Duniaindustri (Juni 2012) – Kabar gembira bagi industri nasional. Ekspor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) China diperkirakan merosot di 2012 sejalan dengan krisis yang tengah melanda Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, selama Januari-Februari 2012 ekspor garmen (pakaian jadi) China turun 2,5%, sedangkan ekspor tekstil negeri Tirai Bambu itu turun 2,6%. Pada April 2012, ekspor garmen China naik tipis sekitar 1%, namun ekspor tekstil negeri itu tetap turun 0,3%. Tren empat bulan pertama di 2012 dapat dikatakan ekspor TPT China mengalami penurunan.
“Meskipun dari sisi persentasi penurunannya sangat kecil, bila dilihat dari nilainya sangat besar karena di tahun lalu ekspor TPT China berada di atas US$ 200 miliar. Bandingkan dengan ekspor TPT Indonesia yang tahun lalu hanya mencapai US$ 13 miliar,” kata Redma.
Penurunan ekspor China tersebut akan berdampak pada negara berpenduduk besar yang akan dijadikan pasar buangan produk yang tidak bisa diekspor ke AS maupun Eropa karena kapasitas produksi mereka sangat besar.
“Terlebih untuk produk sektor hulu seperti serat dan benang, negara produsen benang dan kain seperti Indonesia dan Brasil adalah target utama barang buangan China,” tegasnya.
Redma mencontohkan, di kuartal I-2012 ekspor benang pintal poliester (PSF) China ke AS turun 700 ribu ton. “Artinya, produsen PSF China gagal menjual 700 ribu ton PSF ke pasar domestik karena ekspor benang ke AS turun, jika ditambah dengan penurunan ekspor ke Uni Eropa diperkirakan bisa mencapai 1,5 juta ton, bisa dibayangkan berapa besar stok PSF dan benang pintal polyester yang mereka punya saat ini yang siap dibuang ke pasar ekspor dan Indonesia adalah salah satunya,” paparnya.
Serat dan benang asal China tentu akan diekspor dengan harga yang tidak pasti. “Suka-suka saja (harga), produsen China tidak peduli rugi, karena menyimpan stok terlalu lama akan makin rugi. Harga normal akan dijual dipasar domestik, kalau domestik tidak bisa menyerap mereka akan buang ke Indonesia dengan harga di bawah produsen kita, dumping lah,” tandasnya.
Duniaindustri.com mencatat kapasitas produksi industri tekstil di China lebih dari 10 kali lipat kapasitas produksi industri tekstil Indonesia. Sebagai perbandingan, kapasitas produksi tekstil China ditaksir 62 juta ton per tahun, sementara Indonesia hanya 6,2 juta ton per tahun. Tidak mengherankan jika tekstil China menguasai pasar internasional, termasuk Indonesia.
Presiden Direktur PT Dalitex Kusuma (produsen tekstil Indonesia) Rudy Unjoto mengakui China saat ini meningkatkan kapasitas produksi tekstilnya 10 kali lipat dibanding Indonesia sehingga mampu menguasai pasar internasional. Untuk itu, dia minta agar pemerintah lebih serius memperhatikan keterbatasan infrastruktur sehingga tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional bisa dominan di pasar dunia, unggul dibanding dengan produk serupa dari ASEAN.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat menambahkan pengusaha tekstil dan produk tekstil meminta pemerintah serius membangun infrastruktur, seperti jalan tol, listrik dan pelabuhan laut dalam upaya meningkatkan daya saing produk itu di pasar internasional. “Sampai saat ini kendala infrastruktur masih saja menjadi permasalahan bagi pengusaha tekstil. Padahal infrastruktur penting bagi kelancaran usaha,” katanya.
Dia mencontohkan akses jalan tol yang menuju Pelabuhan Tanjung Priok dinilai sudah tidak memadai lagi sehingga menghambat kelancaran arus ditribusi tekstil dan produk tekstil (TPT) yang akan diekspor maupun bahan baku impor.
Akibat akses jalan tol yang tidak memadai disamping sering terjadi kemacetan kendaraan, mengakibatkan tidak efisiensinya harga TPT, sementara persaingan di pasar internasional kian ketat.
Dia mengkhawatirkan apabila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut bukan tidak mungkin TPT Indonesia akan kalah bersaing dengan negara pesaing, mengingat saat ini sudah banyak negara produsen TPT yang jadi pesaing serius. “China misalnya saat ini sudah lepas landas menjadi produsen TPT handal dunia,” katanya.
Ade menyebutkan Vietnam dan kamboja sudah menjadi ancaman serius bagi Indonesia mengingat pemerintah negara tersebut sangat serius mendorong dan memfasilitasi industri TPT-nya. Myanmar saat ini juga bisa menjadi ancaman mendatang bagi industri TPT Indonesia walaupun saat ini negara itu masih berkutat dengan soal politik di dalam negeri. “Tapi nanti kalau Myanmar sudah menjadi negara demokrasi maka akan makin banyak investor yang berinvestasi di situ dan ini tentunya jadi ancaman kita,” katanya.
Indonesia berambisi menjadi salah satu raksasa produsen tekstil dunia dengan nilai devisa ekspor sekitar US$ 19 miliar atau Rp 171 triliun pada 2015. Saat ini industri tekstil dan produk tekstil (TPT) RI menjadi raksasa peringkat 9 terbesar dunia untuk garmen (hilir), sedangkan di tekstil (hulu) peringkat 11 dunia. Industri TPT nasional memiliki jumlah mesin pemintal benang terbesar keempat di dunia, 7,85 juta mata pintal.
Menurut Ade Sudrajat, pada 2010 ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia mencapai US$ 11,21 miliar, naik 21% dibanding 2009. Dari nilai itu, ekspor TPT Indonesia menguasai 1,67% pangsa dunia, 4,55% pangsa pasar di Amerika Serikat, dan 1,28% pangsa di Uni Eropa.
Industri TPT nasional saat ini merupakan sektor manufaktur dengan penyerapan tenaga kerja yang terbesar sekitar 1,84 juta orang. Industri TPT menyerap tenaga kerja 15% dari total penyerapan pekerja di sektor manufaktur nasional. “Bahkan, saat krisis global tahun lalu, ekspor TPT masih mampu meraih surplus lebih dari US$ 6 miliar,” katanya.
Dia menjelaskan, dengan struktur industri yang hampir lengkap, tingkat kandungan dalam negeri untuk produk TPT nasional mencapai 66%. “Ini memperlihatkan kekuatan dan kedalaman struktur industri TPT telah mapan,” katanya.
Namun, sebelum menjadi raksasa tekstil dunia, sejumlah masalah perlu dibenahi untuk mendukung pengembangan industri TPT nasional. Salah satu masalah itu adalah bahan baku tekstil yakni kapas masih diimpor sekitar 99,5%. Kapas menjadi salah satu bahan baku tekstil dengan kontribusi terbesar yakni 38%, disusul serat poliester (produk turunan minyak) dan serat rayon (produk turunan kayu/pulp).
Asosiasi telah menyusun roadmap pengembangan industri TPT nasional. Dalam roadmap itu disebutkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional membutuhkan investasi tambahan sebesar Rp 60 triliun untuk mencapai visi 2015. “Dalam lima tahun ke depan, ekspor TPT nasional diprediksi menguasai 2,9% pangsa pasar dunia, 88% pangsa pasar domestik, dan 16% pangsa pasar Asean,” tuturnya.
Total perdagangan TPT dunia mencapai US$ 583 miliar pada tahun lalu. Dari nilai itu, Tiongkok dan Hong Kong menguasai pangsa 36,6%, disusul Turki (3,91%), India (3,28%), AS (2,87%), Korea (2,11%), Pakistan (1,92%), dan Indonesia (1,67%).
Produsen TPT nasional harus mampu bersaing di dua pasar ekspor utama, yakni Uni Eropa dan Amerika Serikat. Di pasar Amerika Serikat, industri TPT nasional berada di peringkat lima pemasok utama. Tiongkok mendominasi impor tekstil AS dengan pangsa 35%, kemudian Vietnam (5,82%), India (5,44%), Meksiko (5,31%), dan Indonesia (4,55%).
Pasar tekstil AS setara dengan 25% dari total perdagangan TPT dunia senilai US$ 93,18 miliar. Indonesia harus melampaui Vietnam, India, dan Meksiko untuk menjadi pemain utama di AS, selain Tiongkok.(Tim redaksi 01)