Duniaindustri.com (Maret 2016) – Fund global (investor skala besar pengelola dana) cenderung menggeser (switching) penempatan dana dari pasar China dan Jepang yang terus bergejolak, ke negara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Thailand. Hal itu terlihat dari penguatan (apresiasi) nilai tukar mata uang di sejumlah negara Asia Tenggara, seperti rupiah dari Indonesia menguat 5,4% sepanjang tahun ini (year to date).
Pengelola aset global menilai Asia Tenggara saat ini menjadi lokasi investasi paling aman dari volatilitas (safe haven), seiring akselerasi ekonomi yang masih berjalan. Secara khusus, tahun ini Indonesia dan Thailand menjadi negara penarik limpahan dana terbesar yang berpindah dari China, dibandingkan pasar saham negara lain di Asia.
Tercatat, tahun ini kedua negara menikmati titik balik dari posisi 2015, ketika indeks acuan di Jakarta dan Bangkok anjlok lebih dari 12% di tengah melorotnya nilai rupiah dan baht. “Mata uang yang stabil membantu memulihkan kepercayaan di pasar saham,” ujar Alan Richardson dari Samsung Asset Management Ltd yang berbasis di Hong Kong, seperti dilansir Bloomberg, Selasa (8/3). “Investor menuju Asia Tenggara karena mereka sudah kecewa dengan kinerja Cina. Tidak banyak peluang di Asia.”
Richardson menambahkan, pihaknya telah membeli saham perusahaan media di Indonesia sebagai proxy sari saham-saham konsumer yang melambung tinggi. Sebagai gambaran, banyak investor mengincar perusahaan media karena berharap dari belanja iklan menyusul bersinarnya sektor konsumen. Adapun untuk membeli saham sektor konsumen harganya sudah terlanjur mahal sehingga mereka beralih ke media untuk ikut menikmati belanja iklan dari sektor konsumen.
Hal itu tentunya membantu memikat dana asing ke Indonesia dan Thailand, dua dari tiga negara yang mencatat arus masuk bersih tahun ini di antara delapan pasar Asia yang dilacak oleh Bloomberg. Sekitar US$ 327 juta mengalir ke saham Indonesia dan US$ 169 juta masuk ke saham Thailand. Indeks SET Thailand naik 8,4% tahun ini. Sedangkan IHSG menyeruak dari posisi bearish dan naik 17% dari titik terendah pada September tahun lalu.
Seiring dengan itu, nilai tukar rupiah terapresiasi 5,4% tahun ini, sementara ringgit Malaysia menguat 4,8%, dan baht Thailand naik 1,9 persen. Padahal, pada Oktober 2015, volatilitas 30 hari untuk rupiah melompat ke titik tertinggi lima tahun dan baht tertinggi dua tahun.
Aset Asia Tenggara pulih dan menjadi stabil setelah Chairwoman The Fed, Janet Yellen, mengindikasikan awal Februari bahwa pihaknya tidak akan terburu-buru melanjutkan kenaikan suku bunga karena turbulensi di pasar global.
Di pihak lain, Goldman Sachs Group Inc telah merilis perkiraan negara-negara Asean akan mencatat pertumbuhan ekonomi 4,5% tahun ini, berbanding 2% di AS, 1,5% di Zona Euro, serta 0,7% di Jepang.
“Asia Tenggara kurang dipengaruhi semua kekhawatiran eksternal karena ekonomi mereka yang jauh lebih berorientasi domestik,” kata Mixo Das, analis di Nomura Holdings Inc di Singapura. “Kisah ekonomi makro untuk Asia Tenggara relatif lebih baik daripada tempat lain.”(*/berbagai sumber/tim redaksi 03)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: