(Duniaindustri.com) – Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun memperkirakan ekspor CPO pada tahun mencapai 19 juta ton. Angka itu bisa terealisasi jika produksi tahun ini mencapai 28 juta ton, sedangkan konsumsi dalam negeri 9,2 juta ton.
Menurutnya, serapan pasar domestik CPO untuk bahan makanan sebanyak 5,7 juta ton dan untuk memenuhi kebutuhan industri sekitar 3,5 juta ton. ”Pasar ekspor CPO tersebut terutama untuk pasar India, China dan Uni Eropa,” katanya pada acara International Conference and Exhibition on Palm Oil (ICE-PO) 2013 di Balai Sidang Jakarta, Selasa (7/5).
Menyinggung realisasi produksi CPO pada kuartal I/2013, Derom menyatakan, dari target 5,5 juta ton realisasinya sebanyak 5,2 juta ton hingga Maret. Dia menyatakan, produksi CPO tersebut lebih rendah lima hingga tujuh persen dari target sehingga berdampak pada stok awal tahun yang semestinya 2,5 juta ton menjadi 2,4 juta ton.
Menyinggung penyebab turunnya produksi minyak sawit tersebut, dia menyatakan, karena dipengaruhi cuaca tahun ini yang mana curah hujan tidak normal dibandingkan tahun lalu. Selain itu juga dipengaruhi siklus tanaman, kondisi tanah akibat penggunaan pupuk anorganik atau kimia yang sudah terlalu lama.
Sementara itu di tempat yang sama, Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengakui, salah satu penyebab rendahnya produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) nasional yakni masih belum optimalnya produktivitas perkebunan sawit rakyat. Karena itu, Kementerian Pertanian (Kementan) saat ini sedang memprogramkan peremajaan tanaman kelapa sawit (replanting) yang sudah tua.
”Untuk itu pemerintah memprogramkan peremajaan atau replanting terhadap tanaman sawit yang sudah tua, serta memberikan bantuan benih bagi program tersebut,” kata Suswono.
Agar perkebunan rakyat dapat mengikuti produktivitas perkebunan besar, lanjutnya, juga diperlukan pemeliharaan yang intensif, pemupukan, serta penerapan good agriculture practice (GAP).
Selain itu, lanjut Suswono, untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah CPO dalam negeri, maka industri sawit nasional akan diarahkan pada pengembangan industri hilir.
Indonesia dan Malaysia saat ini menguasai 90% produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di dunia. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Gusmardi menyatakan Indonesia bisa membuat kesepakatan terkait masalah CPO dengan Malaysia. “Kami sedang bicara dengan Malaysia, jadi masing-masing merumuskan mekanisme,” katanya.
Indonesia dan Malaysia memang sedang diterpa isu tidak sedap mengenai sawit. Harga sawit yang terus anjlok membuat kedua negera tetangga ini ingin melakukan kesepakatan terkait pasokan sawit di dunia. Dalam dua pekan terakhir harga sawit dunia turun drastis ke level US$ 700-US$ 800 perton dibandingkan dengan sebelumnya yang mencapai US$1.100/ton.
Selain harga yang turun drastis, sawit Indonesia diterpa isu yang tidak sedap. Kabarnya ada tuduhan dumping dari produk turunan sawit di Uni Eropa. “Kami sudah koordinasi dengan eksportir yang dituduhkan. Dari 10 eksportir tertuduh, 6 di antaranya yang besar,” katanya.
Di negara Prancis juga terdapat kampanye negatif yang mendiskriminasikan sawit asal Indonesia. Indonesia dan Malaysia rencananya akan melawan kampanye tersebut karena merugikan produk sawit dari kedua negara.
Indonesia saat ini sudah menjadi negara produsen dan eksportir sawit (CPO) terbesar di dunia. Data Kementerian Pertanian menyebutkan, Indonesia menguasai 44,5% pasar sawit dunia dengan volume produksi mencapai 19,1 juta ton pada 2010. Indonesia mengungguli Malaysia yang menempati posisi kedua dengan pangsa 41,3% dari volume produksi 17,73 juta ton.
Ranking ketiga ditempati Thailand yang menguasai 2,7% pasar sawit dunia, disusul Nigeria dengan pangsa 2% dari total pasar sawit dunia, kemudian Kolombia dengan pangsa 1,9%. Total produksi sawit dunia mencapai 42,9 juta ton.
Menurut lembaga independen internasional, Oil World, Indonesia diperkirakan menguasai 47% pasar minyak sawit dunia di 2011. Sementara pangsa Malaysia ditaksir bakal turun menjadi 39% di tahun ini. Pangsa negara produsen sawit lainnya belum berubah.
Data Oil World juga menyebutkan, produksi sawit dunia pada 2011 diprediksi mencapai 46 juta ton dengan total area yang digunakan untuk menanam sawit di seluruh dunia mencapai 12 juta hektare. Sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit itu berlokasi di Indonesia dan Malaysia.
Oil World memaparkan, minyak sawit kini menjadi minyak nabati dunia paling penting. Di antara seluruh jenis produksi minyak nabati, sawit berada di posisi teratas (dengan pangsa 30%), diikuti minyak kedelai (29%), minyak biji rape (14%), minyak bunga matahari (8%), dan lainnya (19%).
Harga Terpuruk
Harga minyak sawit mentah (CPO) anjlok pada pertengahan Juli 2012 menyusul kekhawatiran memburuknya krisis utang Eropa. Harga kontrak CPO untuk pengiriman Oktober di Malaysia turun 2,2% menjadi RM 2.924 ringgit (US$ 921) per metrik ton, terendah sejak 19 Juni 2012.
Impor minyak sawit oleh China, pengimpor CPO terbesar setelah India, pada bulan Juni lalu turun 23,6% menjadi 392.558 ton. Harga rata-rata ekspor minyak sawit mentah (CPO) pada 2012 diperkirakan tertekan atau turun ke level US$ 1.050 per ton dari 2011 yang rata-rata US$ 1.100 per ton akibat dampak krisis utang di Eropa dan Amerika Serikat.
Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun menilai, krisis utang di AS dan Eropa akan membuat permintaan CPO di pasar internasional, khususnya negara pembeli utama China dan India, melemah. “Itu memicu penurunan harga,” katanya.
Meski demikian, harga CPO di pertengahan 2012 bisa mencapai US$ 1.200 per ton dari harga rata-rata di Desember 2011 yang masih US$ 1.000 -1.050 per ton akibat terbatasnya pasokan secara global. Tetapi, karena dampak krisis utang di AS dan Eropa yang diperkirakan masih akan terasa di 2012, harga jual pada tahun depan masih tetap berfluktuasi sehingga secara rata-rata di kisaran US$ 1.050 per ton.
Walau lebih rendah dari 2011, harga rata-rata di 2012 sekitar US$ 1.050 per ton tetap lebih tinggi dari 2010 sebesar US$ 970 per ton.(Tim redaksi 02)
Kenaikan pangsa sawit Indonesia di dunia serta penurunan pangsa Malaysia disebabkan luas lahan di Indonesia masih terus berkembang, meski sedikit dibatasi oleh kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut. Dengan posisi Indonesia sebagai produsen dan eksportir terbesar di dunia, mestinya negeri ini menjadi acuan dan barometer sektor sawit secara global. Pemerintah dan stakeholders sawit di Indonesia harus mampu meningkatkan daya tawar di tingkat dunia, menyusul makin tingginya permintaan sawit untuk pangan dan energi (biofuel). Tujuannya agar industri sawit nasional mampu menggerakkan roda perekonomian nasional makin kencang, agar tercipta lapangan kerja dan kesejahteraan di negeri ini.