Duniaindustri.com (Mei 2016) – Sebanyak enam perusahaan sawit yang tergabung dalam Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) terancam didenda oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Soalnya, IPOP diduga menjadi sarana kartel sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat.
Keenam perusahaan sawit itu masing-masing terancam denda Rp125 miliar, yang terdiri atas denda administratif sebesar Rp25 miliar dan sanksi denda pidana Rp100 miliar sehingga total dendanya mencapai Rp750 miliar. Keenam perusahaan sawit tersebut yakni Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri Resources, Asian Agri, dan Astra Agro Lestari (AAL).
”Kami masih melakukan penyelidikan kasus ini. Apabila terbukti, maka masing-masing perusahaan sawit akan kena denda Rp125 miliar yang terdiri atas denda administrasi maksimum Rp25 miliar dan denda pidana Rp100 miliar,” ujar Ketua KPPU Syarkawi Rauf di Jakarta.
Menurut Syarkawi, KPPU telah melayangkan surat saran kepada Presiden Joko Widodo dan kementerian terkait yang terdiri atas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Pertanian (Kementan), dan Kementerian Koordinator Perekonomian.
Surat tersebut memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membubarkan implementasi IPOP di Indonesia. Sebab, IPOP menjadi sarana kartel bagi keenam perusahaan sawit yang tergabung di dalamnya. IPOP, menurut Syarkawi, merupakan kesepakatan pelaku usaha yang telah berlaku efektif dan berdampak negatif terhadap persaingan usaha sehingga diduga melanggar UU No 5 Tahun 1999. Menurutnya, jika IPOP dijadikan standar perkebunan kelapa sawit di Indonesia, maka pemerintah harus membuat aturannya.
”Jangan swasta yang membuat aturan, kan pemerintah sudah punya ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Jadi, saya pikir tidak perlu ada IPOP,” katanya. Dalam industri kelapa sawit Indonesia, Pemerintah sudah membuat ISPO sebagai kebijakan sertifikasi yang harus dipenuhi setiap perusahaan sawit atau perkebunan sawit. Sertifikasi itu menjadi standar dalam melaksanakan praktik perkebunan sawit berkelanjutan.
Terdapat Perbedaan signifikan antara kesepakatan IPOP dengan kebijakan Pemerintah (ISPO) adalah penetapan standar kriteria lingkungan yang baik untuk perkebunan sawit. ISPO menggunakan standar kriteria high conservation value forest (HCVF), sementara para anggota IPOP sepakat untuk menambahkan kriteria high carbon stock (HCS). Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Gamal Nasir mengapresiasi pandangan KPPU.
Selama ini memang posisi Kementan menolak keberadaan IPOP di Indonesia. Namun, Kementan dalam kasus ini akan mengikuti keputusan yang akan ditempuh Kementerian LHK. Karena dalam kasus ini terkait dengan lingkungan, maka lead-nya ada di Kementerian LHK.
Lima Big Players
Lima perusahaan besar sawit atau lebih dikenal The Big Five Company diperkirakan menguasai 75%-90% perdagangan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Indonesia. Kelima perusahaan itu antara lain Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri, dan Asian Agri.
Kelima perusahaan sawit tersebut menampung hampir 90% seluruh tandan buah segar (TBS) dan CPO Indonesia, termasuk di dalamnya TBS dari 4,5 juta sawit rakyat. Kelima perusahaan itu diketahui mengadopsi pledge (IPOP). Salah satu perusahaan yang menjadi korban IPOP adalah PT Mopoli Raya Group (MRG). Owner PT Mopoli Raya Group, Sabri Basyah mengungkapkan sejak tiga bulan lalu pihaknya tidak bisa lagi menjual CPO ke grup usaha Wilmar.
“Ketika itu kami membuka lahan di daerah Langsa, Aceh Timur. Pembukaan lahan ini dianggap melanggar kriteria IPOP, sehingga Wilmar yang selama ini menjadi mitra bisnis kami, tak mau lagi membeli CPO kami. Padahal CPO yang kami jual ke Wilmar tersebut bukan dari lahan di Langsa, karena lahan tersebut memang belum berproduksi,” kata Sabri Basyah.
Tentu saja Sabri sangat kecewa dengan perlakuan tersebut. Sebab pihaknya membuka lahan itu telah mengikuti semua aturan yang berlaku di Indonesia. “Tidak ada satupun peraturan pemerintah yang saya langgar, tapi kenapa kami dinilai melanggar aturan IPOP yang dibuat bangsa asing itu?,” katanya.
Oleh karena itu Sabri minta pemerintah bersikap tegas terhadap manajemen IPOP. “Ini kedaulatan kita telah diambil orang asing. Kita diinjak-injak orang asing. Ini penjajahan gaya baru. Karena mereka yang buat aturan itu. Dan kitalah yang menjadi korbannya,” tukas Sabri.
Menurut Sabri, sebenarnya agenda yang diusung Amerika melalui IPOP ini adalah tidak ada lagi ekspansi atau perluasan lahan kelapa sawit (zero growth palm oil) di Indonesia. Tapi Amerika membungkusnya dengan zero deforestation dengan membuat kriteria yang tidak mungkin diikuti oleh pelaku usaha di Indonesia.
Beberapa aspek atau kriteria yang diterapkan dalam IPOP antara lain (1) Melarang ekspansi kebun sawit (No deforestasi), (2) Melarang kebun sawit di lahan gambut (No Peatland), (3) Melarang kebun sawit menggunakan lahan berkarbon tinggi/High Carbon Stock (No HCS), dan (4) Melarang menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut dan HCS (traceability).
Dengan prinsip IPOP yang mencakup seluruh mata rantai (supply chain) perusahaan dan bersifat dapat ditelusuri. Ini berarti, kendati penandatanganan IPOP dilakukan oleh The Big Five Company, telah menyeret seluruh industri minyak sawit Indonesia ke dalam pasungan IPOP tersebut.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), San Afri Awang menilai komitmen lima perusahaan sawit nasional yang tergabung dalam IPOP sebagai sesuatu yang tak masuk akal karena disebutkan pembangunan sawit harus nol deforestasi dengan memasukkan hutan sekunder dan belukar tua, sebagai lahan yang tak boleh dieksploitasi. “Mana ada lahan lagi kalau belukar tua tak boleh dibuka,” ujar San Afri Awang.
Menurut dia, meskipun luas kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 10 jutaan hektar, tetapi pemerintah tetap khawatir dengan komitmen IPOP yang menetapkan standar tinggi ini. Terlebih, kata Awang, usulan-usulan yang masuk banyak ingin membangun kebun sawit, terutama di Papua.
“Andaikata terjadi tukar menukar lahan APL (Alokasi Penggunaan Lain) dan HPK (Hutan Produksi Konversi), tidak bisa karena stok karbon masih di atas 35. Jadi sulit karena masih banyak orang mau bangun di Papua,” terangnya.
Awang juga sempat menyatakan bahwa IPOP sudah membahayakan rakyat, terutama petani-petani sawit yang juga menjadi pemasok dari pebisnis besar. Saat mereka tak bisa memenuhi standar tinggi itu, produk sawit mereka bisa ditolak.
Oleh karena itu, ia menilai IPOP sudah melanggar UUD’45 dan sebagai organisasi sudah melampaui kewenangan pemerintah. Sebab, katanya, aturan pemerintah membolehkan pembangunan di hutan sekunder dan semak belukar tua, tetapi dalam IPOP justru dilarang.
Pendapat senada disampaikan Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud. Ia menilai kekhawatiran terhadap IPOP karena di lapangan sudah berdampak. Menurut dia, tiga juta petani Indonesia bergantung pada kelapa sawit.
“Kita sebenarnya sudah ada ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), kita tidak bisa adopsi pledge (IPOP). Di lapangan sudah banyak dampak yang terjadi, misal, di Aceh sudah ada kebun sawit kerja sama dengan Wilmar, tetapi karena mereka masih mau bangun, CPO tak bisa dijual ke Wilmar,” jelasnya.
Saat ini, lanjut Musdhalifah, setelah menjadi IPOP, dampak meluas dan membahayakan bisnis sawit. “Bagaimana pun juga perkebunan sawit sumber perekonomian rakyat. Daerah remote dengan perkebunan rakyat. Usaha-usaha rakyat bisa terhenti. Apakah ada alternatif lain? Silakan pledge, tapi jangan ganggu pembangunan di negara kita,” tegasnya.(*/berbagai sumber/tim redaksi 06)
CONTACT US BY SOCIAL MEDIA: