Latest News
You are here: Home | Umum | Demi Hibah US$ 1 Miliar, RI Terbitkan Moratorium Hutan
Demi Hibah US$ 1 Miliar, RI Terbitkan Moratorium Hutan

Demi Hibah US$ 1 Miliar, RI Terbitkan Moratorium Hutan

Duniaindustri.com – Di balik penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, ternyata pemerintah memiliki maksud lain. Tidak sulit ditebak memang, pemerintah menerbitkan Inpres moratorium hutan dan lahan gambut agar memperoleh hibah senilai US$ 1 miliar dari pemerintah Norwegia.

Kabarnya, pemerintah Norwegia akan memberikan hibah itu dalam dua tahun pelaksanaan moratorium di Indonesia. Selain itu, moratorium hutan dan lahan gambut di Indonesia juga dipengaruhi adanya utang pemerintah Indonesia senilai US$ 2,3 miliar untuk dana penanganan perubahan iklim.

Norwegia dan negara-negara Eropa diketahui memberikan hibah bagi pelestarian hutan untuk mengatasi perubahan iklim. Hibah itu bernilai puluhan miliar dolar Amerika Serikat yang sebagian besar diberikan dalam bentuk perdagangan karbon. Negara-negara maju sepakat untuk memberikan hibah bagi negara berkembang yang masih memiliki hutan luas, karena negara maju kesulitan menurunkan emisi karbonnya.

“Tidak salah jika pemerintah memperoleh hibah itu,” kata seorang pejabat pemerintahan yang enggan disebutkan namanya.

Namun, Greenomics Indonesia mengkritik kecilnya nilai hibah Norwegia dalam kerja sama itu. ”Kajian Bloomberg menyimpulkan, pelestarian hutan primer dan lahan gambut di Indonesia dalam konteks perdagangan karbon nilainya mencapai US$ 39 miliar per tahun. Hibah US$ 1 miliar tidak sebanding,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi.

Moratorium hutan primer dan lahan gambut yang diatur dalam Inpres Nomor 10 Tahun 2011 diduga dibuat berdasarkan desakan pemerintah Norwegia dalam letter of intent (LoI) dengan pemerintah Indonesia.

Hal itu jelas tertuang dalam letter of intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia yang dittandatangani pada tanggal 26 Mei 2010 yang salah satu pointnya menyebutkan ‘a two year suspension on all new concessions for conversion of peat and natural forest’.

Moratorium Kontraproduktif
Sejumlah pakar kehutanan dan pertanian menyuarakan pendapatan bahwa moratorium justru kontraproduktif bagi masa depan usaha perkebunan, terutama sawit, di Tanah Air. Inpres tersebut tidak saja menghambat ekspansi lahan untuk perkebunan, namun juga dikhawatirkan menurunkan tingkat kesejahteraan petani.

Dalam Inpres itu, pemanfaatan lahan gambut dihentikan pemanfaatannya. Padahal pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian memberikan banyak dampak positif.

“Pemanfaatan lahan gambut terbukti meningkatkan produksi pertanian, menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri pertanian, penyerapan tenaga kerja, juga meningkatkan pendapatan petani,” kata anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) Prof Dr Hermanto Siregar yang juga Wakil Rektor IPB.

Hermanto memaparkan, Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis di dunia, sekitar 21 juta hektare yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di wilayah Asia Tenggara, luas lahan gambut lebih dari 25 juta atau sekitar 69% dari lahan gambut tropis dunia. “Sekitar 33% dari lahan gambut tersebut dianggap layak dijadikan lahan pertanian,” kata Hermanto.

Sedangkan Prof Irsal Las membandingkan pemanfaatan lahan gambut di Malaysia. Di Negeri Jiran itu, lahan gambut merupakan sumber daya yang bisa dikembangkan dengan memperhatikan azas keberlanjutan.  “Kalau dampak negatif dari pemanfaatan gambut, pasti ada. Tetapi yang penting bagaimana meminimalkan kerusakan, tetapi mampu memberikan kesejahteraan masyarakat semaksimal mungkin,” katanya.

Prof Supiandi memaparkan aspek teknis lahan gambut. Menurut dia, lahan gambut memiliki kandungan unsur C (carbon) yang sangat besar. Secara tidak langsung, gambut memiliki peranan yang sangat besar sebagai pengendali iklim global karena dapat menyimpan karbon.

“Apabila lahan gambut dikembangkan dan sesuai untuk usaha pengembangan tersebut, selama pengelolaannya didasarkan pada azas berkelanjutan, maka pelepasan karbon ke udara dapat ditekan sekecil mungkin. Dan teknologi untuk menekan pelepasan karbon tersebut sudah tersedia,” ujarnya.

Prof Supiandi menilai pada dasarnya semua pihak harus menyadari bahwa kesejahteraan masyarakat harus menjadi perhatian yang paling utama.(Tim redaksi 02)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top