September 2016 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, para pelaku usaha makanan dan minuman akan saling bertukar informasi dan melakukan business matching.
Business Director, UBM Asia (Thailand) Co Ltd Rungphech Chitanuwat mengungkapkan, ajang pameran dagang tersebut menjadi titik temu ribuan penjual dan pembeli bahan baku makanan dan minuman serta menjadi arena untuk menampilkan inovasi terkini dan menemukan rekanan yang potensial. Sebanyak 700 perusahaan pemasok bahan baku baik lokal, regional, maupun internasional akan berpartisipasi dalam pameran bahan makanan terbesar di Asia itu, 80 di antaranya berasal dari Indonesia.
”Kami juga mendatangkan buyer-buyer papan atas dari lima negara di antaranya Singapura, Filipina, Kamboja, dan Vietnam,” sebutnya. Tahun ini Fi Asia 2016 menyediakan sejumlah program yang memudahkan peserta dan pengunjung mengidentifikasi elemen-elemen yang dibutuhkan untuk mengembangkan bisnis mereka melalui Business Matching Service, Innovation Zone, Food Product Development Competition, Innovation Tour.
Selain itu, selama tiga hari pelaksanaan, juga diadakan lebih dari 60 seminar dari para peserta pameran yang berfokus pada tren makanan dan minuman di Asia Tenggara, serta International Conference yang bertemakan ”Food Innovations- ASEAN Economic Community Challenges”.
Pasar Consumer Goods
Volume penjualan consumer goods (produk barang konsumsi) di Indonesia pada semester I 2016 masih melemah secara tahunan, ditandai pelemahan volume penjualan makanan (food) -7% dan minuman -1%. Menurut analisis lembaga riset Kantar Wordpanel Indonesia, permintaan (demand) konsumen masih cenderung rendah seiring pelemahan konsumsi, frekuensi pembelian, anggaran belanja, dan pembelian per unit.
Pasar consumer goods di Indonesia pada paruh pertama 2016 lebih banyak ditopang kenaikan harga yang mendorong nilai pasar secara keseluruhan. Secara nilai, pasar consumer goods di Indonesia tumbuh 5,1% ditopang peningkatan harga per unit sebesar 3,6%, sementara tingkat frekuensi pembelian turun -0,9%.
Pasar produk consumer goods pada 12 minggu hingga akhir Juni 2016 belum mampu bangkit, seiring perlambatan ekonomi nasional yang memukul daya beli konsumen. Pelemahan demand produk consumer goods secara volume menjadi yang terburuk dalam tujuh kuartal terakhir, menandakan tekanan berat bagi produsen.
Penjualan produk makanan anjlok -7% secara volume, namun naik 2% secara nilai. Sedangkan produk dairy tumbuh 2% secara volume dan meningkat 6% secara nilai. Penjualan produk minuman juga turun -1% secara volume, tapi tumbuh 7% secara nilai. Penjualan produk home care tumbuh 1% secara volume dan naik 9% secara nilai. Penjualan produk personal care tumbuh paling tinggi di antara kategori consumer goods, yakni tumbuh 7% secara volume dan naik 11% secara nilai.
Meski penjualan produk makanan dan minuman masih dalam teritori negatif secara volume, terjadi perbaikan di kategori-kategori lain terutama produk personal care. Kondisi di akhir Juni 2016 juga lebih baik dibanding Februari 2016 saat seluruh kategori produk consumer goods menderita pertumbuhan negatif per Februari 2016 mengindikasikan tekanan berat dialami daya beli konsumen.
Dilihat dari tren makro ekonomi, inflasi pada Juni 2016 naik menjadi 3,45% dari inflasi Mei 2016 sebesar 3,33%. Perekonomian Indonesia tumbuh 4,92% pada kuartal I 2016, sedikit di atas ekspektasi 4,91%. Sementara nilai mata uang rupiah menguat sekitar 0,5% pada Juni 2016 di level Rp 13.422/US$ dibanding bulan sebelumnya.
Fast moving consumer goods mencakup barang-barang konsumsi yang dibutuhkan sehari-hari atau dibutuhkan secara berkala dalam periode waktu tertentu yang singkat. Barang konsumsi jenis itu mencakup produk-produk makanan (food), peralatan rumah tangga (household), dan perawatan tubuh (personal care). Berbeda dengan barang tahan lama (durable goods), barang-barang fast moving consumer goods memiliki umur simpan yang singkat, baik sebagai akibat dari permintaan konsumen tinggi maupun karena produk yang cepat rusak.
Pasar FMCG di Indonesia tumbuh rata-rata per tahun (compounded annual growth rate/CAGR) sebesar 16,6% periode 2004-2010, di tengah fluktuasi inflasi yang dapat menahan maupun menggerus daya beli masyarakat. Sementara periode 2011 hingga saat ini, pertumbuhan pasar diperkirakan sekitar 13%. Namun, tekanan berat yang dihadapi konsumen mengubah tren pasar pada 2015-2016.(*/berbagai sumber/tim redaksi 03)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: