Duniaindustri.com (November 2018) — Pemerintah menetapkan pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) menjadi US$ 0/ton dari sebelumnya US$ 50/ton. Penurunan pungutan ekspor itu ditetapkan karena pelemahan harga CPO sudah dinilai mendesak dan mengganggu kinerja seluruh pemangku kepentingan di industri kelapa sawit nasional.
Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan saat ini harga CPO terus mengalami penurunan dan berdampak sangat buruk bagi industri. “Komite Pengarah BPDP (Badan Pengelolaan Dana Perkebunan) Kelapa Sawit melihat ini sudah urgent. Keadaan mendesak terutama buat petani dan semua pemain kelapa sawit,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (26/11).
Darmin mengatakan, harga kelapa sawit turun sangat tajam dari US$ 530 per ton pada 8-9 hari lalu sekarang sudah US$ 420/ton. “Diputuskan untuk di-nol-kan, kalau nanti harga membaik sampai US$ 500/ton kita akan kenakan tapi belum penuh,” kata Darmin.
Dia menjelaskan, harga CPO merosot tajam hanya dalam kurun waktu 9 hari. Harga CPO turun dari US$ 530 per ton hingga menyentuh US$ 420 per ton, sementara biaya produksi CPO mencapai US$ 500 per ton.
Darmin menegaskan, pungutan ekspor bakal dikenakan jika harga CPO telah mencapai US$ 500 per ton dengan pengenaan tarif sebesar US$ 25 per ton, US$ 10 per ton, dan US$ 5 per ton. Pungutan tarif juga bakal kembali seperti semula jika harga CPO di pasar internasional telah mampu melewati US$ 549 per ton.
Meski demikian, kebijakan itu akan berlaku setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meneken peraturan menteri keuangan (PMK) yang baru. “Sekarang beliau masih di Argentina, rasanya bakal diterbitkan jika sudah kembali pada 2 Desember 2018,” ujar Darmin.
Dia menegaskan kebijakan diambil dengan pertimbangan harga yang sangat rendah dalam beberapa tahun terakhir. Karenanya pemerintah menghindari potensi kerugian lebih besar yang diterima para pelaku usaha yang kegiatannya berhubungan dengan sawit, baik itu petani maupun pengusaha.
Kinerja Tertekan
Kinerja ekspor minyak sawit Indonesia semester I 2018 tertekan. Volume ekspor minyak sawit Indonesia, baik minyak sawit mentah (crude palm oil), palm kernel oil, maupun turunannya termasuk oleochemical dan biodiesel tercatat hanya mampu mencapai 15,30 juta ton. Angka tersebut turun 2% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 15,62 juta ton.
“Semester I 2018, kinerja ekspor minyak sawit mentah dan turunannya asal Indonesia ke negara tujuan utama kurang menggembirakan, terutama di pasar India. Ekspor semester I ke India merosot signifikan sebesar 34% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu dari 3,74 juta ton menjadi 2,50 juta ton,” kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono.
Dia mengungkapkan, pasar India tergerus karena pemerintah setempat menerapkan bea masuk yang tinggi untuk komoditas minyak sawit. Alasanya untuk melindungi industri refinery di dalam negeri.
Selain India, penurunan ekspor terjadi di Uni Eropa. Isu deforestasi dan kebijakan phase out (penghapusan biofuel) berbasis pangan oleh Perlemen Eropa sedikit banyak mempengaruhi pasar minyak sawit Indonesia di Uni Eropa. Di semester pertama tahun ini, Uni Eropa membukukan penurunan volume impor CPO dan produk turunannya dari Indonesia sebesar 12% atau dari 2,71 juta ton turun menjadi 2,39 juta ton. Penurunan kinerja impor untuk periode yang sama juga dibukukan negara Afrika sebesar 10%.
Namun di sisi lain, beberapa negara tujuan ekspor Indonesia justru mampu mencatatkan kenaikan volume impor CPO dan produk turunannya dari Indonesia. Misalnya China yang naik sebesar 343,31 ribu ton (23%) atau dari 1,48 juta ton menjadi 1,82 juta ton. Kenaikan volume impor minyak sawit China karena adanya penurunan PPn untuk minyak nabati dari 11% menjadi 10% yang berlaku efektif 1 Mei 2018.
“Lalu eskalasi perang dagang antara China dengan Amerika Serikat juga ikut mempengaruhi permintaan minyak sawit mentah dan turunannya,”pungkas Mukti.(*/berbagai sumber/tim redaksi 04&05/Safarudin)